Narasi dan Imajinasi dalam Sosial-Masyarakat

dithaa
Nyarita
Published in
7 min readJul 21, 2024
Photo by Kimson Doan on Unsplash

Sepertinya, setiap hari selalu ada topik baru yang membanjiri linimasa media sosial di Indonesia. Beragam isu terus bermunculan dan mendominasi perbincangan publik, mulai dari kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) yang terjadi setiap tahun hingga permasalahan standar operasional para pegawai negeri sipil (PNS) yang sering terabaikan. Selebriti yang sering membuat sensasi dengan kontroversi mereka menambah keruh suasana, sementara perbedaan pendapat antar penggemar kerap berakhir dengan konflik. Perdebatan tentang rokok dan judi online yang jelas-jelas merugikan sosial-ekonomi masyarakat juga semakin marak. Selain itu, perselisihan yang cukup serius terkait suku, budaya, dan agama pun memperkeruh beranda media sosial, mengangkat kembali isu-isu lama yang belum terselesaikan.

Banyak orang menghabiskan waktu luang mereka dengan terus-menerus terhubung secara online.

Ketiadaan kegiatan yang konstruktif membuat banyak dari mereka menjadi racun terhadap isu-isu tertentu. Sebagai contoh, tayangan berjudul Clash of Champion yang memperlombakan kecerdasan siswa-siswa terpilih sering kali menjadi pedang bermata dua. Para penggemar yang fanatik dan berlebihan, penggemar yang berharap peserta terjun ke dunia hiburan, serta mereka yang akhirnya acuh tak acuh, semuanya memberikan tekanan yang tidak sehat di media sosial.

Media sebagai alat komunikasi tampaknya mempengaruhi kesejahteraan masyarakat lebih dalam daripada yang kita bayangkan.

Ini terlihat dari hadirnya istilah-istilah seperti misinformasi, yaitu informasi yang salah namun dipercaya benar oleh penyebarnya; disinformasi, yaitu informasi yang salah dan penyebarnya tahu informasi tersebut salah; dan mal-informasi, yaitu informasi yang hanya setengah benar dan disebarkan dengan niat merugikan individu atau kelompok tertentu.

Namun, tidak semua konten di media sosial berdampak negatif. Banyak diantaranya yang memberikan dampak positif, menginspirasi banyak orang, dan menyebarkan pengetahuan.

Aku yakin bahwa selama seseorang memiliki kompetensi informasi, yang meliputi literasi perpustakaan, literasi komputer, literasi media, literasi teknologi, etika, berpikir kritis, dan keterampilan komunikasi, mereka dapat meminimalkan dampak negatif. Dengan kemampuan ini, individu dapat memperbaiki kondisi sosial serta mengelola keadaan emosional yang muncul dari paparan media.

Salahsatu definisi dari Literasi Informasi.

Pembahasan mengenai isu sosial dan masyarakat sepertinya tidak pernah berakhir. Namun, alih-alih menunggu orang lain untuk meningkatkan kesejahteraan kita, aku percaya bahwa masyarakat perlu mencari cara positif untuk mengekspresikan diri mereka.

Salah satu pendekatan yang efektif adalah melalui media seni dan budaya. Sebagai contoh, dongeng dan musik dapat memberikan dukungan emosional dan mental dalam situasi ketidakpastian.

Karya seni memiliki kekuatan naratif yang dapat menghubungkan individu dengan pengalaman dan harapan yang disampaikan. Dengan berbagi kisah dalam berbagai bentuk, kita tidak hanya menghibur diri sendiri tetapi juga memperkuat pemahaman bersama. Dalam masyarakat yang sering terpecah oleh berbagai isu, seni dapat berfungsi sebagai jembatan yang menyatukan perbedaan dan menciptakan rasa kebersamaan.

Ketika Narasi Menjadi Imajinasi

Dunia dipenuhi oleh berbagai cerita, namun tidak semua bentuk komunikasi merupakan sebuah cerita.

