Are We Living in Shiganshina, Darling?

Or was it just our world that has always been shaping the dystopian future?

Isti Adilia
Nyarita
3 min readJul 12, 2024

--

Aksi repetitif dalam menggulir linimasa media sosial mungkin menyadarkanmu tentang ketidakidealan realita di dunia yang kau tinggali. Tik, tok, jam berdetik tanpa henti. Harus berapa lama lagi kamu melanggengkan hidup untuk menyaksikan dunia yang kamu harap dapat berubah ke arah yang lebih progresif dan produktif, justru berbalik menikam ekspektasi yang kau kemas ke dalam cita-cita?

Kita sedang tidak baik-baik saja; kita tidak bebas. Kita diyakinkan bahwa ada banyak ruang yang dapat kita kunjungi, tetapi nyatanya, ada tempat-tempat yang tidak bisa kita jelajah. Bukan karena kita tidak punya otoritas untuk menjelajahinya, tetapi karena represi yang tertutup dalam bayang-bayang membatasi kita dalam meraih otoritas tersebut.

Seperti terkurung di dalam tembok.

Bellflower, dan …

Tidak perlu tinggal di Shiganshina untuk tahu rasanya ketidakbebasan.

Citizen of the world? Hah! Siapa yang siap menerima konsep tersebut ketika nyatanya kita dapat melihat, dengan mata dan kepala, banyak yang masih tidak bebas di tanah air sendiri? Bagaimana dunia bisa menjamin konsep yang begitu berada di atas angan-angan, seperti utopia yang diimpikan leluhur kita beratus tahun lalu, ketika kita sekarang bahkan sudah hidup di masa depan tetapi ketakutan akan penjajahan masih menjadi hal yang integral dengan kehidupan?

Penipu! Mereka bilang, tembok adalah posko perlindungan untuk rakyat jelata. Maka, mereka berlomba membangun tembok setinggi-tingginya. Oh, betapa murah hatinya kita dibuatkan tiga lapis tembok — tapi bukan itu sebenarnya!

Pernahkah kamu melihat bahwa di luar tembok, ada padang rumput luas terhampar, lautan dengan ombak yang berdebur, padang pasir yang berdesir? Aku tidak heran jika kamu belum tahu, karena mereka memang sengaja menyembunyikannya supaya pemandangan itu luput dari mata. Sebab, jika kita tahu, tembok itu sudah hancur sejak dulu.

Yakin saja, hingga waktu yang tak terhingga di masa depan pun, di semua dunia alternatif yang kamu bisa cari dalam mesin waktu, tidak ada yang mengenal apa itu kebebasan sejati. Kita punya mental, tapi mental tersebut digerogoti. Keadilan untuk meraih kebebasan? Ia sudah lama tertulis dalam Pancasila, tapi berapa banyak yang meluangkan waktu untuk memikirkan maknanya?

Kebebasan — aku yakin, itu buah dari penguasa dengan integritas. Lantas, bagaimana cara membuktikan integritas? Jawabannya hanya satu: waktu. Dan waktu adalah komponen yang sangat terbatas, kita diberitahu.

Satu rezim runtuh, rezim lain tumbuh. Kita tahu siapa saja yang musuh… atau mungkin, tidak?

“If we kill the enemy… will we finally be free?”

— Eren Yeager (or what is left from him)

Pohon, dan …

Bukan, bukan Titan yang mengambil alih kebebasan kita.

Seharusnya, kita terbilang sudah hidup cukup lama untuk membawa pengetahuan yang diwarisi turun-temurun tersebut.

Kamu tahu? Dendam hidup lebih lama daripada manusia. Dan sebelum kamu menyadari lebih jauh, ia juga yang menyembunyikan kunci kebebasan. Sebelum kamu menyadari lebih jauh dari lebih jauh yang kusebutkan tadi, kamu telah terlahir dari leluhur yang juga pendendam. Lalu, secara otomatis, ada bagian dalam tubuhmu yang tersusun dari musuh terbesar umat manusia, menjadikanmu musuh atas dirimu sendiri.

Ayo beritahu aku. Apa yang akan kamu lakukan jika, katakanlah, suatu saat nanti, kamu tahu bahwa ada kebebasan di luar tembok yang kamu tinggali?

Ah, kalau aku, aku sangat ingin keluar darinya.

Tembok.

P.S. Special thanks to Hajime Isayama for creating one of the best story of all time: Attack on Titan.

Tulisan ini dibuat untuk Pekan #NyariTantangan dengan tema harian “Utopia-Dystopia”. Yuk #NyariTantangan bersama Nyarita!

--

--

Isti Adilia
Nyarita

Busy juggling between one book to another. I identify myself as a fish who speaks smashed potato!