Leaving Bandung?

Kota Kembang, Kota Kelahiran

Rakean Radya Al Barra
Nyarita
5 min readJul 10, 2024

--

watchin’ over my city (2021)

Sejatinya manusia itu penuh dengan hasrat mengapresiasi!
Coba ceritakan mengenai suatu hal (orang/lagu/seni/buku/film/apapun!) yang kamu lagi sukaaaa banget — sampe bisa dibilang
“naksir berat!”

Belakangan ini, mulut dan jemariku jadi lebih senang berbagi dari biasanya, entah kenapa. Hal ini bahkan mengejutkan aku sendiri karena takut terkesan annoying terhadap korban-korban ceritaku yang panjang-lebar, ke mana-mana, dan biasanya diakhiri dengan kesimpulan hikmah atau pun action item.

Dengan begitu, fenomena hiper ini membuatku cukup tertantang untuk memilih hal apa yang akan kujadikan objek cerita untuk prompt hari ini. Aku sedang suka banyak hal! Cerita tentang apa yaaah? Buku Mariana Mazzucato yang sedang kucerna? Reels konyol yang suka dibagikan? Bulan sabit Muharram? Hasil fotoku dari Instax pinjaman? Tulisan ciamik peserta Pekan #NyariTantangan? Mata bor baru? Parfum raspberry-bergamot? Si Teteh? Beribu-ribu pilihan!

Akhirnya aku putuskan untuk sedikit curang dan menulis tentang objek hasrat apresiasi akhir-akhir ini yang cukup komprehensif dan mengandung banyak sekali hal-hal favorit dan kesukaanku: Bandung!

Kota Kenangan

Rakean kecil ikut pawai di Muararajeun (2004)

Sebagai disclaimer, aku lahir 22 tahun lalu di Lembang, yang sekarang termasuk Kabupaten Bandung Barat DAN sekarang pun aku tinggal di Ujungberung Sebelah Atas (USA) yang sebetulnya termasuk Kabupaten Bandung, jadi sejatinya aku tak lahir atau pun tinggal di “Kota Bandung” — tetapi segala unsur kehidupanku di sini membuatku cukup yakin untuk menyematkan identitas “orang Bandung” pada diri sendiri.

Aku baru betul-betul ‘mengenal’ Bandung seolah dalam suatu crash course kehidupan selama SMP dan SMA. Kebetulan, SMP-ku banyak menuntut pembelajaran ke lapangan dan itu cukup membangun kesadaran kelas. Menjadi komuter transportasi publik (angkot maupun TMP) tiap hari hingga pertengahan kelas 10 SMA juga membuatku terbiasa dengan kacamata pejalan dan lensa warga lokal. Jadi, meskipun aku tersemai di negeri elang botak, Bandung-lah yang menumbuhkanku.

Ia guru yang baik.

Dengan begitu, judul dari tulisan ini terkesan retoris. Leaving Bandung? Siapa, memang, yang mau meninggalkan Bandung? Kalau bicara soal kemauan, ya, bukan saya!

Kota Kacrut

mengunjungi pemukiman terancam gusur di pinggir cikapundung, taman sari (2016)

Ada 1001 alasan untuk membenci kota ini. Lebih malah. Aku takkan kaget apabila kau ingin dan mampu menguraikan 1002 alasan. Atau pun 1003. Boleh saja — aku tidak protes!

Sepertinya setiap lokal memang memiliki love-hate relationship dengan tempat yang mereka tinggali, dan orang Bandung sangat menerima relationship tersebut. Seandainya kamu maki-maki Bandung depan lokal, sepertinya mereka hanya akan mengiyakan. Justru, rasanya lebih banyak pendatang berplat B yang meromantisasi dan mengistimewakan Bandung ketimbang lokalnya. Lokalnya, ya, bergumam dan mengeluh mengenai banjir di Gedebage dan kemacetan abadi Kopo Area, misalnya. Bandung aesthetic kumaha?

