Daur Ulang Plastik: Solusi yang Tepat atau Hanya Solusi Semu?

Ayesha Putrika Setianto
Occupied Urbanism
10 min readJul 30, 2023

--

Kumpulan sampah botol plastik yang berserakan (Sumber foto: Arah Environmental)

Saat berbicara tentang sampah, plastik tentunya menjadi salah satu jenis sampah yang paling mendominasi. Mengapa demikian? Ini dikarenakan kita tahu dan sadar bahwa plastik merupakan salah satu material di bumi ini yang memerlukan waktu sangat lama untuk dapat terurai secara alami, di mana memerlukan waktu sekitar 450–1000 tahun!

Dengan durasi selama itu, sampah plastik tersebut akan terus menumpuk menjadi gunungan sampah. Sekarang ini, mulai banyak orang yang sadar akan hal ini dan banyak bermunculan organisasi maupun perusahaan yang bergerak untuk memberantas isu persampahan. Tetapi apakah cara-cara yang kita lakukan sudah menjadi solusi yang tepat dalam mengatasi masalah ini? Atau selama ini, apa yang kita lakukan hanyalah sebatas solusi semu? Simak dan temukan jawabannya di sini!

Banyak cara yang mungkin telah kita ketahui perihal mengatasi isu persampahan — salah satu cara yang paling populer sekarang ialah daur ulang. Daur ulang sendiri secara umum merupakan proses mengubah produk sampah atau limbah menjadi bahan baku baru atau produk yang memiliki nilai tambah. Tujuan dari daur ulang adalah untuk mengurangi penggunaan sumber daya alam yang terbatas, mengurangi limbah yang masuk ke lingkungan, dan mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem.

Proses daur ulang melibatkan pengumpulan, pemilahan, pengolahan, dan penggunaan kembali bahan-bahan yang dapat didaur ulang — seperti plastik, kertas, logam, kaca, atau bahan organik lainnya. Dengan menerapkan aksi daur ulang di kehidupan sehari-hari, kita diharapkan dapat membantu menjaga lingkungan, mengurangi kebutuhan akan bahan baku baru, dan meminimalisir akumulasi limbah yang tidak terurai di tempat pembuangan akhir.

Bag.1: Pengolahan sampah secara umum

Kondisi gunungan sampah di TPA Cipayung Depok (Sumber foto: Media Indonesia)

Sebelum membahas seputar daur ulang lebih lanjut, mari kita ketahui proses pengolahan sampah secara umum terlebih dahulu melalui cakupan studi Plastic Smart City (PSC) yang dilakukan oleh WWF Indonesia bersama dengan YPBB di tiga kota besar — Depok, Bogor, dan Jakarta. Tahukah kamu berapa persen dari sampah plastik yang dapat kita daur ulang di ketiga kota tersebut? Untuk Kota Depok, sampah plastik yang dapat kita daur ulang secara personal hanya sebesar 2,9%. Sementara untuk Kota Bogor sebesar 3,4% dan Kota Jakarta sebesar 13,4%. Sedikit sekali persentasenya, bukan?

Sampah plastik yang dapat didaur ulang tersebut tergolong dalam metode pembuangan sampah secara informal. Selain itu, terdapat metode lainnya selain metode informal, yakni metode formal. Apabila pengumpulan sampah plastik secara informal yang dapat di daur ulang di Kota Depok hanya sebesar 2,9%, pengumpulan secara formal yang dilakukan mencapai 82,7%. Pengumpulan secara formal ini adalah pengumpulan sampah plastik oleh pemulung/truk sampah yang kemudian dibawa menuju ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).

Sampah-sampah plastik yang berakhir di TPA ini terus bertambah setiap harinya dan menciptakan lebih banyak lagi gunungan sampah, seperti kondisi yang dapat kita lihat di TPA Cipayung yang menampung berbagai sampah dari Kota Depok pada video berikut ini:

Keadaan terkini perihal gunungan sampah di TPA Cipayung (Sumber video: Kompas TV)

TPA menyediakan beberapa metode untuk mengolah sampah-sampah yang kita hasilkan, seperti open dumping, control landfill, dan sanitary landfill. Metode yang paling umum digunakan di TPA dikarenakan tidak perlu memakan banyak biaya adalah open dumping (pembuangan terbuka), di mana sampah dibuang begitu saja di TPA dan dibiarkan terbuka tanpa pengamanan. Selain itu, ada metode control landfill merupakan metode yang lebih maju dibandingkan dengan open dumping, di mana sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah lalu diratakan dan dipadatkan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan serta mengurangi potensi pencemaran lingkungan.

