Temu Melingkar
Suatu hari di masa depan.
Pada Lingkar Nyarita kesekian di masa depan, aku turut duduk melingkar bersama Batur Nyarita yang lain, lengkap dengan sebuah bolpoin dan buku catatanku — harusnya tinggal tersisa lembar-lembar kosong terakhir.
“Hai, Kak Raufa!” sapa gadis di sebelahku. Aku menoleh pelan sambil memproses pikiranku sejenak, tunggu… siapakah dia? “Aku Anza, Kak. Ingat?” ucapnya penuh semangat seolah membaca raut heranku.
“Anza! Akhirnya kamu ada di sini juga!”
Anza adalah my buddy untuk beberapa hari terakhir di Pekan #NyariTantangan pertama. Adik kecil — aku ngaku-ngaku aja sih ini, yang membuatku takjub atas kreativitasnya merangkai diksi. Bagiku, Anza seperti misteri yang menarik perhatian. Tak banyak yang bisa kugali dari tulisannya yang manis, ataupun obrolan kami yang sangat tipis.
Maka ketika bertemunya kini di dunia nyata, aku tak henti-hentinya melangitkan syukur.
Beberapa tahun berlalu sejak kuungkap gambaran besar diriku padanya malam itu, sejak ia tuliskan rekaan masa depanku yang indah, Anza tumbuh menjadi seseorang yang semakin mengagumkan. Ia bercerita jauh lebih banyak dari waktu itu, kabar baik tentang pendidikannya yang gemilang.
Aku melihat satu persatu foto dirinya yang ia tunjukkan di layar gawai dengan berbagai latar belakang berbeda — kampus ternama ruang belajarnya saat ini, icon-icon wisata dari berbagai belahan bumi, teman-teman komunitasnya yang tak habis-habis, hingga panggung-panggung perlombaan yang ia menangi.
“Anza, melihat semua yang kamu capai hari ini…,” sengaja kujeda kalimatku dengan lirikan mata pada tema prompt pagi ini di papan tulis: Surat untuk Masa Lalu. “Kamu mau bilang apa sama dirimu di masa itu?” lanjutku.
Anza tampak berpikir serius, lalu tersenyum.
Aku tak memaksanya menjawab pertanyaan itu dengan kata-kata, aku tahu, senyum manis itu sendiri adalah jawabannya. Senyum semanis takdir yang menjadikannya perempuan pemberani.
Tulisan ini dibuat untuk Pekan #NyariTantangan dengan tema harian “Menerka Takdir”. Yuk #NyariTantangan bersama Nyarita!