Hal inilah satu kemiripan wargi Bandung dengan wargi Philadelphia — kota yang aku singgahi selama satu semester sewaktu exchange. Masyarakat lokal kedua kota tersebut sebetulnya memang sangat love kotanya sendiri, tetapi mereka juga love to hate kotanya. Kebobrokan dan ketakelokan Bandung dan Philadelphia sama-sama di-embrace oleh warganya secara hampir “yaudahlahya” selama tak begitu mengancam hidup.

Jadi begitulah sikap orang Bandung terhadap kemacetannya yang semakin teu ngotak, gunung-gunungnya yang semakin gundul, sampahnya yang semakin tak karuan, pejabat-pejabatnya yang semakin ketahuan korupsi, dan pengangguran-bergejala-pungli yang merajalela — “yaudahlahya!”

Kota Kita

silaturrahmi komunitas (2024)

Akhir-akhir ini aku sedang menaksir Bandung!

Aku tahu dan sadar betul semua kekacauannya, tetapi ia tetap menarik hati. Memang banyak yang kubenci! Tetapi aku memilih untuk memahami. Bukankah itu cinta sejati?

And believe me, aku telah mengunjungi berbagai kota keren dunia, dari Singapura hingga New York City, tetapi tak ada yang menggantikan posisi Bandung di lubuk dadaku. Eropa belum kukunjungi, sih. Tunggu saja tanggal mainnya, siapa tahu aku berpindah hati. Ehehe.

Heureuy ketang.

Menariknya, sentimen ini ternyata dimiliki juga oleh temanku, Zahid, seorang lokal Duri, Riau, yang berkuliah di Jepang dan sedang exchange ke Jerman. Ia telah melalangbuana mengelilingi dunia dan berbagai penjurunya, tetapi anehnya tetap memilih Bandung sebagai kota nomor satu untuk ia tinggali. Salah satu alasannya adalah karena geliat meriah komunitasnya yang begitu guyub.

zahid, dhanil, aku, dan yadi karung (2022)

Sebetulnya sewaktu SMP aku sedikit-banyak bersinggungan dengan kehidupan berkomunitas di Bandung — iklimnya memang cukup kentara di sana. Tetapi, baru-baru ini aku betul-betul terjun ke dalamnya sebagai peserta komunitas sekaligus inisiator komunitas (Nyarita!). Ini membuatku jauh lebih paham kesibukan-kesibukan ibuku yang sebetulnya tidak bekerja (IRT), tetapi amat sibuk mengurusi berbagai komunitas yang ia ikuti yang berbasis di Bandung.

Dan… Betul-betul seru!

Berbagai jenis dan perspektif manusia kutemui, mau itu di diskusi larut Kedai Jante atau ruang nyaman elitis TheRoom19. Aku belajar untuk melihat (litereli!) melalui photowalk bersama Rabumotret, dan belajar untuk mengabdi (tidak begitu litereli) melalui Ukhuwah Lima. Bersama para lokal di jalanan aku belajar untuk mendengar, dan bersama para aktivis seperti di Kampoeng Tjibarani aku belajar untuk bertindak. Bergerilyalah aku, berkeliling, bertemu orang untuk jualan Nyarita-ku, dan mengapresiasi begitu guyubnya kota ini dan begitu berintegritas orang-orangnya terhadap passion yang mereka miliki.

Betah aku betah!

Sampingkan vibes Bandung yang katanya romantis nan estetis itu, sampingkan suhunya yang begitu perfek, dan sampingkan lokasi-lokasi wisata trendy itu — and you still have an amazing community-driven city!

Hai, kekasihku, Bandung! Kupersembahkan Komunitas Nyarita sebagai salah satu ukiran permanenku dalam sejarahmu; mohon terima ya!

testimoni orang amrik before & after aku bawa jalan-jalan di bdg (2024)

Judul terinspirasi dari tweet beberapa hari lalu:

Mempertanyakan potensi perubahan suatu hal yang sifatnya seolah mutlak

Tulisan ini dibuat untuk Pekan #NyariTantangan dengan tema harian “Naksir Berat!”. Yuk #NyariTantangan bersama Nyarita!

--

--

Rakean Radya Al Barra
Nyarita

mengumpulkan buah perjalanan | berbagi tiap jumat (and sometimes wednesdays)