Mesin Pabrik

“Setiap tulisan merupakan dunia tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian.”― Pramoedya Ananta Toer, House of Glass.

Secarikata
Nyarita
10 min readJul 5, 2024

--

Sepulang senja dari Kota Kembang, temaram duduk di genting sebuah rumah kuno gaya arsitektur eropa. Paduan suara jangkrik melucuti waktu dalam kesendiriannya. Secarik kertas terkoyak rindu yang tak pernah usai disampaikan sang pemuda, hanya sebaris kalimat yang berhasil tertuang dalam kertas kusam tersebut. Sayu matanya seolah mendambakan kumpulan bintang tersimpan dalam gelas berisikan kopi yang ia buat beberapa jam lalu, agar ia dapat melahap bintang-bintang berkandungkan kafein. Waktu di mana purnama semakin larut dalam jadwalnya yang akan berakhir, pada saat itulah penghuni pertiwi sibuk memetik setangkai bunga tidur. Suara mesin kendaraan hampir tidak terdengar, hanya riuh kolektif jangkrik bernyanyi. Serupa makhluk nokturnal, gelita dan dirinya adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Namun, tampaknya hari ini memiliki warnanya tersendiri. Bukan merah pada kebun mawar, atau mesra jingga saat petang tiba, ia adalah kelabu yang menyusup di sebuah pelangi. Ia hanyalah seorang pemuda, gemar menulis sajak juga melahap buku.

Pemuda asal Kota Kembang, setia bermain di kantin sastra berisikan manusia yang enggan bersuara, karena sastra terkadang tidak dapat terbang bebas. W.S Rendra adalah penyair pujaannya, sedangkan Soe Hok Gie adalah jalan yang dipilihnya. Gelas berisikan kafein lantas mematahkan nokturnal dirinya, tidak membuat raganya terjaga namun menumbuhkan rasa kantuk yang hebat. Kali ini kerinduan kasur akan tubuhnya terkabul, namun saat tubuhnya menyentuh kasur — kantuk pamit seketika. Seketika ia teringat akan kutipan seorang sastrawan legendaris,

Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai. — Pramoedya Ananta Toer.

Baginya muda-mudi era sekarang tidak lagi peduli juga tidaklah tulus dalam setiap apa yang mereka perjuangkan. Kepentingan politik dan kepentingan pribadi turut menahkodai para muda-mudi. Dinding kamarnya berhiaskan kumpulan sobekan kertas dari lembaran buku yang diarsipkan, sisanya poster grup musik asal negeri barat. Matanya menyusuri setiap barang yang ada di kamarnya, ia tidak bisa tertidur. Pikirannya mengembara ke antah berantah, tangannya tidak bisa berhenti bergerak dengan gestur seperti orang sedang menulis. Perlahan ia meregangkan tangannya, badannya bersusah payah untuk duduk di kasur. Sekarang ia mulai merogoh-rogohkan tangannya ke bawah kasur — terdapat sebuah buku kumpulan puisi yang sebentar lagi hampir habis kertasnya. Tepat sekali saat ia mulai membuka lembaran buku, tersisa satu lembar kertas, maka mulailah ia menuangkan keresahan yang mengusik bangunan kepalanya.

“Seorang anak kecil memanglah harus diasuh, setiap langkahnya akan dipandu oleh ayah dan ibunya–karena ia belum pandai berjalan. Saat remaja kelak, seorang pemuda akan mencoba terlepas dari belenggu kerangkeng sosial — ia bukan lagi seorang anak kecil yang berjalan di tepi sungai!” sebaris kalimat telah mengisi penuh lembaran kertas tersebut.

Bergegas ia berdiri, menghampiri jendela kamar yang masih terbuka hingga ia temukan hanya angin malam yang terlampau sendu menari ke sana dan kemari. Ia menggenggam erat kertas tersebut yang telah disobeknya, dengan korek gas di tangan kanan yang telah ia siapkan. Mula-mula ia gunakan pemantik api, kemudian membiarkan api bercumbu dengan kertas tersebut hingga abunya membelah langit malam. Bersama dengan gumpalan asap yang melayang, kemudian ia berkata, “Penyair tanpa kebebasan tak lebih dari penulis yang tak berpikir, begitu juga ajang karya seni serupa dengan domba dan gembala!

