Domestikasi Mobilitas Perkotaan

Alvin Akbar Aeronautika
Occupied Urbanism
8 min readJan 14, 2019

--

“The Domestication of the Human Species”, by Peter J. Wilson (sumber)

Pertumbuhan sebuah kota menjadi buah tangan masyarakat yang memilih hidup di dalamnya. Perjalanan waktu menjadi saksi hadirnya berbagai inovasi yang turut mengangkat perkembangan perkotaan yang menjadi tempat tinggal para manusia ini. Namun, bila ditarik jauh ke belakang ketika manusia berada dalam keadaan tidak memiliki naungan (hunian). Dan kala itu, manusia hanya mengandalkan insting sebagai usaha untuk bertahan hidup, mengapa mendekati zaman sekarang ini manusia secara tiba-tiba semakin memiliki ketertarikan yang sangat besar terhadap arsitektur? Mengapa manusia tidak hanya diam di satu tempat yang subur, aman dan terlindungi dari ancaman alam? Dan seakan-akan manusia berusaha menciptakan suatu bentukan berupa kota-kota besar yang dirasa hendak menyaingi alam? Pertanyaan ini terkutip dari dalam buku “The Domestication of The Human Species” karya Peter J. Wilson yang secara tidak langsung menyadarkan kita pula untuk melihat kilas balik perkembangan kota kita hingga sekarang ini.

Domestikasi Fenomena Perkotaan

Sebuah kota terlahir hanya berupa urban core semata beserta perangkatnya sebelum gencar mengalami urbanisasi manusia. Dengan intensitas manusia yang tinggi masuk ke dalam inti kota, maka kota tersebut akan terisi padat oleh mereka yang berpindah ke dalam kota. Kepadatan ini yang memunculkan inisiatif sebuah kota untuk tumbuh dan berkembang. Dalam konteks ini, yang terjadi ialah tumbuh dan berkembang ke arah luar dan semakin melebar yang melahirkan pusat-pusat kota baru. Dan pembangunan pun terjadi beriringan dengan meluasnya area pusat-pusat kota baru. Sehingga dalam setiap era, terjadi pembaharuan urban form yang terbentuk oleh area cakupan pusat kota baru yang terus tumbuh dan berkembang.

Kita mengetahui bahwa morfologi sebuah kota pada tiap-tiap lokusnya akan menyusun bentuk yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh fakta-fakta dan tahapan inovasi yang berusaha diadaptasi serta diterapkan dalam pembangunan kota tersebut. Sebagai perbandingan, pada kota-kota di Benua Amerika, utamanya dalam lingkup negara Amerika Serikat dapat kita observasi bagaimana orientasi pengembangan kawasannya. Zonasi fungsi-fungsi perkotaan telah dipetakan sedemikian rupa untuk memisahkan antara fungsi permukiman dan pusat kota . Fenomena ini dapat disebut dengan istilah suburbanization, ketika terjadi ekspansi populasi manusia yang menjauhi pusat kota menuju area dengan densitas yang lebih rendah (Urban Sprawl / Suburban). Hal ini pada mulanya terdampak ketika berakhirnya perang dunia kedua, dimana sepertiga populasi penduduk di Amerika Serikat terpaksa untuk hidup dalam kondisi yang kurang baik, sehingga mereka bergerak menjauhi kawasan pusat kota. Fenomena ini yang pada akhirnya membentuk urban form dari beberapa kota di Amerika Serikat hingga memiliki pemisahan zonasi ruang yang tegas.

Peta Kota Detroit, Amerika Serikat mengalami segmentasi zonasi fungsi yang tegas (sumber: Google Maps)
Detroit Cityscape mengekspresikan ketegasan zonasi ruang kota (sumber)

Berbeda dengan urban form di Amerika Serikat, beberapa kota di Benua Eropa cenderung memiliki zonasi fungsi yang melebur dan diverse. Hal ini dapat terlihat melalui keberadaan fungsi permukiman yang melebur langsung dengan kawasan pusat kotanya (Smart Growth). Fenomena ini berpengaruh terhadap tipologi-tipologi bangunan yang terlahir di beberapa kawasan pusat kota di Benua Eropa ini. Walau terdapat pula bangunan yang tidak secara langsung melebur antara fungsi hunian dan komersil / perkantoran, tipologi dan bentuk bangunan yang terdapat di sana cenderung sama atau membentuk harmoni yang khas antara perbedaan fungsi tersebut.

