CLBK, Boleh Juga

Mengembalikan ‘rasa' yang pernah ada.

Raufa Sayyidah 'Adila
Nyarita
3 min readJul 11, 2024

--

Ketika kehidupan SMA-ku selesai, kebiasaan membacaku pun turut usai.

Padahal, anak kecil dalam diriku sangat menggemari buku bacaan sejak pertama kali dirinya bisa membaca. Buku pertama yang berhasil ia baca sampai tamat saat di bangku taman kanak-kanak itu pun masih diingatnya — buku cerita tentang orang-orangan sawah.

Kegemaranku pada aktivitas membaca didukung oleh koleksi buku-buku orang tuaku, om/tanteku, dan kenalan-kenalan mereka. Tapi sejak dulu, secara spesifik aku hanya menyukai tulisan-tulisan yang memuat ‘kisah’. Ingatanku kembali pada zaman SD, di mana aku rela menghabiskan waktu di rumah temanku dan pulang membawa pinjaman majalah Bobo, KKPK, atau serial Detective Conan. Aku yang selalu excited dan betah sekali dibawa ke rumah kenalan ibuku karena di sana ada lemari besar berisi novel-novel keren sekelas Asma Nadia dan Tere Liye, buku kumpulan cerpen FLP, serta majalah-majalah islami seperti Ummi dan Annida.

Sederet novel di rak buku perpustakaan sekolah — yang emang cuma segitu koleksi fiksi yang dimiliki — habis kubaca di sela-sela istirahat yang singkat setiap hari. Awalnya, kukira dunia dalam novel-novel tersebut adalah dunia yang sama dengan yang kita pijak, tapi aku tak begitu kecewa saat nyatanya hanyalah buah imajinasi. Malah jadi motivasi baru untukku bisa melangkah juga di jalan yang sama: literasi.

Pada saat SMP hingga SMA, mudah bagiku untuk meneruskan pengembaraan dari novel ke novel. Pasca lulus dan merantau ke tanah kelahiran, aktivitas yang satu ini malah berubah jadi sesuatu yang sulit. Bahkan di masa-masa pandemi, satu saja buku tak habis-habis kubaca dalam beberapa tahun berlalu.

Seperti biasa, takdir selalu hadir dengan beragam plot twist-nya. Tiba-tiba sampailah aku di tahun 2023, kembali ter-influence oleh beberapa teman di social media dan real life yang rutin membaca. Berasa CLBK, kudekati pula buku-buku yang semakin mudah kupinjam — salah satunya dari Salman Reading Corner.

Di tahun itu pula, alhamdulillah aku akhirnya berhasil menamatkan 10 buku sesuai targetku. Kenapa dimulai dari 10? Karena makin dewasa aku makin sadar, mimpi-mimpi yang selama ini terlalu sulit kucapai sebab akunya sendiri sulit mempercayai terwujudnya semua itu. Dengan memetakan target yang jelas dan benar-benar terlihat possible untuk kucentang dalam list, aku jadi percaya diri dan gak lagi menganggap itu sebagai halu belaka. Angka-angka itu juga membantuku untuk bergerak dan terpantik setiap nominalnya terus bertambah. Kalau dilihat-lihat lagi pas flow-nya menurun, angka-angka itu adalah trigger yang hebat dalam mengembalikan usahaku.

Memasuki 2024, aku tingkatkan target itu menjadi 20 buku setahun. Aku gak peduli berapa lama aku baca bukunya, apakah sebulan sekali atau beberapa pekan sekali, atau bahkan ada satu dua bulan di mana aku gak nyentuh buku sama sekali. Gapapa. Yang penting, ketika di akhir tahun nanti, total buku yang kubaca sudah memenuhi targetnya.

You know what? Per Juli ini, alias baru setengahnya 2024 berlalu, alhamdulillah target itu sudah terceklis utuh. Bertepatan dengan peran baruku di perpustakaan.

Padahal, tingkat kesulitan yang kubuat di tahun ini sebagai standar terhitung satu buku kubaca juga bertambah: habis dibaca, difoto cover-nya, ditulis insight tipis-tipisnya, diunggah di highlight second acc IG. Sedangkan sebelumnya hanya sebatas unggah foto cover dan ditulis angka bukunya aja.

Ya, aku rasa, sama seperti mencintai seseorang, mencintai suatu aktivitas pun butuh extra effort, tujuan yang jelas, serta ‘tantangan’ dan ‘pembaruan’. Supaya kita gak bosen dan makin terpantik untuk bertahan lalu menaklukkan diri ini. Kayak… aku bisa lebih dari ini kan sebenarnya? Aku bisa melakukan yang terbaik dan terus menjadi lebih baik dari sebelumnya kan?

Tulisan ini dibuat untuk Pekan #NyariTantangan dengan tema harian “Naksir Berat”. Yuk #NyariTantangan bersama Nyarita!

--

--