Akan tetapi, beberapa komponen-komponen dalam metode control landfill ini dapat memakan biaya yang cukup besar seperti saluran drainase untuk air hujan, kolam penampungan, fasilitas pengendalian zat metan, dan lainnya, di mana menjadikan metode ini jarang untuk digunakan. Terakhir, metode sanitary landfill yang merupakan sistem pengolahan sampah dengan cara membuat lubang yang kemudian ditimbun dengan sampah dan dipadatkan dengan tanah setebal 60 cm atau lebih, akan tetapi sama halnya dengan metode control landfill, metode ini memerlukan biaya yang besar.

Dari pembahasaan singkat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pengelolaan sampah secara formal yang berujung di TPA, belum tentu sepenuhnya efektif, mengingat Indonesia yang masih merupakan negara berkembang dengan dana yang terbatas terutama perihal pengelolaan sampah. Tidak hanya Kota Depok saja, hal yang sama terjadi pada TPA di Kota Bandung dan Jakarta, jumlah sampah plastik yang terdaur ulang di Bandung hanya sebesar 3,4%, sementara Kota Jakarta sebesar 13,4%.

Hal ini pada akhirnya dapat menjadi salah satu sumber dari pencemaran lingkungan. Jadi, berdasarkan hasil studi ini, bukankah upaya daur ulang merupakan solusi yang tepat untuk jangka panjang?

Bag. 2: Mengulik proses daur ulang plastik lebih dalam

Daur ulang memang merupakan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan isu plastik, dengan berbagai pilihan metode yang ditawarkan untuk dapat disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan kita. Beberapa di antaranya adalah dengan membuatnya menjadi kerajinan, ecobrick, mengolahnya menjadi sebuah furnitur atau pot tanaman, dan banyak lagi. Tetapi, apabila kita telusuri lebih dalam, seringkali proses dan hasil akhir yang dihasilkan tidak dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang dan dalam sebagian kasus malah menghasilkan lebih banyak plastik, yang ujungnya hanya mengundur waktu pembuangan atau bahkan menambah sampah plastik yang sudah ada.

Mari kita tinjau proses pengolahan-kembali plastik yang seharusnya menjadi solusi baik, namun pada prakteknya malah terjadi penyalahgunaan. Dua contoh yang akan kita bahas adalah penyalahgunaan dalam mengolah plastik menjadi karya kerajinan dan pada pemanfaatan limbah plastik menjadi ecobrick.

Contoh kreasi kerajinan tangan dari sampah plastik (Sumber foto: Rumah123.com)

Beberapa foto yang terlampir di atas merupakan contoh dari hasil daur ulang sampah plastik menjadi berbagai macam kerajinan tangan. Sangat kreatif dan menarik sekali, bukan? Kita juga dapat menyimpulkan bahwa sampah-sampah plastik yang kita hasilkan dapat dimanfaatkan dan diolah sedemikian rupa sehingga memiliki nilai jual yang tentu membantu secara signifikan mengurangi sampah plastik di Indonesia. Tetapi, nyatanya tidak demikian. Indonesia masih masuk ke dalam 10 besar negara di dunia yang paling banyak mengimpor sampah plastik berdasarkan data yang diperoleh oleh National Geographic di bulan Maret 2023. Mengapa bisa begitu? Apakah daur ulang yang dilakukan selama ini masih kurang?

