Teruntuk Mereka yang Tak Punya Privilege (Review Buku David and Goliath)

Muhammadaliffarhan
Nyarita
Published in
5 min readAug 5, 2024

“Dia mah enak, lahir dari keluarga yang kaya, berpendidikan, dan ternama. Pasti gampang suksesnya.”

“Dia mah enak, bapak ibunya udah sukses di sana, dia tinggal ikutin aja, sukses deh.”

“Pewaris hidupnya lebih enak dari perintis!”

Pernahkah kita nyeletuk seperti itu? Membanding-bandingkan diri, dan menemukan bahwa hidup orang lain lebih mudah suksesnya?

Suka ataupun engga, stigma kebanyakan kita memang terbentuk seperti itu, bahwa mereka yang punya privilege memang cenderung lebih mudah menang dalam hidup. Sedangkan kita, yang jauh hidupnya dari privilege, akan lebih sulit suksesnya. Benarkah ini?

Dalam bukunya yang bejudul “David and Goliath,” Malcolm Gladwell mengangkat tema yang apik sekali. Sebagaimana judulnya, Goliath, seseorang yang amat disegani oleh musuh-musuhnya karena berbadan kekar, berwajah seram, kuat, dan tak terkalahkan dengan pedangnya yang mampu menebas siapapun yang mendekatinya, armor melindungi seluruh lapis tubuhnya, ia menantang berduel siapapun, tak ada yang berani.

Ternyata, yang maju adalah seorang anak kecil, tanpa armor yang melindungi tubuhnya, tanpa pedang tajam di kedua tangannya, tanpa kekuatan otot-otot kekar pada tubuhnya. David nama anak kecil itu, kita mengenalnya dengan Daud dalam Islam. Ia melihat celah, bahwa Goliath dengan tubuh kekar dan armor di seluruh tubuhnya memang amat kuat dalam tarung jarak dekat, tak tersentuh. Tapi, lihat di sana, ada celah di helm perangnya, pada kedua matanya. Sedangkan David adalah pemain ketapel yang handal. Maka ia tahu ‘cara bermain’ yang cantik, ia arahkan ketapel dari jarak cukup jauh, dengan keandalannya, ia mampu membunuh Goliath (ini terbukti secara ilmiah bahwa batu yang dilontarkan lewat ketapel oleh seseorang yang handal mampu meretakkan tulang kepala, membunuh seseorang).

Mari telisik kembali, Goliath dengan segala ‘privilege’nya (besar, kekar, senjata lengkap) justru kalah terbunuh oleh David yang ‘underprivilege’ Tak kuat, kecil, bersenjata sedikit. David menjadi kuda hitam, underdog.

Begitu pula dalam hidup, justru orang-orang yang tak memiliki privilege juga mampu menyaingi dan lebih sukses dari yang memiliki privilege. Karena,

  1. Mental mereka terbentuk
Photo by Zach Reiner on Unsplash

Orang-orang dengan privilege termanjakan dengan fasilitas dan kesempatan yang melimpah. Karena itu, mereka seringkali ‘take it for granted’, mereka yang tumbuh dalam kesederhanaan, seringkali bekerja keras semenjak kecil untuk hal-hal sederhana. Mau makan, harus kerja keras. Mau tidur, harus kerja keras. Mau beli mainan, harus kerja keras. Kehidupan menempa mereka menjadi baja. Dan ketika ada satu kesempatan besar yang mereka dapatkan, mereka perlakukan itu sebagai kesempatan hidup dan mati, tak ayal mereka begitu mensyukurinya dan memberikan yang terbaik yang mereka punya. Kesulitan adalah makanan sehari-hari mereka, jadi mereka tak takut untuk menghadapi kesulitan demi kesulitan. Mereka tahu, bahwa untuk sukses mereka harus bekerja keras, semua itu tak datang gratis, maka mereka bisa lebih sukses dibanding orang-orang yang termanjakan sejak kecil. Karena mereka bermental lebih kuat dan bekerja lebih keras.

