Perjalanan Memori di Atas Kapal

Rindu itu cukup dikenang atau pantas diulang, ya?

Raufa Sayyidah 'Adila
Nyarita
3 min readJul 8, 2024

--

Akhir bulan lalu, adik perempuanku pulang ke Pulau Belitong seorang diri, mengarungi samudera tanpa kabar selama kurang lebih 18 jam di atas kapal yang berlayar. Pengalamannya tersebut entah kenapa tiba-tiba hadir dalam percakapanku dengan Kak Sukma — di tengah-tengah tugas pertamaku sebagai pustakawan baru dimulai.

Mudah memutar kembali memori, hanya karena terpantik oleh dua kata, ‘kapal laut’. Kak Sukma berbagi pengalaman berharganya sewaktu ia dan keluarga melakukan perjalanan panjang menggunakan transportasi laut tersebut. Aku pun begitu.

Pada 2009, orang tuaku memutuskan untuk memulai hidup baru keluarga kami di tanah kelahiran ayahku. Jika Thariq di umur 56 hari sudah pergi haji, maka adik bungsuku pada usianya yang baru 1,5 bulan waktu itu sudah melakukan pelayaran pertamanya.

Dalam kepalaku, ruang waktu membukakan pintu magisnya lalu menyuguhkan sensasi nyata. Seolah aku benar-benar sedang ada di sana saat Kak Sukma mulai menuturkan betapa serunya ekplorasi seisi kapal tanpa tahu di mana titik koordinat pastinya kita berada. Aku mendengar suara ombak yang menjelma senandung merdu nan tegas, mencium bau amis-asin-laut yang membuat malas dan mual seharian, pun melihat indahnya paduan biru laut dan langit dibatasi satu garis tipis nan jauh sekali.

Semua itu terasa nyata, karena memang masing-masing dari kita bertahun-tahun silam pernah merasakan perjalanannya. Kita sama-sama punya rekaman memorinya. Maka sekali memori itu terpanggil, berkeliaranlah ia dengan leluasa, menyentuh hati tepat ke titik rindu. ‘Rindu’, juga adalah salah satu judul novel Tere Liye, yang mana di dalamnya mengisahkan perjalanan panjang rombongan haji di sebuah kapal besar. Pelayaran dan kerinduan, apakah memang tercipta keterikatan yang sangat kuat?

Sejujurnya, aku tidak begitu suka susah-payahnya naik kapal. Tubuh kecilku waktu itu pontang-panting dimabuk laut. Kepalaku berat dan harus memaksakan diri berdamai dengan bau mesin kapal yang menyesakkan dada. Selama ini, aku mengira bahwa pengalaman naik kapal adalah pengalaman yang buruk. Maka setelah tahun 2009 itu, rasanya tak pernah lagi kunaiki kapal besar dalam waktu lama — kecuali hanya sebentar naik kapal boat ke Pulau Lengkuas atau saat membelah Turki Eropa-Asia dengan kapal feri. Keduanya jelas menyenangkan, hehe.

Perjalanan lintas benua; Eropa-Asia, hanya bermodalkan 2,5 TL (saat itu setara 5000 rupiah) | Dok. pribadi 2021, Istanbul, Turkey.

Membicarakannya kembali dengan Kak Sukma, perjalanan memori ini membuatku setuju dengan impian yang ia sebutkan hari itu (mungkin narasinya agak berbeda ya, maaf), “Aku jadi pengin sengaja mengulang kembali perjalanan yang sama di usiaku yang sudah dewasa, apakah experience-nya akan terasa sama?”

Satu hal yang akhirnya aku sadari dan aku tanamkan untuk diriku di masa depan adalah, jika suatu hari nanti aku menjadi orang tua, aku ingin membawa anak-anakku merasakan ‘kepayahan’ lainnya dalam perjalanan-perjalanan menciptakan memori masa kecil mereka. Layaknya kedua orang tuaku yang telah melukiskan memori ini untukku, karena aku sangat bersyukur akan hal itu.

Bukankah sebuah perjalanan akan jadi kenangan bernilai yang mengesankan, jika dihiasi ‘bumbu-bumbu’ pelajaran dan pengalaman yang tak biasa?

Tulisan ini dibuat untuk Pekan #NyariTantangan dengan tema harian “Nostalgia”. Yuk #NyariTantangan bersama Nyarita!

--

--