Musical Topophilia

Antara Playlist dan Geografis

Rakean Radya Al Barra
Nyarita
5 min readJul 8, 2024

--

dokumentasi pribadi | philadelphia, pennsylvania

Cung, siapa saja yang sengaja tak sengaja mengikat memori suatu tempat dengan lagu tertentu?

Tentu saja aku termasuk.

“Selimut Hati”-nya Dewa 19 menghidupkan kembali dinginnya pagi-pagi di West Haven. “Line Without a Hook”-nya Ricky Montgomery membuat teringat tebing-tebing Gunung Manglayang. “Tiba-Tiba Cinta”-nya Maudy Ayunda memunculkan suasana lari pinggir sungai Schuylkill. “Home to You”-nya Sigrid adalah representasi suara dari kelabunya Cayuga Lake menuju malam hari.

Terkadang, saat mendengar lagu tertentu, terbawa juga segala sensasi indra yang berhubungan dengan suatu tempat. Seketika, sights and sounds and smells dari tempat tersebut menyambar jiwa, tak jarang menggelitik rindu di ulu hati. Terkadang memang segala suasana tempat tertentu terbawa pula karena lagu tertentu sering didengar di tempat tersebut, tetapi terkadang tak juga. Lagipula, kita kan mendengar banyak lagu di tempat-tempat itu, ya? Mengapa harus lagu spesifik itu yang menjadi terikat dengan tempat?

Karena pertanyaan-pertanyaan ini menggelitik kepala, aku memutuskan untuk searching mengenai fenomena ini — barangkali aku tak sendiri. Bertemulah aku dengan artikel jurnal yang berjudul “Sharing songs on Hirakata Square: On playlists and place attachment in contemporary music listening” oleh Bolderman dan Reijnders, yang mewawancarai 17 orang menggunakan berbagai teknik linguistik kualitatif untuk lebih paham mengenai hubungan asosiasi musik dan tempat.

Berikut adalah empat jenis hubungan yang mereka temukan antara musik dengan tempat:

  1. Musical Sounds and Structures: Suara, instrumen, dan struktur musik tertentu dikaitkan dengan tempat tertentu.
  2. Secondary Sign Systems: Lirik, cover album, dan visual dari dokumenter maupun video musik memunculkan asosiasi dengan tempat tertentu.
  3. Geographical Markers: Sejarah dari band atau biografi dari artis menghubungkan musik tertentu dengan lokasi geografis penting.
  4. Places of Production, Distribution, and Consumption: Lokasi semacam toko musik dan venue konser juga dikaitkan dengan musik.

Tiap jenis hubungan ini rasanya pernah kualami. Meskipun banyaknya adalah hubungan yang pertama, sistem isyarat sekunder seperti lirik-lirik “West Virginia” di lagu “Country Roads” ataupun “Cornell University” di lagu “Ithaca” sangat berpengaruh juga. Lokasi artis juga penting, seperti rasanya terikat dengan Detroit melalui lagu-lagu Eminem atau dengan Compton melalui lagu-lagu Kendrick Lamar — meskipun aku tak pernah ke sana. Venue konser seperti Jiexpo Kemayoran juga kukaitkan dengan lagu-lagu Perunggu seperti “33x”, yang pertama kali kudengar di sana sewaktu konser Sheila on 7.

Salah satu metode mengabadikan tempat melalui musik juga kutemukan melalui fitur musik di Instastory. Apakah aku satu-satunya korban nostalgia yang payah, atau memang kah menengok kembali highlights Instagram diri sendiri merupakan hal yang lazim dilakukan? Entah mengapa, begitu nempel rasanya suatu asosiasi lagu-tempat apabila ku-story-kan suatu tempat bersama lagu tertentu. Contohnya adalah lagu “Alexandra” dengan Washington, D.C. dan lagu “Hate to See Your Heart Break” dengan Taman Ismail Marzuki, di antara mungkin puluhan lainnya. Si instastory ini — salah satu bentuk dari kultur musik kontemporer — juga menjadi pengamplifikasi asosiasi lagu dan tempat.

Selain mengikutsertakan segala indra suatu tempat, lebih jauh lagi, lagu seolah mampu mendorong semacam rasa ingin terhadap suatu tempat. Yang sejatinya hanya tempat biasa saja pun terasa penting secara personal, teramplifikasi oleh alunan instrumen.

Ada rasa suka, rasa memiliki, rasa rindu terhadap tempat.

Dan ini yang disebut musical topophilia.