Tiba-tiba seisi ruangan penuh kehampaan, suara denting jam tak lagi terdengar. Ataupun suara-suara ranting yang tertiup angin. Sebuah pemantik api terjatuh, buku-buku di kamar itu beterbangan seperti puting beliung, pena-pena yang berbaris menggelinding ke segala penjuru, tanpa suara sedikitpun. Lampu pijar yang menggantung di atas meledak hingga berhamburan, kemudian suara-suara kembali hadir.

“Mbeeek… Mbeeek…” suara pertama yang datang setelah kekacauan terjadi: seekor domba tentunya. Tak lain dan tak bukan, domba tersebut adalah wujud pemuda yang telah berganti. Tak ada yang dapat menjelaskan mengapa hal tersebut terjadi. Pemuda yang malang, tak butuh waktu lama untuk menemukan takdirnya. Kini wujudnya adalah seekor domba yang dipenuhi bulu tebal, di antaranya terdapat gulungan kertas yang tersisip. Ajaibnya ia dapat berdiri layaknya manusia, tangannya dapat digerakkan seperti manusia umumnya, juga kakinya dapat berjalan seperti biasa. Saat ia tersadar pandangan matanya tertuju kepada cermin di sebelah meja yang biasa ia gunakan.

“Apa yang terjadi?”

“Mengapa?”

“Apakah ini mimpi?”

Pemuda itu tersentak, hanya bisa berucap dalam hatinya, tak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Ia berjalan sekali lagi ke arah cermin, memastikan ini semua bukanlah mimpi belaka. Semua itu merupakan kejadian nyata, ketika tangannya melambai — bayangan cermin ikut bergerak serupa.

Hanya beberapa saat lagi, shift rembulan akan digantikan oleh sang mentari. Ayam jantan akan berkokok, para buruh pabrik sudah bergegas mempersiapkan diri. Sedangkan ia hanya dapat terpaku meratapi nasib, tak ada yang dapat ia lakukan. Udara embun pagi biasanya menusuk badannya yang kurus, namun kali ini bulu domba memberinya kehangatan juga kenyamanan. Terlepas ia adalah domba, perutnya mulai berbunyi keroncongan. Tanpa pikir panjang, kedua kakinya berjalan melangkah ke arah ruang makan, sesampainya ia tak dapat melahap sisa roti yang ada di meja. Ia mengikuti naluri seorang domba, keluar ke depan teras rumahnya, mengunyah rerumputan yang terdapat di halaman depan rumahnya. Rasanya memang aneh, namun ia lebih menyukai rumput dibanding sepotong roti coklat.

Hari ini tepat pada pukul dua siang, pujaan hatinya menanti dirinya di sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Tempat yang ia biasa habiskan waktu untuk membaca buku dan menulis setiap lembaran buku pertamanya yang akan dirilis. Waktu masih terhitung lama, namun ia tetap tidak dapat merubah wujudnya. Lusa kemarin ia sempat menjanjikan untuk memberikan sebuah puisi untuk bunga hatinya, juga sebuah topi rajutan wol yang telah ia pelajari. Tetapi taman bunga yang telah subur tumbuh di kepalanya akan sirna. Buku, sajak, tumpukan kaset pita, beberapa kanvas lukis, esok hari, akan pupus. Tak berarti apapun. Air mata membasahi sekujur mukanya, hatinya pecah berkeping-keping, jiwanya penuh dengan kebencian. Ia sadar dengan kepasrahannya ini takkan merubah apapun, ia masih percaya pada sebuah harapan — jikalau nanti ada keajaiban yang merubah wujudnya.