Coba lihat kutipan video di atas. Seperti yang dapat kita lihat pada video tersebut, justru sampah-sampah plastik ini diimpor rata-rata untuk memenuhi bahan baku industri daur ulang. Hal ini disebabkan oleh manajemen pengolahan sampah di Indonesia yang belum ideal dan kurangnya kesadaran warga dalam memilah sampah, sehingga mengakibatkan banyak sampah yang tercampur dan juga basah. Masalah ini berujung pada mahalnya ongkos produksi yang perlu dikeluarkan oleh pabrik yang bertugas untuk memilah dan mengolah sampah tersebut, bahkan biaya yang dikeluarkan lebih mahal dibanding dengan mengimpor sampah dari luar negeri yang telah dipilah sesuai jenisnya dan diolah secara baik.

Jika demikian, apa yang terjadi dengan sampah-sampah yang menggunung di TPA negara kita, terutama sampah plastik yang sangat berbahaya bagi lingkungan? Gunungan sampah-sampah ini dibiarkan begitu saja hingga menumpuk dan membahayakan lingkungan serta warga sekitar, seperti peristiwa TPA longsor yang terjadi di Leuwigajah pada tahun 2005 yang menewaskan korban hingga 157 jiwa.

Apabila kita perhatikan lagi foto kreasi kerajinan tangan berupa tas di atas, rata-rata tas tersebut memiliki pola dengan warna bahkan menggunakan pilihan merek dagang yang sama. Kita dapat berasumsi bahwa kemungkinan para pengrajin tersebut mengumpulkan sampah plastik dengan memilah plastik berdasarkan pola, warna, dan sumber merek dagang yang sama hingga jumlahnya cukup untuk membuat sebuah kerajinan tas yang diinginkan. Tetapi nyatanya, meskipun tidak terjadi pada semua pengrajin, ada beberapa yang secara sengaja membeli suatu produk dengan kemasan plastik tertentu untuk memenuhi kebutuhan dari kerajinan yang ingin dibuat. Hal ini dilakukan agar proses dapat menjadi lebih cepat dan kualitas sampah plastik juga masih dalam kondisi baik (tidak rusak maupun kotor) sehingga kualitas kerajinan yang dibuat pun menjadi lebih maksimal.

Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan metode daur ulang itu sendiri. Ini karena yang seharusnya kita memanfaatkan sampah yang ada, malah justru kita memproduksi sampah plastik yang baru. Penyalahgunaan proses daur ulang ini pun dilakukan semata-mata hanya untuk mempertahankan aspek keindahan serta kerapihan dari kerajinan tangan itu sendiri. Padahal, seharusnya tujuan utama dari kreasi daur ulang adalah untuk mengolah sampah-sampah plastik agar menjadi sesuatu yang bermanfaat dan dapat digunakan di kehidupan kita sehari-hari.

Contoh pengolahan limbah plastik menggunakan metode ecobrick (Sumber foto: Russ.net)

Selain kreasi kerajinan tangan, adapula metode daur ulang dengan cara memanfaatkan limbah plastik yang dikenal dengan ecobrick seperti yang dapat dilihat pada foto di atas. Metode daur ulang ecobrick atau yang juga dikenal dengan bata ramah lingkungan ini merupakan inovasi yang cukup visioner, karena menyediakan solusi pengolahan limbah padat tanpa biaya. Bagaimana cara kerjanya? Cukup sesederhana memasukkan sampah plastik ke dalam botol PET dan ditekan hingga padat menggunakan tongkat untuk menciptakan blok bangunan yang dapat digunakan kembali.

Ecobrick memang merupakan salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk pengolahan sampah plastik yang ramah lingkungan apabila dibandingkan dengan proses pembakaran, pembuangan limbah plastik ke lautan atau sungai, atau penggunaan bahan kimia berbahaya dalam proses pengolahan tanpa pengelolaan yang tepat. Ecobrick pun dapat dimanfaatkan menjadi barang-barang yang berguna untuk kehidupan sehari-hari seperti pembuatan meja, kursi, tembok, maupun barang kesenian lainnya. Berikut ini adalah video cara pembuatan ecobrick yang tepat:

Proses pengolahan limbah sampah menjadi Ecobricks yang tepat (Sumber video: Ecobricks)

Seperti yang dapat dilihat pada video di atas, proses ecobrick ini cukup mudah dan dapat diterapkan untuk bahan pengajaran di sekolah. Kegiatan ini juga dapat meningkatkan rasa peduli dan tanggung jawab para murid untuk mengolah sampah plastik yang mereka hasilkan.

