Is Playing Pokemon Bad for You?

Menghindari Brainrot Sejak Dini

Rakean Radya Al Barra
Nyarita
6 min readJul 9, 2024

--

Kira-kira, sekitar 17 atau 18 tahun lalu aku dipertemukan dengan makhluk-makhluk ini dan mereka changed my life.

source: IGN

And no I’m not joking.

Sewaktu kecil, aku agaknya masuk ke dalam stereotipe kutu buku. Aku menghabiskan waktu luang sebelum masuk kelas di perpustakaan, menjuarai kompetisi-kompetisi dalam sekolah yang berhubungan dengan perbukuan (dan matematika), serta menghabiskan hari-hari liburan musim panasku dengan program membaca perpustakaan lokal. Bukan kesimpulan yang jauh bila ada yang mengatakan temanku sedikit.

Aku jarang terlibat dalam hal-hal konvensional yang dilakukan teman-teman seusiaku, jadi otomatis tergolongkan dengan anak-anak yang serupa: suka baca, suka anime, suka main game. Hahaha. Apabila aku meneruskan trajektori tersebut mungkin aku akan menjadi sang wibu rohis bertas Asus yang akhirnya berkuliah di jurusan macam IF atau TF ITB. Untung ya, udah tobat. Bechyandaah.

Pada kala itu, di antara beribu-ribu game di luar sana, aku terbuai oleh game-game Nintendo. Aku ingat susah-payahnya menamatkan Super Mario Galaxy 2 bersama adik-adikku, serunya bermain Super Smash Bros. Brawl bersama sesama diaspora Indonesia di rumah mereka, juga irinya ketika temanku bermain game Kirby terbaru di Nintendo DS kinclongnya. Seru sekali!

Tetapi ada satu franchise, sesuai judul tulisan, yang paling membekas hingga kini: Pokemon.

PPT yang aku bikin waktu SD untuk memperkenalkan Pokemon ke teman-temanku

Waktu aku masih sangat kecil, di usia mungkin 4 atau 5 tahun, aku dipertemukan dengan Pokemon. Tentu, karena masih sekecil itu, penemuanku ini bukan upaya sengaja karena FOMO atau sebagainya, tetapi memang keindahan untaian takdir yang amat random.

Apakah aku tahu si Pokemon ini akan membawakanku ke dunia YouTube, bahkan kepenulisan? Tentu tidak.

Awalnya, seingatku, Ayah tiba-tiba punya banyak game Nintendo GameBoy dan dengan jiwa nerd-nya tentu ia bagikan keseruannya dengan bocil-bocil-nya. Ayah juga cukup terlibat dalam journey ini, sampai-sampai membeli tutorial ketika aku stuck dalam memainkan Pokemon Gold, game Pokemon pertamaku.

Dalam skala tahun, dengan bertambahnya game Pokemon, aku agak terpaksa menjadi pintar. Pasalnya, Pokemon sebetulnya adalah game strategi yang cukup challenging. Premisenya, di setiap game utama Pokemon, kita menjadi anak kecil berusia 10 tahun yang harus keliling dunia dengan misi mengoleksi semua Pokemon dan mengalahkan para Pokemon trainer tersohor untuk menjadi champion, tak jarang melibatkan misi penyelamatan dunia di tengah-tengah alur ceritanya.

Tiap-tiap Pokemon memiliki tipenya masing-masing, memaksa sang trainer telaten untuk menghafal peta kompleks keunggulan tipe untuk bisa membangun tim yang dapat bersaing. Tiap-tiap Pokemon juga memiliki sekumpulan jurus yang mungkin dipelajari seiring perkembangannya, yang hanya dapat dipelajari pada level-level tertentu. Karena tim kita terbatas pada enam Pokemon, dengan masing-masing Pokemon terbatas pada pada empat jurus, komposisi tim menjadi faktor sukses kunci dalam menamatkan game-nya.

Bagi aku sekarang, hal-hal tersebut cukup second nature. Ya, tentu saja Bug mengalahkan Psychic dan tentu Pokemon bertipe Water-Ground seperti Swampert hanya lemah 2x terhadap jurus Grass. Tetapi, bagi anak kecil, ada learning curve besar yang harus dihadapi — belum lagi harus mengikuti alur cerita yang kompleks dan berbagai puzzle membingungkan lain dalam game-nya. Briliannya, karena ini semua dibungkus dalam konsep game berisikan hewan fiksi unyu-unyu, rasanya gampang-gampang aja untuk menyerap segalanya.