Sekarang pemuda berwujud domba ini memilih untuk keluar dari rumahnya. Sebuah Mercedes sedan terparkir dengan pintu terbuka, tapi tak ada seorang pun yang mengambilnya. Berjalan beberapa langkah lagi, ia menemukan dompet berisikan uang tunai yang berserakan, lagi-lagi dibiarkan tanpa pemilik. Hal yang mengejutkan, biasanya kasus pencurian terjadi begitu rutin, namun ia melihat rumah-rumah disekitarnya terlihat sepi tanpa ada penghuni. Setelah berjalan sekitar dua kilometer dari rumahnya, pemandangan serupa tampaknya membosankan baginya. Sampailah ia di seberang alun-alun kota, sebuah toko yang menjual berbagai macam merek TV, namun TVtersebut kehilangan sinyal dan tak menayangkan acara ataupun berita dari sebuah stasiun TV. Keanehan semakin terjadi ketika dalam pandang matanya hanya ada kumpulan hewan tanpa seorang pun manusia. Mereka semua berkeliaran seperti kebingungan, menyerang satu sama lain. Sepertinya keanehan ini tak hanya menimpa dirinya, namun juga orang-orang sekelilingnya. Seekor kuda dilihatnya sedang berusaha menaiki sepeda motor. Di sebelah tempat ia berdiri terdapat kawanan babi yang berusaha memanjat tiang listrik, seekor anjing penggembala sibuk mengejar tikus-tikus yang keluar dari gedung pemerintahan. Gerombolan rakun berusaha menerobos masuk ke dalam toko swalayan, juga api-api mulai membakar sebuah gedung bioskop. Semua kekacauan ini berhenti sejenak, ketika seekor sapi berteriak menggunakan bahasa manusia.

“Aaaaahhh… kota ini dipenuhi binatang-binatang liar!” tampaknya sapi tersebut belum menyadari dirinya sendiri. Semua binatang yang telah sadar akan wujud dirinya mengira tak akan ada yang mengerti apa yang mereka ucapkan. Semua berhenti memberontak, mereka saling menatap satu sama lain. Perlahan-lahan mencoba berbicara,

“Apakah aku sudah kehilangan kewarasan?”

“Tidak, kau tidak sendiri.”

“Apakah ini yang dinamakan Lucid Dream?”

“Sepertinya tidak, ini semua nyata terjadi. Kalau memang mimpi, coba kau pukul wajahmu sendiri!”

“Hahaha sekarang kita semua setara, kita semua tak lagi dibedakan oleh status sosial!”

“Setidaknya bukan hanya diriku yang merasakan keanehan ini, namun sialnya tak ada yang dapat menolong kita.”

Pemuda berwujudkan domba itu akhirnya lega, menghembuskan napasnya dengan tenang. Ia berpikir bahwa dirinya tidak sendirian, bahwa ini adalah masalah bersama yang harus diselesaikan. Seisi kota ramai dengan perbincangan antar hewan, mereka sejenak merasakan senang namun juga kebingungan. Di samping ia berdiri menyaksikan anomali ini, sebuah radio yang terpasang pada sedan tua menyala. Studio dari salah satu stasiun ternama di negara ini menyiarkan berita,

“Selamat siang para pendengar setia, siaran kali ini akan memberikan kabar terbaru yang terjadi di Kota Kembang. Sebuah peristiwa mengejutkan ketika seisi kota dipenuhi binatang di mana-mana, tak terlihat seorang pun yang berada.”

Selang beberapa menit dari berita yang disiarkan melalui radio, sirine mobil polisi berdatangan dengan jumlah yang banyak, sisanya mobil berupa ambulans dan pemadam kebakaran. Entah mereka datang dari mana, tampaknya yang keluar dari mobil-mobil tersebut bukanlah manusia, namun kawanan hewan dengan pakaian manusia. Mereka mengepung para hewan yang berkumpul di tengah kota dari segala penjuru. Para anjing yang menggunakan seragam petugas keamanan telah siap membidik dengan senapan laras panjang, sirine terus dinyalakan sehingga suasana kota semakin kacau. Semua panik, berhamburan mencari perlindungan.

Seekor anjing memerintahkan untuk mematikan sirine dan berbicara melalui alat pengeras suara, “Tak perlu khawatir, harap tenang semuanya! Siapapun yang berani melawan petugas akan ditembak di tempat tanpa aba-aba. Saya hanya ingin kerjasamanya, tak perlu kabur! Kalian semua sudah dikepung!”

