Dari Papeda hingga Wisuda, Siapa yang Pertama?

dithaa
Nyarita
Published in
4 min readJul 3, 2024
Photo by Olga Isakova on Unsplash

Dalam kehidupan, ada banyak kegiatan yang dimulai dengan langkah awal. Mulai dari menggunakan transportasi publik, seperti kereta api, pesawat, atau kapal penyeberangan, hingga pengalaman yang mungkin dianggap sepele oleh orang lain, seperti naik damri atau angkot.

Langkah permulaan tidak selalu harus besar untuk keluar dari zona nyaman. Ini bisa berarti langkah pertama saat bayi belajar berjalan, mendapatkan sepeda pertama di taman kanak-kanak, atau meraih penghasilan pertama saat dewasa.

Bahkan, istilah ‘pertama’ dapat menjadi momen yang menyakitkan ketika menghadapi kehilangan orang yang dihargai.

Belakangan ini, media sosial heboh dengan berita tentang “Orang RI pertama yang pidato wisuda di Columbia University.”

Aku tidak akan membahas apakah dia benar-benar yang pertama, karena itu urusan orang-orang terkait. Namun, saat melihat notifikasi dari grup WhatsApp komunitas Nyarita untuk menulis dengan tema “Mencoba Hal Baru,” (aku tidak bisa hadir secara langsung karena sedang mengejar deadline revisi artikel penelitian), aku tiba-tiba teringat dengan berita tersebut. Tentu saja, pandangan setiap orang terhadap mencoba hal baru bisa berbeda-beda. Bagiku, mencoba hal baru adalah pengalaman pertama dan kata “pertama” dalam kamusku sedikit terpengaruh oleh berita tersebut.

Pernah enggak, sih, kalian, melihat judul sebuah konten di platform video dengan logo berwarna merah seperti “Orang Portugal Pertama Kali Makan Papeda dan Ikan Kuah Kuning” atau “Pertama Kali ke Maluku, Kucingku Menangis Lihat Ikan Nemo di Lautan!” lalu merasakan perasaan menggelitik hingga ke ulu hati? Setelah melihat-lihat konten dengan judul serupa, aku menyadari bahwa label kali pertama dalam pengalaman hidup manusia selalu dianggap sebagai sesuatu yang membanggakan dan diagung-agungkan meski terkadang hal tersebut bisa jadi adalah sesuatu yang tidak menyenangkan.

Pengalaman adalah bentuk pernyataan manusia untuk menghadirkan eksistensi dirinya.

Keputusan-keputusan atas terjadinya pengalaman pertama, terlepas dari dasar apa yang berada dibelakang, seringkali timbul karena keimpulsifan, baik karena merasa FOMO ataupun dengan ungkapan “Aku enggak tau, tiba-tiba badanku bergerak sendiri,” katanya.

Sebagai seorang manusia, aku pun telah mengalami banyak pengalaman pertama yang impulsif.

Misalnya, pertama kali aku ikut itikaf karena temanku, Aurora., menjadi bagian dari Panitia Pelaksana Program Ramadhan dan Idul Adha Salman ITB 1445 H. Atau ketika aku ikut lomba melukis yang diadakan oleh Galeri Pusat Kebudayaan hanya karena sedang malas bersosialisasi saat SMP. Ada juga momen saat aku dan temanku, Selby, menghabiskan waktu istirahat dengan berkeliling museum di kota Bandung saat persiapan intensif UTBK, “Healing agar tidak suntuk”, ceritanya.

Keputusan-keputusan impulsif kecil yang kita anggap sebagai hiburan semata untuk mengusir rasa bosan, ternyata bisa menjadi pintu gerbang menuju masa depan.

Aku sendiri masih tidak menyangka bahwa perjalanan yang dimulai dengan ajakan, “Woi, cabut, yuk!” bisa menjadi latar belakang mengapa aku akhirnya memilih untuk mempelajari galeri, perpustakaan, arsip, dan museum di bangku kuliah, salah satu keputusan terbesar yang aku buat setelah mengkaji banyak perihal (tanpa dorongan impulsif tentunya).

Namun, ketika kita mengambil langkah pertama yang sangat besar untuk keluar dari zona nyaman, ada beberapa orang di sekitar kita yang tidak setuju, bukan?

“Kamu sekolah di salah satu SMAN terbaik di kota Bandung, dan kuliah di universitas swasta terkenal dengan jurusan yang prestisius. Bagaimana bisa kamu memutuskan untuk mengambil semi-gap year hanya untuk mempelajari ilmu perpustakaan?”

“Haha, Perpustakaan dan Sains Informasi sebenarnya.”

Salah satu bentuk keluar dari zona nyaman berdasarkan pengalamanku terdengar cukup ekstrim. Sepenuhnya, dalam keadaan sadar, menghadapi hal baru yang berdampak besar bagi masa depan. Siapa yang tidak akan merasa panik ketika dihadapkan pada sesuatu yang abstrak seperti itu? Di SMA, pengetahuan yang dipelajari tentang ilmu sosial-humaniora hanya mencakup pelajaran ekonomi, dan itu pun hanya selama satu semester sebelum aku pindah ke kelas Bahasa Jerman.

Aku ketakutan.

Aku membutuhkan pegangan, tetapi tak ada tangan yang datang.

Tidak apa-apa, aku bisa percaya pada keputusan itu.

“Aku punya Tuhan, bukan?”

Beberapa orang tertawa terbahak-bahak. Ada juga yang menganggap aku aneh, karena dengan latar belakang pendidikan seperti itu, seharusnya aku masuk ke sini. Mereka bilang aku menyia-nyiakan peluang yang sudah didapat, mempertanyakan banyak hal tentang apa, mengapa, dan bagaimana, hanya untuk memuaskan ego mereka sendiri. Buang-buang waktu dengan mempertanyakan hal yang sudah terjadi. Namun, itu tidak mengapa, karena aku pun pernah mengalami pemikiran yang serupa.

Kadang, memahami sudut pandang orang lain itu menyenangkan.

Kadang, keluar dari batasan yang ditetapkan oleh kelas masyarakat sosial adalah bentuk dari sebuah kebebasan.

Keluar dari zona nyaman berarti bahwa aku harus merombak isi pikiran yang sebelumnya didominasi oleh hal-hal yang konkret, memberi ruang bagi pemahaman akan hal-hal yang abstrak tanpa melupakan pengetahuan yang sudah diperoleh sebelumnya. Meskipun demikian, aku menyadari bahwa aku harus belajar lebih keras dari mereka yang pada awalnya mengambil jurusan sosial-humaniora, seperti keterampilan berbicara di depan umum serta cara berkolaborasi dengan pelbagai sudut pandang.

Ini berarti aku harus mengembangkan cinta, pemahaman, dan keterampilan dalam bidang ilmu yang sedang aku pelajari agar tidak menyesal di masa depan.

Itu berarti, aku harus melaksanakan keputusan yang telah dipilih sebaik mungkin.

Itu berarti, aku harus bertanggung jawab.

Tulisan ini dibuat impromptu pada Lingkar Nyarita #1 dengan prompt “Mencoba Hal Baru”.

--

--

dithaa
Nyarita
Writer for

write freely with a lemonade, @dithaana on instagram.