Ketupat itu Berwarna Cokelat

dithaa
Nyarita
Published in
4 min readSep 12, 2024
Photo by Jeremy Bishop on Unsplash

Aku kelelahan oleh satu-satunya ingatan yang tersisa tentang pria berkumis tebal itu. Adegan yang terus-menerus berulang di pikiranku seolah diiringi oleh dentingan piano tua yang tak pernah berhenti, melantunkan melodi yang menyayat hati. Yang semakin membuatku tersiksa adalah kenyataan bahwa kenangan yang menghantuiku hanyalah potongan kecil, seakan waktu enggan memberikan lebih dari itu.

“Kakak, ka dieu! Tinggali, Abah teh tiasa ngadamel katupat bentuk mobil, bunder kawas bola, tur boneka beruang,” kalimat itu terus bergema setiap kali aku mengingatnya.

Pria itu, dengan senyum lembut di wajahnya, rambut yang mulai berubah menjadi putih, dan kumis hitam yang lebat, duduk dengan tenang sambil bersandar pada dinding. Kaki kirinya terangkat dengan gagah, memperlihatkan urat-urat hasil kerja keras bertahun-tahun, sementara tangan kanannya memegang sebatang rokok dengan ekspresi rancu yang ia buat. Wajahnya tampak biasa, mirip dengan kakek-kakek pada umumnya. Namun, ada kekuatan tersembunyi di dalam dirinya. Kekuatan itu begitu istimewa dan tak tampak oleh mata biasa, sebuah jati diri yang menakjubkan dari apa yang bisa dibayangkan.

Kadang-kadang aku merenung, andai kata pria itu masih ada, mungkin ia akan menjadi sensasi di media sosial karena caranya membuat ketupat yang begitu unik.

Bukan demi mengejar ketenaran, melainkan karena dia adalah jiwa menyala dengan semangat berapi-api dan kreativitas yang menyinari, apapun keadaannya. Dengan kelembutan hati yang tulus, aku yakin banyak orang akan terpikat dan memberinya penghormatan sepenuh hati. Dia selalu menghadirkan dongeng-dongeng penuh warna, yang menjadi sumber tawa dan kebahagiaan bagi kami semua.

Aku tersenyum, mengenang betapa dulu aku pernah merasa takut padanya hanya karena kumisnya yang tebal. Namun, pada akhirnya, aku justru menemukan kedamaian dalam pelukannya. Memeluk tubuhnya yang mulai rapuh, aku melihat senyum lembut yang tak pernah pudar dari wajahnya.

Pada hari pemakamannya, aku yang masih kecil, tak memahami hakikat perpisahan yang abadi, berkeliaran tanpa arah di seisi rumah.

Aku menjelajah halaman depan, menyisir setiap ruangan, memanggil ke dalam sumur, memeriksa kolam ikan dan pesawahan, dengan harapan menemukan sosok yang hilang. Pencarianku tak kunjung membuahkan hasil hingga akhirnya aku mengerti bahwa pria itu tak akan pernah kembali.

Aku duduk termenung di atas ayunan, mengantar kepergiannya dalam keheningan.

Rasa hampa menyelimuti diriku dalam waktu yang tak terhitung, hingga akhirnya aku terbaring di kasur, berandai-andai sambil membentuk sebuah nisan dari guling dan bantal. Aku mungkin tidak merasakan kesedihan sedalam ayahku yang kehilangan panglimanya atau nenekku yang harus merelakan kedua orang tua dan pasangan hidupnya pergi secara bersamaan. Namun, sebagai anak kecil yang dipenuhi oleh pertanyaan, aku pun merasakan kepedihan dari sebuah kehilangan.

Perpisahan, meski tampak sebagai hal yang tak terhindarkan dan sering dianggap biasa dalam hidup ini, menyimpan kedalaman yang hanya bisa kita rasakan saat mengalami sendiri.

