Krisis Adab

safinaism
Nyarita
Published in
2 min read2 days ago

Dua tahun lalu aku sempat naksir sekali dengan organisasi rohis sekolahku ketika baru masuk MA. Entah apa yang membuatku begitu terkesan saat itu hingga (mungkin sebab deretan aktivitas seru pada poster promosinya) hatiku begitu menggebu-gebu setiap kali akan menghadiri agenda mingguannya.

Soal suka-sukaan serunya memang menceritakannya sembari mengembara kembali ke masa lalu. Karena kadang kita tak sadar sedang naksir saking menikmatinya, kita baru sadar rasa suka ternyata telah tumbuh subur terhadap sesuatu ketika sesuatu itu sudah tidak dalam genggaman kita, ketika ia menghilang, atau ketika semuanya sudah berakhir.

Tapi jangan sampai lah ya, sebaiknya kita memperhatikan betul betapa berharganya hal-hal di sekitar kita, supaya kita bisa bersyukur dan tidak menyia-nyiakannya. Tak kalah penting juga untuk terbuka mengungkapkan hal yang kita suka tersebut bila perlu.

Hari ini aku menonton beberapa video tentang kisah pengalaman para pendaki. Aku selalu tertarik untuk nanjak tapi belum ada kesempatan. Setelah mendengar kisah-kisah mereka, aku jadi berpikir dua kali, wkwk.

Bukan karena khawatir capek atau susah dan ribetnya, tapi khawatir dengan maraknya pelanggaran etika, norma dan agama yang sudah tak asing lagi. Sebenarnya kalau soal ini sih, tidak hanya di gunung tapi di mana-mana ada, namun membayangkan kegiatan mendaki yang bukan perkara mudah ditambah harus berhadapan dengan hal-hal semacam ini pula, aku begitu menyayangkan.

Tidak terbayang betapa geramnya para pendaki yang murni hendak menikmati alam, jadi tidak nyaman dan ada yang sampai terancam pula keselamatannya karena ulah segelintir manusia-manusia tak beradab tersebut.

Photo by jack atkinson on Unsplash

Aku ingat perasaan kesal pagi itu saat membawa adikku yang masih kelas 3 SD berjalan-jalan di taman. Niatku hendak healing, bonding, menghirup udara segar dengannya namun harus terganggu dengan pemandangan pemuda-pemudi bemesraan di pinggir jalan. Aku refleks menutup mata adikku dengan telapak tangan. Aku khawatir, sangat khawatir. Kemana perginya rasa malu? Kemana perginya kehormatan?

Sakit sekali memikirkan kenyataan bagaimana moral generasi kita sekarang dalam keadaan darurat tergerus arus budaya-budaya asing seolah tiada yang menahan atau membentengi. Kita punya agama dan budaya baik yang orang tua dan guru-guru kita ajarkan sedari kecil. Tolong jangan lupakan nilai-nilai itu. Tolong perhatikan betul apa yang kau petik dari segala media digenggamanmu. Jangan bermudah-mudahan dan menormalisasikan sesuatu yang salah, tolaklah dengan segenap tenaga kita.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 49]

Semoga Allah melindungi dan menjauhkan kita dan sanak saudara kita dari segala kemungkaran. Jangan sampai kita kehilangan kepedulian untuk saling mengingatkan saudara-saudara kita akan kebaikan.

Tulisan ini dibuat untuk Pekan #NyariTantangan dengan tema harian “Naksir Berat”. Yuk #NyariTantangan bersama Nyarita!

--

--