Menjadi Lebih Tidak Baik

Adhisya
Nyarita
Published in
3 min readJul 12, 2024
Photo by 愚木混株 cdd20 on Unsplash

Dari sekian banyak kurang dalam diriku sepertinya aku kurang "kurangnya".

Konten-konten feminine energy, cara agar diratukan, attachment style for relationship terus mengisi FYP-ku akhir-akhir ini. Entah sudah video Tiktok ke berapa, tidak terhitung. Algoritma seolah tahu apa yang sekarang mengisi penuh kepalaku. Namun, bukannya mendapat jawaban, aku malah makin kebingungan. Aku secara sadar dan tidak sadar mencoba terus "menambal" apa-apa yang menurut konten-konten itu adalah kekurangan dan berakibat aku, sebagai wanita, juga sebagai pasangan merasa jadi tidak "normal".

Aku merunut kekurangan-kekurangan itu. Segera mencari solusi struktural yang mesti aku jadikan habit hingga membentukku menjadi sosok ideal atau setidaknya mendekati normal. Bersamaan dengan itu aku juga kecanduan konten-konten tiktok semacamnya. Konten sebelumnya tak terasa mengubah, adopsi konten lain, cari lagi, coba lagi, gagal, merasa kurang lalu mempertanyakan value diri. Siklusnya terus berulang dan ujung ujungnya ya, gagal.

Aku termenung sejenak. Bukankah terus menjadi lebih baik harusnya membawa aku ke keadaan yang lebih baik juga. Konsep sederhana dan umum, bukan?

Dulu, saat masih sekolah, konsep ini selalu terbukti benar. Aku belajar dengan baik, naik kelas dengan nilai baik, lingkungan teman jadi positif, validasi dari guru dan orang tua juga meningkat, lalu aku bahagia. Tapi, mengapa konsep ini seperti menjadi salah, saat aku menginjak dewasa di luar bangku sekolah?

Pertanyaan itu terus memojokkanku. Membuat aku mempertanyakan prinsip-prinsip hidup yang aku pegang sejak lama. Apa prinsipku selama ini salah, ya? Apa lebih baik diubah saja? Atau, mungkin, aku yang kurang mencoba, besok coba lagi, perbaiki lagi. Kata-kata penenang.

Hingga aku melihat banyak pribadi lain yang bisa mendapatkan sesuatu tanpa perlu menjadi lebih baik. Mereka hanya jadi diri sendiri saja. Lantas seperti sihir, apa yang mereka ingin seperti mengalir secara otomatis. Aneh. Padahal mereka banyak kurangnya juga. Aku bukan membicarakan soal usaha, tapi soal pribadi, pola pikir dan hal-hal lain yang aku rasa bisa diubah menjadi lebih baik. Menjadi lebih "normal". Aku mulai kebingungan sebenarnya standar "normal" itu apa? Ya, bagaimana caranya aku bisa menjadi "normal" standarnya saja tidak jelas. Bahkan seringkali bertolak belakang dengan prinsip yang aku pegang.

Kembali aku berefleksi, mungkin selama ini, apa yang aku anggap "seharusnya" itu, tidak berlaku di kehidupan bebas ini. Juga mungkin, saat menjalani hidup, prinsip adalah suatu hal yang bukan menjadi bahan pembentuk utopia yang sesuai mau ku. Prinsip dipegang untuk menjadi penunjuk jalan dan manfaatnya hanya berlaku dari kita dan untuk kita. Bisa jadi, beberapa kurangku tak perlu diperbaiki agar sesuai dengan standar hidup banyak orang. Mungkin, aku hanya butuh tempat baru yang bisa menerima kurang-kurangku sepenuhnya. Masih aneh. Memangnya ada? Aku belum setuju sepenuhnya.

Lucunya lagi, aku bahkan pernah bertemu orang yang lebih nyaman membersamai orang yang lebih banyak meminta dan bersandar dari pada membersamai orang yang konsisten menjadi lebih baik. Si aku yang seperti robot ini, yang selalu ingin sempurna ini, terdiam sejenak, memproses. Kok bisa ya?

Maka, per hari ini, aku mau mengambil satu kesimpulan baru. Masih membuat bingung memang. Tapi tak apa.

Aku percaya, kalau hidup ini ternyata berjalan tanpa aturan pasti. Pun jika ada, aturan itu akan berubah-ubah. Apa yang dulu kupikir berakibat pada apa, bisa saja tidak terjadi di beberapa kasus tapi terjadi di kasus lain. Memusingkan. Tapi, begitulah adanya.

Menjadi lebih baik bisa jadi tidak membuat hidupku jadi lebih baik. Karena dari sekian banyak kurang dalam diriku ternyata aku kurang "kurangnya".

Tulisan ini dibuat untuk Pekan #NyariTantangan dengan tema harian “Utopia-Dystopia” Yuk #NyariTantangan bersama Nyarita!

--

--

Adhisya
Nyarita
Writer for

Part time story teller ✨ Find me on Tiktok & Instagram: @a_dhisya ❤