Pengertian komunikasi bisa berbeda-beda tergantung pada disiplin ilmu yang digunakan. Sebagai contoh, menurut Schramm, seorang ilmuan yang mengeksplorasi bidang humaniora, komunikasi adalah bentuk interaksi sosial yang melibatkan pemahaman dan interpretasi pesan. Ketika terjadi gangguan semantik, proses decoding dan interpretasi menjadi sulit, sehingga orang bisa menyimpang dari pesan yang sebenarnya.

Photo by Road Trip with Raj on Unsplash

Ingat nggak, waktu kita masih kecil, kita sering percaya pada banyak narasi? Mulai dari cerita rakyat seperti Lutung Kasarung, kartun di televisi yang bikin orang tua marah-marah karena kita hampir telat masuk sekolah, hingga Majalah Bobo dan kumpulan buku Kecil-Kecil Punya Karya yang sering jadi rebutan di kelas.

Dalam kisah-kisah tersebut, kehidupan terasa begitu indah, sempurna, dan penuh keajaiban. Dongeng pun sering kali memandu kita untuk menjelajahi berbagai hal menarik.

Setelah dewasa, baru kita sadari betapa sulitnya untuk terus hidup dalam dunia imajinasi. Ketika ada momen yang membuat kita merasa seperti berada dalam dongeng, itu sudah cukup untuk membuat hati kita berbunga-bunga.

Lalu, apa itu imajinasi? Imajinasi adalah cara kita membentuk realitas dengan memprediksi bagaimana komunikan akan memilih strategi berdasarkan tanggapan orang lain terhadap tindakan kita.

Seiring perkembangan pemikiran manusia, kita belajar menggunakan imajinasi untuk menciptakan sesuatu, bahkan ketika kita berusaha keras mengingat dan menceritakan peristiwa dengan akurat, ada elemen-elemen tambahan yang muncul dari imajinasi kita. Setiap kali kita mendengarkan seseorang, kita pun menggunakan imajinasi untuk memahami pesan yang mereka sampaikan.

Context persists as one of the most powerful influences on the public communication process, and our understanding of its significance continues to evolve.

Apakah di sini ada yang masih hafal lagu band Wali yang berjudul Ada Gajah di Balik Batu?

Liriknya berbunyi, “Ada gajah di balik batu, Batunya hilang gajahnya datang. Aku tahu maksud dirimu, Diam-diam suka padaku.”

Lagu ini terinspirasi dari peribahasa ada udang di balik batu, dan entah mengapa, semakin dewasa aku semakin paham dengan maksud dari kata-kata tersebut.

Dulu, ketika aku ditinggal sendirian di rumah dan ditugaskan untuk merapikan buku-buku yang berserakan, aku merasa jengkel karena tumpukan buku itu begitu banyak dan rasanya butuh sehari penuh untuk merapikannya kembali. Akhirnya, karena rasa malas menyerang, aku hanya tiduran sambil memandangi tumpukan buku tersebut. Matahari terus bergulir hingga sore hari tiba, dan aku pun akhirnya bangkit dan mulai merapikan buku-buku itu. Ternyata, hanya butuh dua jam untuk merapikannya.

Peribahasa tersebut mengingatkanku pada kerasnya kehidupan.

Kadang kala, ada sebuah batu besar yang perlu waktu dan usaha berjam-jam untuk akhirnya bisa dipindahkan. Setelah batu itu dipindahkan, kadang kita menemukan udang, kepiting, atau kerang di bawahnya. Kadang pula, hanya batu lain atau bahkan kekosongan tanpa apa pun. Apakah kita akan menyerah begitu saja saat mendapati batu yang kosong? Bagaimana jika pada batu berikutnya yang kita gali, terdapat fosil hewan purba yang berharga di baliknya?

Ketika Naratif Jadi Aksi

Bagaimana kisah-kisah naratif dapat membantu kita menghadapi ketidakpastian kesejahteraan sosial?

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, cerita sering kali digunakan untuk menyampaikan pelajaran moral dan etika, serta untuk menghubungkan individu dengan pengalaman bersama.