Pemuda itu tampak ketakutan, perlahan ia pergi menyelinap untuk kabur dari binatang-binatang aneh itu. Kemudian ia bersembunyi di sebuah rumah kosong, berharap tidak ada yang menangkapnya. Sungguh beruntung ketika dirinya menemukan ruangan yang tampaknya cukup aman untuk bersembunyi. Pada saat dirinya bersembunyi di balik tumpukan kardus-kardus peralatan elektronik, terdengar suara langkah kaki masuk ke dalam ruangan tersebut. Seekor sapi betina menghampiri dirinya, tak ada perbincangan sedikitpun ketika sapi menatap matanya. Sama halnya dengan ia yang tak peduli dengan situasi yang semakin aneh. Sapi betina tersebut memperhatikan dirinya dengan seksama,

“Maaf, sepertinya kau domba yang berbeda dari yang lainnya,”

“Apa yang berbeda?”

“Domba lainnya tidak memiliki gulungan-gulungan kertas yang terselip di antara bulunya.”

“Aku pun tidak tahu, sepertinya aku mengenali suaramu… tidak asing.”

Sapi betina tersebut tidak menghiraukannya, ia mengambil salah satu gulungan kertas yang menempel di badan pemuda. Lalu membaca isi gulungan tersebut.

“Ed..gar? Apakah kau Edgar?”

“…dan kau?”

“Anne!”

Mereka akhirnya bertemu, sementara di luar masih terdengar riuh kekacauan. Sirine-sirine berdengung tanpa henti, terdengar sebuah tembakan senapan api, teriakan ketakutan mengisi celah-celah kekacauan. Sekeliling rumah kosong tersebut terjadi penangkapan massal, seorang gembala memaksa para hewan-hewan untuk mengikuti dirinya–dengan bantuan jelmaan anjing-anjing penggembala. Serigala tidak lagi mengincar babi seperti pada dongeng pengantar tidur anak, serigala dan babi adalah kawan. Edgar seorang pemuda berwujud domba dengan kekasihnya yang berwujud sapi betina menyaksikan pemandangan mengerikan tersebut melalui celah jendela.

“Mengapa hanya ada manusia gembala dari sekian banyak manusia yang berubah wujud menjadi binatang?” tanya Anne.

“Mungkin kita semua adalah personifikasi dari sebuah kenyataan yang terjadi di masa sebelumnya,” jawab Edgar.

Saat kekacauan mulai reda, mereka mulai keluar dari rumah tersebut, mengikuti ke mana para binatang akan dibawa oleh seorang gembala. Dari kejauhan tampak ratusan ekor binatang yang tak tahu apa-apa dipaksa mengikuti gembala, mereka berjalan dalam barisan. Sementara itu, para serigala mengikuti langkahnya dari setiap sisi barisan, memastikan tidak ada yang berani melarikan diri. Edgar dan Anne. Sepasang kekasih itu memiliki keberuntungan mengikuti rombongan tersebut dari kejauhan, dengan penuh kewaspadaan dan perlahan, berharap tidak ada yang mengetahui keberadaannya. Sekitar enam puluh meter di depannya, mereka melihat rombongan tersebut memasuki sebuah bagunan megah. Gedung-gedung menjulang tinggi, ratusan ruangan mengisi bangunan tersebut, para gembala sibuk mengajari para hewan menulis dan membaca. Hewan-hewan tersebut dipaksa untuk mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, namun tentunya dengan aturan yang ditetapkan oleh para serigala. Sebagian dari hewan tersebut memiliki profesi yang berbeda, ada yang menjadi seorang pemain teater, pelukis, pemahat patung, musisi, dan masih banyak lagi.

Hanya ada satu jalan agar mereka dapat merasakan udara bebas dari penjara tersebut. Semua hewan yang mendekap dapat mengikuti sebuah kompetisi, bagi mereka yang berhasil meraih merebut hati para gembala, maka akan dibebaskan. Kompetisi berupa ajang penilaian sebuah karya seni, mereka tidak dapat mengutarakan apa yang mereka pikirkan. Seekor sapi tidak dapat menyampaikan kelelahannya sebagai hewan peras, ayam tidak dapat bernyanyi dengan gagahnya, hewan-hewan yang biasa terkurung di kebun binatang terpaksa untuk memainkan sandiwara pertunjukan teater. Ketika harinya akan tiba, setiap karya seni akan dipertunjukkan di sebuah pameran, menjadi festival. Semua hewan harus mengikuti titah dari babi dan serigala. Para penguasa membatasi kebebasan hewan untuk berekspresi. Kini keadaan berbeda, karya seni dalam museum akan didikte.

