Mengejar Warna

Rakean Radya Al Barra
Nyarita
Published in
3 min readJun 30, 2024
Photo by Buse Doga Ay on Unsplash

Lembar-lembar hidup memang menyimpan berjuta kejutan dalam perubahan. Namun bukankah langkah-langkah di luar ambang kenyamanan yang justru paling berkesan?

Hiduplah seorang pelukis di kediaman yang berjuta langkah dari pusat peradaban — memang desa itu tempat keluarganya bertumbuh. Tetapi karena ulahnya sendiri, desa itu bukan tempat dirinya bertumbuh.

Sejak pertama kali ia mengangkat kuas, sang pelukis memutuskan ia tak ingin menetap dalam warna-warna pedesaan selamanya. Hijau pohon, biru langit, dan kuning padi telah bosan ia pandang. Terlebih cokelat sapi-sapi yang konon kelak akan menjadi urusannya setelah Papa dan para om tak lagi sanggup mengelola peternakan.

Sang pelukis tidak punya masalah terhadap desa kelahirannya, sebetulnya. Hanya saja, ia temukan bahwa ada hal-hal yang tak mampu ia lukis pada kanvasnya —hanya karena ia tak mengenali warna apa yang harus ia pakai.

Contoh: istana-istana dan kota-kota megah yang hanya ia lihat pada koran harian dan televisi-yang-sinyalnya-begitu-buruk itu tak pernah ia pandang warnanya. Keindahan sejatinya tersembunyi di balik monokrom. Atapnya itu… harus ia lukisi dengan putih awan atau dengan kelabu daun runtuh? Mobil-mobil megah itu… harus ia bentuk dengan merah ikan kakap atau dengan biru samudera?

Bermodalkan kegigihannya untuk mencari warna, pada suatu hari, sang pelukis bersikeras mengejar restu Papa dan Mama untuk bersekolah ke Kota. Di sanalah rumah Tante, satu-satunya anak desa yang berhasil menembus jejaring hidup dan tenggelam dalam warna-warni kota. Setiap tahun sekali, Tante kembali pulang ke desa membawa berbagai oleh-oleh dengan warna-warni yang tak pernah sang pelukis lihat sebelumnya. Ia memajangnya rapi di dinding tepat di atas meja kerjanya — pengingat akan warna-warni Kota yang begitu ia dambakan, sekalipun itu adalah bungkusan permen yang ingin sekali Mama buang (“Masa sampah dipajang?!”).

Sekalipun mimpinya terasa begitu aneh bagi Papa Mama (“Udah enak di sini, tinggal ngurus kebon bareng Bapak!”), entah apa yang mereka pikirkan hari itu, restu itu datang juga. Lalu berangkatlah sang pelukis ke Kota menumpangi truk besar yang setiap minggu dua kali mengantar pupuk ke desa.

Tiga tahun di Kota.

Warna-warna Kota tidak menyenangkan.

Hal inilah yang terngiang-ngiang dalam kepala sang pelukis sejak pertama kali ia melangkah ke dalam rumah Tante.

Salah. Sebab, tempat itu tak bisa disebut rumah.

Tante ternyata mengontrak di kamar pojokan sebuah toko laundry yang hampir bangkrut, tak jauh dari pabrik-pabrik tempatnya bekerja. Tante berbaik hati sekali memohon-mohon kepada pemilih kontrakan untuk membiarkan ponakannya tidur di kamar kecil yang tadinya gudang pakaian. Itu menjadi studio pertama sang pelukis.

Dan ia pikir warna-warni dari pabrik dan jalanan tak seasyik apa yang ia bayangkan sebelumnya. Kanvasnya dikotori asap, hitam-putih-kelabu cepat membosankan, dan yang paling menyebalkan — bajunya mudah kotor dan harus berkali-kali dicuci di tempat laundry-yang-sekarang-mata-duitan-itu.

Kelabu, kelabu, kelabu! Di manakah warna-warni cerah yang mimpinya janjikan? Di manakah keindahan yang dulu ia dambakan dalam oleh-oleh yang terpajang di atas meja? Jika ia tahu begini, mungkin ia takkan pernah berani melangkah pergi ke Kota! Siapa sangka Kota ini begitu kelabu!

Sepuluh tahun di Kota.

Sang pelukis memutuskan untuk kembali ke desa: bukan karena harapannya pupus, melainkan karena ia baru-baru menyadari tujuannya telah lama tercapai.

Ia butuhkan waktu berwulan-wulan dan lukisan berkanvas-kanvas untuk menyadarinya, memang. Karya-karya baru ini — yang ia lukis dengan semangat yang baru — diapresiasi seantero masyarakat yang sama-sama paham kerisauannya. Dan ia semangat berbagi temuan-temuannya ke adik-adik kecil di rumah.

Ternyata ia telah temukan hal baru yang ia cari itu: kelabu juga adalah warna.

Photo by Rafael de Nadai on Unsplash

tulisan ini dibuat impromptu pada Lingkar Nyarita #1 di Kedai Jante dengan prompt “Hal Baru”

--

--

Rakean Radya Al Barra
Nyarita

mengumpulkan buah perjalanan | berbagi tiap jumat (and sometimes wednesdays)