Kehilanganmu, Menemukanku

Karena yang selalu ada adalah pemenangnya.

Raufa Sayyidah 'Adila
Nyarita
4 min readJul 8, 2024

--

People come and go, right?

Bahkan ada kalimat yang cukup terkenal di mana-mana — terutama di kalangan aktivis organisasi — yang aku tidak tahu asal muasalnya dari siapa pun dari mana,

“Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya.”

Di umur berapakah kamu menyadari bahwa teman-teman yang hadir dalam hidupmu silih berganti? Aku sendiri lupa kapan itu terjadi.

Sepanjang 23 tahun hidupku, banyak tempat yang membuatku menetap. Pada tiap tempat itu, aku pun berkenalan dengan banyak orang, lalu satu-dua dari mereka membangun jalinan persahabatan yang lebih erat dari lainnya.

Aku ingat, semasa tinggal di Karawang selama 4 bulan, aku dekat dengan dua anak kembar yang ceria. Semasa SD di Belitong, nyaris tiap pekan aku dan teman-teman dekatku di kelas menyusuri pantai dan kota dengan sepeda. Semasa SMP, aku berkenalan dengan partner lomba menulisku, Vivid, lalu menjalin persahabatan dalam satu grup yang sama — KITA. Di SMA, aku bahkan jadi dekat sekali dengan anak teman orang tuaku yang rupanya pernah satu PAUD denganku dulu. Begitu juga semasa kuliah dan aktif di Masjid Salman, dari satu organisasi/kepanitian ke program-program selanjutnya, kenalanku bertambah, alasanku betah pun semakin bertambah.

Tapi, dari masa ke masa itulah, aku pun menemukan makna kehilangan berkali-kali. Berpindah tempat, berpindah rutinitas, maka orang-orang yang semula kutemui tak lagi sama. Kabar yang kudapat dari mereka yang pernah dekat, hanya sebatas ‘melihatnya’ dari media sosial — semisal aku turut bahagia karena salah satu dari si kembar telah menikah dan punya anak perempuan nan lucu, namun turut menyesal tak pernah menyempatkan bertemu hingga kembarannya berpulang lebih dulu ke sisi Allah. Itu baru salah satu kabar.

Lantas, gimana kabar yang lainnya ya?

Maksudku, the real kabar mereka. Bukan sekadar kabar yang mereka cipta sebagai citra di social media. Aku rindu momen-momen berharga dengan sahabat-sahabat lamaku itu. Sekarang, ada semacam tameng yang membuat enggan untuk menyapa, seolah kami tak pernah saling berbagi cerita sebelumnya. Bukan yang benar-benar ‘asing’ banget sih, cuma emang udah gak sama lagi aja karena udah lewat momennya. Kalau kata lirik lagunya Juicy Lucy mah,

Dahulu ku mengenalmu paling
Semua tentangmu tertawa denganmu
Mengapa kini berubah asing
Tak saling menyapa lupa ku pernah di sana

Ya, rasanya… semakin waktu berlalu, semakin banyak pula aku kehilangan mereka satu persatu.

Kembali ke awal tadi, tentang ‘orangnya’ dan ‘masanya’. Aku makin mengiyakan, bahwa ini adalah bagian dari takdir-Nya; semua orang, semua hal, semua benda, semua peran, semua-muanya — emang udah momentum paling tepatnya aja hadir seperti itu. Jadi gak mesti berlarut-larut dalam emosi, ketika satu-dua hal pergi dan gak menyanggupi untuk membersamai kita selamanya di sini.

Sambil memikirkan makna kehilangan, algoritma Instagram lantas membawaku pada sebuah tulisan yang masih segar dari seorang penulis yang selalu kusukai diksi-diksinya.

“Kenapa kamu tidak hancur, padahal sedang kehilangan?”

Memangnya apa yang kupunyai sedari awal? Bukankah semua hanya ‘titipan’? Ketika yang menitipkan mengambil punyanya kembali, kenapa aku harus marah?

— @febriawanjauhari

Ya, rasanya… malu. Kenapa aku sering sekali merasa kehilangan, terutama saat berpindah zona pertemanan, sedangkan sedari semula mereka memang bukan milikku? Mereka hanyalah titipan yang hadirnya seperti sunset yang presensinya mungkin singkat namun begitu mempesona — seseorang pernah mengirimiku sebuah video tentang itu yang di dalamnya terungkap, “we just get to appreciate it for the time it’s here, and then it’s gone.”

Jingga Biru di Pantai Tanjungpendam | Dok. pribadi 2019, Tanjungpandan, Belitong.

Yang bertemu, harus mempersiapkan diri untuk berpisah. Namun untuk kehadiran siapapun itu kini, kita perlu menjaga sebaik-baiknya sebagai titipan terbaik-Nya. Menciptakan senja yang sangat berarti, sebelum nantinya kita akan kehilangannya.

Namun memaknai kehilangan ini, menyadarkanku untuk menemukan sesuatu. Aku berproses dalam menemukan diriku sendiri. Diriku yang selama ini bias saat bersama orang lain di tengah keramaian. Ketika ditinggalkan dan meninggalkan, yang kutemukan di sudut ruang hanyalah diri sendiri. Aku gak punya siapa-siapa lagi. Mau gak mau, aku cuma bisa ngobrol dengannya, berbagi ketidaknyamanan dalam kesepian yang dirasakan bersama.

Karena self-talk lah, aku jadi tahu, bahwa diriku emang se-gak bisa itu kesepian sebenarnya. Selalu aja butuh ‘teman’ di sekitarku — yang jadi tempat menumpahkan keruwetan kepala, yang memberiku perhatian dan validasi atas pencapaian yang kulakukan, yang menjawab semua kebingunganku, yang dengan dia ‘ada’ aja tuh udah bikin aku merasa cukup. Kadang jadi gak penting dia siapa, pokoknya ada, cukup.

Hal itu cukup membahayakan buatku. Akhirnya kumaknai ulang kata ‘kehilangan’, hingga kata tersebut membuatku yakin maknanya persis seperti lirik lagu Mencintai Kehilangan dari Anisa Rahma,

Takdir yang Kau beri menguji hatiku
Terasa menyesakkan kehilangan ini
Tangis yang Kau beri membuka mataku
Bahwa cinta yang sebenar cinta hanya ada satu
Karena kehilangan ini kumampu mendekat kepada-Mu

Karena kehilangan ini, kumampu menemukan diriku sendiri, dan membimbingnya mendekat kepada-Nya. Dengan kesendirian yang kualami, dengan sesaknya dada saat haus perhatian itu tiba tapi gak bisa kudapatkan dari siapa-siapa, dengan segala keluh kesah yang ingin tumpah — ternyata, aku selalu punya Dia. Dia Yang Maha Kekal, dan selalu ada, selalu ada, selalu ada, bahkan tak lekang oleh masa.

Tulisan ini dibuat untuk Pekan #NyariTantangan dengan tema harian “Lost & Found”. Yuk #NyariTantangan bersama Nyarita!

--

--