Misalnya, cerita rakyat yang sering mencerminkan aspek sosial dan adat istiadat, termasuk peristiwa sejarah, praktik rakyat, dan kepercayaan, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Folklore: An Identity Born of Shared Grief oleh Zou dan Priscilla (2023). Penderitaan dan kemalangan adalah tema umum dalam berbagai jenis cerita rakyat, seperti fantasi, legenda, dan balada. Kisah-kisah ini berfungsi sebagai cara untuk mengungkapkan dan memahami situasi sulit, termasuk kesedihan dan kematian, serta membangun rasa kebersamaan dengan orang-orang yang mengalami perasaan serupa.

Disamping itu, musik juga memainkan peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan emosional.

Penelitian yang dilaporkan dalam artikel Music Therapy for Stress Reduction: A Systematic Review and Meta-Analysis oleh de Witte et al. (2020) menunjukkan bahwa terapi musik dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan suasana hati. Kebutuhan akan intervensi non-farmakologis, seperti terapi musik, semakin meningkat karena kesadaran tentang efek samping negatif dari obat penenang, seperti ketergantungan dan penyalahgunaan zat (Casey, 2017; Organisasi Kesehatan Dunia [WHO], 2010).

Photo by Rachel Coyne on Unsplash

Selain itu, pengalamanku sebagai anggota desain Marvanata 2019 mengajarkan bahwa festival budaya pun dapat menjadi salahsatu alat untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.

Festival ini tidak hanya memfasilitasi kebersamaan antara siswa, guru, staf sekolah, dan alumni, tetapi juga memperdalam pemahaman tentang warisan budaya Sunda, khususnya wawancan sulanjana.

Marvanata menciptakan rasa kebersamaan yang kuat melalui kolaborasi dan pelayanan kepada masyarakat.

Selain itu, festival ini memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian lokal dengan menyediakan ruang bagi UMKM untuk mempromosikan produk mereka, yang pada akhirnya membantu perputaran ekonomi dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat setempat.

Penelitian yang telah dibahas dan pengalaman pribadi yang aku alami menunjukkan bahwa seni dan budaya memiliki kekuatan untuk menciptakan ruang interaksi sosial, meningkatkan kesadaran individu tentang nilai-nilai warisan budaya, serta mendukung peningkatan kesejahteraan sosial secara keseluruhan. Menghadapi tantangan dalam kesejahteraan sosial tampaknya memerlukan pelbagai pendekatan yang beragam. Dengan memanfaatkan media secara bijaksana, meningkatkan kompetensi informasi dengan meliputi literasi media dan teknologi, serta mengekspresikan diri melalui seni dan budaya, kita dapat memperkuat kesejahteraan sosial dan membangun masyarakat yang lebih inklusif.

Daftar Pustaka

Zou, P. H., & Priscilla, B. E. (2023). Folklore: An identity born of shared grief. Cogent Arts & Humanities, 10(1). https://doi.org/10.1080/23311983.2023.2249279

de Witte, M., Pinho, A. da S., Stams, G. J., Moonen, X., Bos, A. E. R., & van Hooren, S. (2020). Music therapy for stress reduction: a systematic review and meta-analysis. Health Psychology Review, 16(1), 134–159. https://doi.org/10.1080/17437199.2020.1846580

Catatan: Untuk orang yang mengenalku mungkin akan bertanya-tanya perihal tantangan ‘tidak suka tetapi tetap ditulis,’ tetapi aku malah menuliskan kesejahteraan sosial dari perspektif keilmuan ku. Aku sudah buat tiga draft berbeda buat topik ini karena aku agak plin-plan. Kenapa aku akhirnya upload tulisan ini? Sebenarnya, draft kedua terlalu keras karena mengkritisi kebijakan pemerintah dengan alur dari drama The Devil Judge. Aku ragu-ragu karena takut jadi masalah di kemudian hari. Kemudian untuk draft ketiga, aku merasa kosakatanya terlalu ilmiah, dan memerlukan waktu riset yang cukup lama. Mungkin draft ini akan aku upload lain waktu. Maaf ya karena aku menulis berdasarkan bidang yang aku kuasa‬i. 😇🙏🏻

Tulisan ini dibuat untuk Pekan #NyariTantangan dengan tema “Kesejahteraan Sosial”. Yuk #NyariTantangan bersama Nyarita!

--

--

dithaa
Nyarita
Writer for

write freely with a lemonade, @dithaana on instagram.