Mau Diapakan Rindu Itu?

gak bisa diapa-apain juga sih, sebetulnya | dokumentasi pribadi | Ithaca, New York

Topophilia adalah istilah yang merujuk ke kesukaan kita terhadap suatu tempat. Paper sebelumnya memperkenalkan konsep musical topophilia, yakni keterikatan terhadap tempat melalui asosiasinya dengan genre, artis, atau aktivitas musik tertentu.

Musik di sini berfungsi sebagai hook sekaligus simbol dari apa yang membuat tempat-tempat tertentu begitu istimewa bagi kita masing-masing. Secara spesifik, kita memproyeksikan perasaan-perasaan dari mendengar musik terhadap identitas geografis. Inilah respons kita untuk mempertahankan sense of place yang begitu sementara — kita ingin melanggengkan tempatnya (perasaannya!), dan itu yang kita lakukan melalui musik (dan rindu!).

Salah satu bentuk eksternalisasi dari rindu itu adalah membuat playlist. Lagu-lagu yang memunculkan vibe tertentu yang membuat teringat akan suatu tempat kita kumpulkan, secara sadar maupun tidak, dan menjadi alat kita untuk membayangkan dan melanggengkan suatu tempat di kepala kita.

Kendati demikian, aku temukan bahwa nostalgia banyaknya adalah jebakan. Kalau kata Gulzar, penyair dari India:

Nostalgia is a sweet place for a poet and writer to be in. But it’s an indulgence; a distraction. You can’t live in a distraction.

Pelajaran ini cukup menamparku di saat aku sedikit krisis diri dan berusaha mencari kembali sensasi gembira kekanak-kanakan melalui perjalanan susur masa lalu, disimbolkan secara apik oleh pohon angker yang cukup mendefinisikan masa kecilku.

Meski ada di tempat yang sama, masa yang telah lalu terasa jauh. Segala karsa masa kecil sederhana yang kukira telah kubekukan rupanya terlampau lama mencair — tanpa sepengetahuanku. “Dulu” yang kuandaikan dapat digapai kembali ternyata memang tertinggal — dari dulu.

Lamunan ini — sambil mengayun kaki — membawa sebuah pertanyaan, “Sebenarnya seberapa penting rasa dari masa lalu?”

Sebagai orang yang diam-diam melankolis nan sentimental, senang meromantisasi segala rupa hal, aku akui cukup payah dalam mengeksternalisasikan rindu. Dalam hal ini aku cukup paham (walau tak sepenuhnya setuju) kata-kata Miuccia Prada, “Nostalgia is a very complicated subject for me. I’m attracted by nostalgia but I refuse it intellectually.”

Sisi logisku meraung-raung, menjadi kaktus dingin yang mempertanyakan keanehan rasaku. Tetapi aku seringnya tak acuh terhadap tusukan-tusukannya, memilih mencari jalur penyaluran sentimen. Musiklah salah satunya. Dan pabila nostalgia meluap-luap, terkadang aku terpaksa melampiaskannya menjadi kata-kata atau barangkali menjelma menjadi tindakan — seperti perjalanan mahalku menyusuri masa lalu.

Menakjubkan. Aku amazed dengan betapa bisanya place attachment itu merupakan pengaruh dari hal sesepele budaya bermusik modern seperti membuat playlist dan story Instagram. We take it for granted. Aku yakin kita tak sesadar itu dengan segala impuls yang diam-diam terakumulasi menjadi reaksi-reaksi kimia hormonal — membuahkan perasaan-perasaan yang begitu kita romantisasi.

Dan ini baru bicara trigger yang amat spesifik antara playlist dan geografis. Belum lagi hubungan lagu dengan situasi, seperti soundtrack 2521 dengan masa-masa aku patah hati berat, ataupun hubungan lagu dengan tindakan seperti lagu 2000-an awal dengan olahraga angkat beban. Belum lagi hubungan stimulus indra lain dengan yang lainnya (wangi, visual, dkk).

Semua temuan ini begitu menggarisbawahkan betapa rentannya manusia sebagai insan perasa (fragile, katanya), dan bagaimanapun juga itu yang harus kita sadari ketika sedang berinteraksi dengan kenangan.

Tetapi terlepas dari itu, aku memilih untuk mengafirmasi nostalgiaku.

Hehe.

Tulisan ini dibuat untuk Pekan #NyariTantangan dengan tema harian “Nostalgia”. Yuk #NyariTantangan bersama Nyarita!

--

--

Rakean Radya Al Barra
Nyarita

mengumpulkan buah perjalanan | berbagi tiap jumat (and sometimes wednesdays)