Susur Mimpi

Lagi-lagi, Aku Berlari

Rakean Radya Al Barra
Nyarita
4 min readJul 14, 2024

--

Semilir 15 derajat Celsius mengetuk jendelaku pukul setengah 4 pagi. “Ayo, saatnya berlari! Bukankah ini yang kau janjikan pada diri sendiri?”

“Dasar bawel,” gumamku masih setengah mati, “Gak usah riweuh banget, kali.”

Tetapi kutahu bahwa angin betul kali ini. Jalur spesial yang sudah lama kugoreskan sedang menanti! Maka kutersenyum ketika embun tanaman hias baruku bertanya, “Akan ke manakah kamu hari ini?”

Jawabanku, “Sekarang saatnya untuk susur mimpi.”

Di bibir pesisir Garut Selatan aku mengayunkan kaki. Kawanan pasir menolak tiap langkahku bagai beladiri, “Mau apa kamu — kok berani?”

Bersahut lidahku yang tak pandai kelahi, “Aku datang untuk menjenguk Bumi. Kabarnya ia sedang sakit hati.”

Pasir melunak, cibirannya berhenti. Syukurlah suaraku ternyata tak grogi.

“Tak usah kau hiraukan mereka, hai lelaki!” Gemuruh sang ombak menggaung, membanjiri, “Pasir telah lelah dengan kaummu yang ingkar janji. Sebab mereka berkabung atas hilangnya kawan-kawan lintas-geologi. Yang terangkat untuk entah apa dari Ujung Kulon hingga Kediri.”

Aku mengangguk, mencoba memahami. Sebab, deru laut pun seperti… mengandung luka yang tak ingin ia dalami.

Di hemisfer utara, lajuku tak berhenti. Sungguh sungai Schuylkill di Philadelphia ramah sekali. Hijau rindang tepinya menyedekahkan senyum gigi. Aliran halusnya bertanya pelan, “Hai manusia, untuk apa kamu ke sini? Sungguh, tempat asalmu jauh sekali!”

Aku berbicara sekali lagi, “Aku datang untuk menjenguk Bumi. Kabarnya ia sedang sakit hati.”

Schuylkill menatap manis kembali, “Aku tahu persis yang kau maksud dengan hal ini. Tetapi aku telah dimanjakan oleh orang-orang Amriki. Aku lupa kali terakhir kurasakan dingin antipati. Di sini bukan tempatnya kau mengasah empati.”

Aku tertawa, tergelitik hati, “Hai Nona Schuylkill, terima kasih sekali. Namun, bukan hanya untuk itu aku kemari.”

“Oh, kalau begitu sebaiknya kau hati-hati. Sebab, kau tak boleh berhenti di iri. Namun, ketakberdayaanmu bisa membuat rendah diri. Oh begitu serba salah kondisimu ini!”

“Kalau begitu, kepada siapa selanjutnya yang harus kukunjungi?”

“Aku kenal seonggok tanah bereputasi, tetapi kau harus siap-siap dimarahi.”

Di semenanjung tetangga, aku dicaci-maki. Amarah sang bukit Telok Blangah makin menjadi-jadi.

Ia hardik, “Hai orang pulau, kau tak tahu diri! Kau lakukan apa terhadap saudara-saudari?! Arahkan matamu lagi ke sini! Akulah wujud dari asas peduli. Oleh bunga dan keringat, aku dihiasi. Sepanjang dekade di lereng-lerengku, burung bernyanyi. Sedangkan di pulau-pulaumu, kiamat menanti!”

Tuturku kuupayakan rendah hati, “Aku datang untuk menjenguk Bumi. Kabarnya ia sedang sakit hati. Aku setuju semua perkataanmu tadi. Seharusnya ini bukan hanya soal beda negeri. Sebab semua manusia membawa nurani.”

“Huft,” Telok Blangah menatap sarkas lagi, “Orang pulau bicara nurani? Halah — bau tai.”