Kekacauan yang telah merubah seisi kota bahkan bumi telah mengubah segala keadaan, kemudian kumpulan serigala menciptakan sistem pemerintahan yang baru. Gerombolan babi memegang kendali atas ekonomi suatu negara, serigala memimpinnya. Sekolah-sekolah diciptakan bagi mereka yang akan dipersiapkan dalam roda perputaran, pelatihan bagi para hewan ternak untuk dapat bekerja tanpa henti, semua jenis hiburan akan diberikan kepada para seniman dengan banyaknya batasan. Kini karya seni tak lagi murni, mereka dipaksa untuk menciptakan karya dalam kurun waktu tertentu, juga mereka harus mengikuti setiap panduan yang telah ditetapkan. Generasi baru akan dimulai, sebuah zaman di mana dunia akan tentram tanpa adanya perlawanan dari mereka yang tidak sepaham. Institusi pendidikan mengajari mereka untuk demokrasi, berpikir kritis, mempunyai kepekaan terhadap lingkungan. Tetapi sayangnya, semua itu ada batasnya. Perpustakaan tak lagi menyediakan buku-buku seperti dahulu, sebab buku-buku yang bertentangan dengan idealisme serigala akan dilenyapkan. Tanpa jejak sedikitpun.

Mimpi buruk Edgar pun terjadi, ucapannya menjadi kenyataan. Gulungan-gulungan kertas berisikan sajak yang pernah diciptakan, menjadi berlian bagi dirinya. Ia tak pernah lagi menemukan penyair-penyair besar seperti W.S Rendra, ia tak pernah lagi menemukan buku-buku filsafat, semua karya sastra kini hanyalah mimpi belaka. Sajak-sajak yang ditampilkan oleh penyair tak lagi setajam Wiji Thukul, sebab mereka yang berani bersuara akan dihilangkan selamanya. Para sarjana, teknokrat, cendekiawan, juga kaum intelek lainnya serupa sebuah mesin, mereka tidak dapat memberikan jalan-jalan baru. Abad kegelapan kembali terjadi, sebab kaum-kaum berpendidikan kini memiliki pandangan bahwa sastra serupa buku menulis anak, mereka hanya diajarkan untuk mengikuti titah tanpa membiarkan pikirannya terbang bebas hingga berpikir kritis.

“Edgar! Bangun! Cepatlah!”

“Sebentar lagi kau akan terlambat!”

“Kau sudah tidur seharian lebih lamanya!”

Ternyata semua hanyalah mimpi dari pemuda ini, Edgar bangun dengan wajah yang terkejut berharap kalau pada saat itu merupakan realitas. Ia bangun merapikan kertas dan buku yang berserakan di ranjangnya. Kini ia harus segera bergegas mempersiapkan diri untuk pergi ke kampusnya. Ia menjalankan harinya dengan perasaan yang aneh namun juga lega, sekarang ia harus segera mengerjakan tugas-tugasnya yang menumpuk. Harinya akan menjadi sibuk, karena ia belum sempat memikirkan apa yang harus dibuatnya dalam mengikuti ajang perlombaan seni bergengsi. Sebuah harapan besar bagi Edgar dalam mengikuti ajang penulisan puisi di kampusnya, namun apa yang akan diciptakannya serupa mimpi buruknya. Begitu banyak aturan yang melekat dan mendasari penilaian karya tersebut. Ia bingung harus berbincang dengan siapa, karena teman-teman pergaulannya yang juga mengikuti ajang penulisan ini semata-mata hanya karena ingin mendapatkan hadiah yang menjanjikan. Komunitas tempat ia meniti karirnya sebagai penulis sibuk menciptakan karya sastra yang sesuai dengan standar sebuah penilaian. Tak ada lagi temannya yang benar-benar menciptakan karyanya sesuai dengan kehendak diri. Lingkungan sekelilingnya tak lebih dari mesin pabrik, mereka sibuk menciptakan sebuah karya monoton tanpa menawarkan dimensi lain untuk memahami pengalaman manusia, emosi, dan kompleksitas dunia.

Aldian
Bandung, 5 Juni 2024.

--

--

Secarikata
Nyarita

Menuangkan keliaran akal sehat yang kian dikikis hidup !