2. Desirable Difficulty

Photo by Tomáš Malík on Unsplash

Ada istilah yang disebut dengan ‘desirable difficulty’ Dimana, kesulitan-kesulitan dalam hidup justru menjadi hal yang ‘desirable’ Contoh, misalnya anak-anak disleksia justru punya persentase sukses lebih besar dibanding anak-anak yang tidak disleksia. Karena mereka ssdar, bahwa mereka memiliki kekurangan dalam membaca, maka mereka melatih lebih keras dalam hal-hal lain yang mereka bisa, misalnya berlatih untuk mendengar dengan lebih tajam, karena hanya dengan itu mereka mampu mendapat informasi dengan cara terbaik, mereka tahu bahwa mereka terbatas dalam hal membaca, imformasi yang mampu dikumpulkan sedikit. Lewat berlatih mendengar lebih keras dibanding anak-anak lain selama bertahun-tahun, itu membentuk kepribadian mereka menjadi pendengar. yang baik, dan ini menjadi modal yang amat penting dalam kesuksesan. Akhirnya, mereka lebih sukses. Padahal, kalau ingin dibandingkan, mereka punya kekurangan dibanding anak-anak normal, tapi mereka mampu keluar sebagai pemenang. Underdog.

Atau, Mike Tyson misalnya, ia terpaksa menjadi Fighter karena tak punya pilihan lain dalam hidupnya, tak punya kesempatan lain, miskin, dan terancam. Ia berlatih tinju hari demi hari, karena itu satu-satunya cara bertahan hidup. Selama bertahun-tahun berlatih sekeras mungkin. Hingga kini, kita tahu, bahwa si anak miskin ini telah menjadi salah satu petinju terbaik sepanjang masa, legenda hidup dalam dunia tinju. Bukankah ia hanya anak miskin yang tak punya pilihan lain? Ya! Dan dengan kesulitan yang dimilikinya itulah ia mampu melegenda. Kalau saja ia terlahir di keluarga kaya dengan banyak kesempatan, barangkali hari ini kita tak mengenal legenda ini.

3. The Inverted-U Curve

Pada titik tertentu, justru segala hal yang kita anggap privilege justru akan menghancurkan. Terlalu banyak uang, membuat seseorang terlalu nyaman sehingga tak berjuang keras. Terlalu tinggi posisi, tak sempat lagi berjuang keras. Terlalu banyak fasilitas, termanjakan. Maka pada titik apapun di dalam hidup kita, bersyukurlah, sadari itu sudah dalam takaran Yang Maha Kuasa, Yang Tak Pernah Salah, InsyaAllah banyak hikmahnya. Bersyukur dan berjuang memberikan yang terbaik. Bukankah segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik?

4. Kesempatan Mengukir

Photo by George Bohunicky on Unsplash

Menjadi yang pertama di keluarga, lingkungan, dan apapun levelnya memang bukanlah hal yang mudah. Kesulitannya ada di level yang berbeda dibanding mereka yang diwariskan. Tapi perjalanan ini menawarkan perjuangan yang lebih keras, cerita yang lebih indah untuk dikenang, keseruan yang tak mungkin tercipta dalam kenyamanan, dan pondasi kuat untuk kejayaan yang lebih panjang. Yang melegenda adalah mereka yang memulai, bukan mereka yang melanjutkan. Perjuangannya memang lebih berat, tapi inilah perjuangan yang harus dijajaki oleh pejuang-pejuang besar. Pejuang-pejuang yang ingin mengukir sejarah. Bukankah kita percaya dengan konsep amal jariyah? Bahwa siapa yang memberi teladan akan mendapat kebaikan dari orang yang mengikutinya? Bahwa siapa yang menyediakan jalan kebaikan bagi orang lain, ia akan mendapat kebaikan pula.

Selamat berjuang para perintis! Banggalah jadi pionir dalam setiap gebrakan!

Mungkin kita tak punya harta, tahta, dan nama besar. Tapi kita punya Allah. Hanya perlu kerja keras dan doa yang tak tertahan, sisanya serahkan.

Kalau Allah ada di sisi kita, apa yang tidak mungkin untuk terjadi?

--

--

Muhammadaliffarhan
Nyarita
Writer for

Kita berkelana bersama setiap Senin malam, InsyaAllah.🏃📖