Ketika aku dewasa, cerita yang ayah ungkapkan tentang pria itu mengubah seluruh pandanganku. Ayah menceritakan betapa luar biasanya pria tersebut. Perjuangan hidupnya yang tak pernah berhenti, kebaikan hatinya yang terus-menerus teruji oleh fitnah, kemiskinan, dan pengucilan dari keluarga besar. Namun, pada hari kematiannya, tidak ada satu pun dari sanak keluarga yang hadir atau menyampaikan kata maaf.

Hanya ada kami, termasuk aku dan sepupuku, yang mengenal dan menghargai sosoknya.

Mendengar semua itu, aku merasakan betapa beratnya beban emosional yang ditinggalkan.

Air mata mengalir tanpa henti, dan hatiku hancur karena hanya ada satu kenangan yang terus membekas. Saat aku dan sepupuku duduk di atas sebuah saung, menyaksikan pria itu membuat ketupat berbentuk bola sepak — sebuah langkah pembuatan ketupat yang hingga kini tak pernah kami temukan tutorialnya di dunia maya.

Sayang sekali, kenangan itu perlahan-lahan memudar seperti lukisan yang telah ditelan oleh waktu. Lukisan mungkin masih bisa dipreservasi, tetapi bagaimana dengan suasana itu? Langit biru yang cerah, pohon sukun berbuah lebat, saung berwarna hijau di tepi lapangan voli, dan alas anyaman bambu yang nyaman — semuanya kini semakin memudar, tertutup kabut waktu yang tak dapat kupegang.

Aku bertanya-tanya, mengapa hanya serpihan-serpihan kenangan tertentu yang masih membekas dalam ingatanku? Pertanyaan tersebut menghantarkanku pada sebuah artikel berjudul The Influences of Emotion on Learning and Memory, yang mengungkapkan bahwa emosi memiliki pengaruh kuat terhadap cara kita mengingat. Kata-kata yang sarat dengan perasaan, baik yang membawa kebahagiaan maupun kesedihan, lebih mudah tertanam dalam ingatan kita daripada kata-kata yang netral (Tyng et al., 2017).

Mungkin kekagumanku terhadap ketupat yang dirancang khusus untuk hari raya kala itu meninggalkan jejak yang sangat mendalam. Ketupat berbentuk mobil, bola sepak, dan boneka beruang menyisakan kesan yang tak akan mudah dilupakan oleh siapa pun yang melihatnya. Bentuk-bentuk unik ini menanamkan memori yang terus mengingatkan kita akan kehadiran beliau di setiap perayaan dengan cara yang halus namun menyentuh.

Barangkali, dia sudah merasakan bahwa waktunya semakin mendekat, atau mungkin dia ingin meninggalkan jejak berharga di hati anak-anak kecil.

Barang kali, hanya aku yang berfikir berlebihan karena merindukannya.

Aku hanya bisa berbisik dalam hati, “Langkah ini benar-benar bijak dan penuh makna.”

Perjalanan ini tampaknya belum mencapai akhir yang diinginkan. Pemahamanku tentang memori yang ditinggalkan oleh pria itu memunculkan berbagai macam pertanyaan baru. “Bagaimana nasibku nanti? Bagaimana aku akan dikenang setelah aku tiada? Apakah kehidupanku dapat memberikan kesan positif kepada mereka?”

Sejujurnya, aku merasa tertekan.

Aku cukup kesulitan untuk membayangkan sebuah kenangan yang dapat dibandingkan dengan keunikan ketupat yang telah beliau ciptakan. Ketupat berbentuk bola sepak berwarna hijau muda yang dahulu penuh keceriaan dan gemerlap, kini memudar warnanya menjadi cokelat pudar seiring berlalunya waktu.

Kutipan:

Tyng, C.M., Amin, H.U., Saad, M.N.M. and Malik, A.S., 2017. The influences of emotion on learning and memory. Frontiers in Psychology, 8, p.1454. Available at: https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.01454

Tulisan ini dibuat untuk Lingkar Nyarita #5 dengan tema “Timekeeper”.

--

--