Di tepian Cikapundung, teman-temanku menanti. Melingkarlah mereka di saung-saung Kampoeng Tjibarani. Sepasang soang memandang kami geli, “Untuk apa kalian kemari?”

Lagi-lagi, “Aku datang untuk menjenguk Bumi. Kabarnya ia sedang sakit hati.” Soang malah kabur, bergegas ke kiri. Pulanglah ke curug yang mereka huni.

Yang membalasku justru sang mentari, “Maaf aku belum bicara kepadamu selama ini. Sudah lama kutonton kau berpacu ke seantero negeri. Hanya saja, untuk sang Bumi — aku takut kata-kataku gagal mewakili. Yang bisa kutitipkan hanya satu pesan ini: yang ia tuntut darimu belum kau penuhi.

Kusantap kopi kampung signature dan gorengan sarebuan yang telah kubeli. Seorang merah di tengah hijau itu, aku meratapi. Dari hulu, sang Cikapundung berakumulasi; dari gunung hingga Citarum ia aliri. Saudara-saudaranya terkadang menusuk peradaban bagai duri: meluap tanpa ampun seolah penuh benci.

Pikiranku terbaca sang rumput yang hadir berdiri, “Tenang, kami sekalian alam tak sepenuhnya jijik. Hanya lelah dengan begitu palsunya simpati. Kami penasaran saja, kami akui. Ke manakah sang fitrah insani? Capek-capek kita dibuat jadi pakan biri-biri — kalau tahu akhirnya akan begini.”

Depan RS Hermina Cikadut aku berapi-api. Senangnya, sudah hampir pulang kembali! Sabit rembulan pun tersenyum di galaksi.

Tanpa ditanya, aku teriak mengafirmasi, “Aku datang untuk menjenguk Bumi. Kabarnya ia sedang sakit hati.”

Sabit mengangguk penuh harmoni. Berabad lamanya ia telah bersaksi. Kawan sakit ini dari dulu sudah ia temani, “Pengembaraanmu pasti penuh rintang sejauh ini. Andai saja Bumi tak pilek-bisu, pasti ia hargai.

Mendengar ini, aku berseri-seri, “Oh sabit, syukurlah kamu mengerti. Sebelum tenggelam, apa kau punya pesan untukku lagi?”

Sabit berbisik, merampungkan interaksi, “Wajar saja jika seolah tak ada yang bisa kau lakukan lagi. Seperti rindu kekasih, barangkali — resah kan kau tanggung tiada henti. Terima kasih telah setidaknya berpihak pada jalan ini.

Setengah empat kembali.

Embun bergembira lagi, “Sudah ke manakah kamu berlari? Sejauh mana kemarin menyusur yang kau jadikan mimpi?”

Aku menguap masih amat sleepy, “Izinkan aku untuk sedikit koreksi. Yang kususur bukan hanya mimpiku sendiri. Aku telah lari keliling Bumi. Kabarnya ia sedang sakit hati. Kulakukan sebab aku amat takut akan Nanti.”

Balasanku berlanjut, berlarut lagi, “Aku khawatir kelak di suatu hari — seisi Bumi memandangku dan menunjuk jari. Diungkitlah olehnya sang traktat suci, yang dibebankan pada semua sejak lahir di sini. Justru merekalah yang jadi saksi: berhasilkah aku merekahkan harmoni? Itu semua ingin kuketahui! Bicara apakah nanti sang Bumi? Ketika aku habis, dipanggil sang Abadi.”

Tulisan ini dibuat untuk Pekan #NyariTantangan sekaligus Lingkar Nyarita #2 dengan tema “Harapan”. Yuk #NyariTantangan dan me-Lingkar bersama Nyarita!

--

--

Rakean Radya Al Barra
Nyarita

mengumpulkan buah perjalanan | berbagi tiap jumat (and sometimes wednesdays)