Akan tetapi, ada saja kasus terkait proses ecobrick yang disalahgunakan. Berdasarkan pernyataan yang saya dengar langsung dari salah satu guru SMP swasta di Jakarta, sekolah beliau merupakan salah satu sekolah yang menerapkan metode ecobrick sebagai salah satu bahan pengajaran. Tujuan utama dari pengajaran metode ecobrick tentunya adalah untuk mengajarkan salah satu cara mendaur ulang sampah plastik yang praktis dan bisa diterapkan oleh anak-anak murid di kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, pada prakteknya sendiri, beliau menemukan terdapat botol-botol PET (Polyethylene Terephthalate) yang diisi dengan sampah plastik dengan warna-warna yang seragam. Pada akhirnya, beberapa murid dan orang tua murid mengaku bahwa mereka sengaja membeli kemasan plastik dengan warna yang senada demi keestetikaan dan keindahan dari karya ecobrick mereka.

Tentunya, hal ini bukanlah proses yang sesuai dengan semestinya. Hal ini dapat diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan, kesadaran, dan keinginan akan tujuan akhir yang ingin dicapai dari metode ecobrick ini. Selain itu, apabila metode ecobrick ini tidak dilakukan hingga tahap akhir yaitu diprosesnya menjadi bata ramah lingkungan untuk membuat berbagai perabotan rumah/kerajinan tangan, maka metode ini hanya akan menambah sampah plastik di lingkungan. Akan tetapi, bukan berarti metode ini merupakan metode yang salah, banyak sekali yang berhasil menerapkan metode ini dan mencegah pengolahan sampah plastik yang tidak ramah lingkungan. Contoh nyata pemanfaatan bata ramah lingkungan yang dihasilkan dari metode ecobrick di Indonesia adalah diwujudkannya Taman Ecobrick di Desa Sapta Pesona, Sentul. Taman Ecobrick ini merupakan sebuah bangunan taman yang didesain dengan ecobrick, termasuk furnitur, dinding taman, serta struktur-struktur lainnya.

Meskipun begitu, ecobrick hanya berupa solusi untuk memperbaiki pengolahan sampah plastik agar menjadi lebih baik, tetapi bukan mengurangi keberadaan dari sampah plastik itu sendiri. Selain itu, masih banyak celah untuk penyalahgunaan yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, apabila kita berbicara mengenai solusi yang tepat untuk mengatasi isu sampah plastik, mungkin metode ecobrick ini belum menjadi solusi yang tepat.

Bag. 3: Solusi yang Tepat untuk Isu Persampahan

Hierarki Piramida Penanganan Sampah Konvensional vs. Trend Masa Depan (Sumber foto: Dhamma-Link)

Melihat berbagai problematika yang terjadi pada dua contoh proses metode daur ulang yang telah dibahas sebelumnya, membuat metode daur ulang ini hanya menjadi sebuah solusi semu. Daur ulang (recycle) merupakan salah satu dari metode 3R (Reduce-Reuse-Recycle) yang tergolong dalam bagian dari piramida hierarki penanganan sampah. Piramida hierarki penanganan sampah ini merupakan klasifikasi strategi manajemen sampah menurut apa yang sesuai dan digambarkan dalam bentuk piramida. Sekarang ini, terdapat dua jenis piramida seperti yang dapat kita lihat pada gambar, yaitu Piramida Konvensional dan Piramida Trend Masa Depan/Piramida Konvensional Terbalik.

Piramida penanganan hierarki sampah secara konvensional memiliki tahapan yang dimulai dari pembuangan akhir — pemulihan energi — daur ulang (recycle) — penggunaan ulang (reuse) — meminimalisasi (reduce) — mencegah. Piramida konvensional ini disusun berdasarkan langkah pertama pada bagian terbawah (paling banyak dilakukan, dengan biaya paling tinggi) yaitu pembuangan dan berakhir di langkah terakhir pada bagian paling atas (paling sedikit dilakukan, dengan biaya paling rendah). Akan tetapi, untuk mencapai tujuan keberlanjutan di masa depan, kita harus melakukan langkah pada piramida hierarki sampah ini secara terbalik, dimulai dari banyak melakukan langkah untuk mencegah penggunaan plastik terlebih dahulu hingga berujung pada pembuangan akhir yang menjadi paling sedikit untuk dilakukan. Sehingga, urutan piramida hierarki dimulai dengan mencegah — meminimalisasi (reduce) — penggunaan ulang (reuse) — daur ulang (recycle) — pemulihan energi — pembuangan akhir.