Karir Pokemonku pun melesat. Tahun-tahun penuh menatap layar itu membuatku lumayan jago. Titik puncaknya ada pada zamannya Pokemon Omega Ruby & Alpha Sapphire (sekitar SMP), yang entah bagaimana caranya aku menjadi salah satu EV trainer resmi di Pokemon Showdown dan bahkan mengikuti turnamen online Pokemon VGC Bandung dengan tim gimik Mega Gengar pakai Perish Song. Zaman itu memang agak parah, sampai-sampai aku mempelajari berbagai mekanisme kompleks yang amat niche untuk bisa cukup kompetitif dalam mengadu Pokemon.

Ada juga hal-hal yang indirectly influenced dengan per-Pokemon-an secara agak lucu. Contohnya, aku suka membangun dunia-dunia imajiner di Pokemon universe yang melibatkan karakter-karakternya dan menuliskannya menjadi fanfiction untuk aku bagikan ke teman-teman sekolahku. Itu (bersama Hunger Games) menjadi semacam awal mula perjalanan kepenulisanku di kelas 4 SD. Pokemon juga membuatku sedikit addicted ke YouTube. Selain itu, karena dahulu aku hanya diperbolehkan bermain game di hari Sabtu dan Minggu, sisa harinya Pokemon tetap di hati dengan cara menonton let’s play videos orang-orang di YouTube — sampai-sampai aku membuat versiku sendiri (meskipun yang awal-awal ini tak pernah di-upload). Exposure-ku ke YouTube sejak dini ini membuatku familiar dengannya dan segala perintilan membuat video.

Tak salah kalau dibilang aku adalah hasil didikan Pokemon. I grew up with it.

Dan sepertinya aku beruntung dengan adiksi kebetulan ini.

my favorite

Jesse Gomez, asisten profesor neurosains di Princeton University, seorang pemain Pokemon sejak kecil juga, menemukan bahwa sifat-sifat unik dari game Pokemon ini memungkinkan suatu natural experiment yang menarik untuk diteliti. Gomez tertarik dengan subjek perkembangan otak manusia, dan penasaran mengenai munculnya region di otak yang membaca kata dan mengenali wajah.

Ia lalu melakukan pindai MRI terhadap 11 subjek, dengan sebagian subjek sangat familiar dengan Pokemon sejak kecil. Saat diperlihatkan gambar-gambar dari Pokemon, para subjek yang familiar mengaktivasi satu region di otak yang persis sama — fenomena yang tak muncul pada subjek lainnya. Implikasinya, Pokemon dengan segala kompleksitasnya, ternyata bisa melatih orang-orang dengan stimulus visual.

Ya, contohnya mungkin ketika aku melihat, misalnya, Swellow, aku tak hanya melihat burung, tetapi aku mengenal tempat-tempat untuk menangkapnya, pada level berapa ia berevolusi dari Taillow, moveset cocok untuknya di game Pokemon Emerald, dan lain-lain. Dan itu berlaku untuk sekian ratus Pokemon hahaha (meskipun sekarang udah mulai lupa-lupa sedide).

Kalau kata Gomez, “There’s all this meta information attached to it that somebody with context is immediately going to be able to access. And so they have this really rich cognitive map of how they’re all related to each other and interact with one another, that somebody coming in would obviously take a very long time to learn.”

Dahulu, aku ingat ada kekhawatiran besar dari para orang tua terhadap video game seperti Pokemon dan potensinya untuk membuat anak-anaknya bodoh: brainrot. Tetapi riset Gomez mengatakan sebaliknya, “If anything, their brain was representing more information than the average person, because in addition to all those other categories, like words and faces, they have a representation for an additional one. So I think, if anything, it shows that the brain is capable of more than what we throw at it currently.”

Jadi ya, aku bersyukur sekali entah mengapa adiksi random yang kutemui waktu kecil ternyata membantuku menjadi sedikit pintar.

Terima kasih Ayah.

si gamer

Tulisan ini dibuat untuk Pekan #NyariTantangan dengan tema harian “Lost & Found”. Yuk #NyariTantangan bersama Nyarita!

--

--

Rakean Radya Al Barra
Nyarita

mengumpulkan buah perjalanan | berbagi tiap jumat (and sometimes wednesdays)