Piramida hierarki pengelolaan sampah terbalik merupakan tujuan yang paling tepat untuk memberantas isu persampahan, karena langkah paling awal yang harus dilakukan dalam mengurangi sampah plastik yang ada di sekitar kita adalah dengan mencegah dan mengurangi penggunaan plastik itu sendiri. Seperti kata sebuah pepatah, mencegah lebih baik daripada menanggulangi. Akan tetapi, apakah kita bisa benar-benar mencegah penggunaan plastik dan berhenti untuk menggunakan plastik sama sekali? Dengan melihat kondisi sekarang ini di mana plastik masih kita jumpai dalam setiap aktivitas, tentunya susah untuk tidak menggunakan plastik sama sekali.

Lalu, bagaimana cara kita bisa mengukur usaha kita untuk mengurangi penggunaan sampah plastik ini agar benar-benar efektif dan konsisten? Salah satu cara yang paling efektif untuk mempertahankan konsistensi dalam upaya pengurangan sampah plastik dalam ruang lingkup pribadi adalah dengan melakukan audit sampah plastik. Audit sampah plastik merupakan metode untuk mengukur dan mengetahui jenis serta jumlah sampah plastik apa saja yang kita hasilkan setiap harinya. Caranya cukup mudah, yang diperlukan hanyalah konsistensi untuk mencatat/ mendokumentasikan sampah plastik yang kita hasilkan setiap harinya dan usaha kita untuk menguranginya dari hari ke hari.

Cara Mengaudit Sampah Plastik Personal (Sumber video: WWF Indonesia)

Oleh karena itu, mencegah dan mengurangi penggunaan plastik merupakan solusi yang tepat dan langkah pertama yang harus dilakukan untuk memberantas isu persampahan. Sementara itu, daur ulang bukanlah solusi yang tepat, karena daur ulang bukan merupakan garda terdepan dalam mencegah produksi sampah plastik. Daur ulang merupakan sebuah tahap penanggulangan dari sampah plastik yang sudah ada, agar terhindar dari proses pembuangan yang tidak ramah lingkungan. Jadi, penting bagi kita untuk mulai sadar, peduli, dan mengambil langkah awal dalam mengurangi sampah plastik untuk bumi yang lebih layak ditinggali. Dan tentunya, langkah awal ini harus dimulai dari diri kita sendiri.

Daftar Pustaka:

  1. Sunaryadi, Rikrik dan Nurwakhidin, Anilawati. (2023, 15–16 Juli). Pelatihan Mentor WWF PSC Youth Activist bersama YPBB Bandung. Jakarta: Kantor WWF Indonesia.
  2. Rachman, Ani dan Gischa, Serafica. (2023, 13 Maret). Kompas.com: 3 Metode Pengelolaan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). https://www.kompas.com/skola/read/2023/03/13/210000869/3-metode-pengelolaan-sampah-di-tempat-pembuangan-akhir-tpa-. (Di akses pada 24 Juli 2023)
  3. Hariyanti, Kiki dan Firdaus, Angelia. UMSIDA | Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat: Wujudkan Desa Sapta Pesona, KKN-P 4 Ciptakan Taman Ecobrick Di Desa Sentul Dari Sampah Plastik. https://drpm.umsida.ac.id/wujudkan-desa-sapta-pesona-kkn-p-4-ciptakan-taman-ecobrick-di-desa-sentul-dari-sampah-plastik/. (Di akses pada 26 Juli 2023)

--

--

Ayesha Putrika Setianto
Occupied Urbanism

A passionate marketing professional with a strong commitment to environmental stewardship, sustainability, and humanities.