Amsterdam Cityscape mengekspresikan harmonisasi antar tipologi bangunan (sumber)

Kedua perbedaan ini sebetulnya berdampak pada satu isu yang sama. Berkaitan dengan keterhubungan antara fungsi-fungsi yang terdapat di dalam kotanya masing-masing. Isu tersebut ialah terkait dengan aksesibilitas manusia dalam berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Pada contoh kasus kota di Amerika Serikat, keterjangkauan dari rumah menuju tempat kerja akan membutuhkan usaha yang lebih dan moda transportasi jarak jauh. Sedangkan untuk kota-kota di Benua Eropa, ketercapaian seorang individu dari rumahnya menuju tempat kerjanya lebih mudah dapat diakses dengan bersepeda, bahkan dapat pula dengan berjalan kaki.

Kaki-kaki kami yang berevolusi

Kembali ketika manusia mulai pertama kali menyadari keberadaan mereka di dalam suatu komunitas bertajuk kota, ketercapaian antara satu tempat ke tempat lain di sebuah kota dapat dicapai dengan berjalan kaki. Masyarakat masih memiliki semangatnya dalam berjalan kaki. Kendaraan pun saat itu belum ada. Seiring dengan perkembangan kota yang dinamis dan manusia mulai bermain kembali dengan tangan-tangannya, lahirlah inovasi berupa moda-moda transportasi yang seakan mengevolusikan kaki-kaki manusia menjadi alat-alat pemanis mempermudah aktivitas manusia. Tanpa disadari, hal ini akan mempengaruhi tahapan perkembangan kota ke depannya. Salah satunya dalam tahapan ekspansi kota tersebut. Dan tentu tiap-tiap tingkat kapabilitas suatu moda transportasi akan mempengaruhi jangkauan ekspansi dari kota tersebut.

Evolusi kaki-kaki manusia

Pertama kali berkembang ialah kendaraan yang ditenagai oleh hewan, contohnya kuda. Transportasi ini dapat melayani jarak yang cukup jauh, tetapi dalam waktu yang sangat lama. Selanjutnya berkembang moda transportasi linear, seperti cable car dan trem. Mobilitas masyarakat di sini mulai terakomodasi dengan baik. Muncul titik-titik transit (hub) baru sebagai titik pemberhentian atau transit dari moda transportasi linear tersebut. Dan dengan keberadaan titik-titik transit tersebut, turut memicu perkembangan kota di sekitarnya karena dianggap menjadi potensi peningkatan ekonomi yang menaikkan pula nila land-use area tersebut. Namun, kehadiran kendaraan linear tersebut dirasa masih belum secara maksimal untuk mengakomodasi mobilitas masyarakat, karena tetap diharuskan melakukan mobilitas ke titik-titik transit dan menunggu di beberapa titik untuk mencapai tujuannya.

Melihat dari fenomena tadi yang dirasa menjadi mengurangi efektivitas mobilitas manusia, maka perusahaan-perusahaan transportasi mulai berinovasi kembali. Mereka memproduksi kendaraan-kendaraan yang dapat dimiliki secara pribadi, namun dengan harga yang affordable untuk tiap kalangan masyarakat. Hal ini tentu sedikit demi sedikit menyaingi dan menggantikan kendaraan linear, karena pengguna kendaraan pribadi dapat secara langsung berangkat dari satu tempat ke tujuannya tanpa harus berangkat melalui beberapa titik transit spesifik dan menunggu lebih lama. Tentu pada akhirnya hal ini akan menimbulkan masalah lainnya, tetapi dalam mengkaji perkembangan kota, hal ini akan mempengaruhi perkembangan urban form dari kota tersebut. Ketika aksesibilitas menjadi mudah, maka muncul pusat-pusat kota yang secara mikro mulai terbentuk. Celah-celah antara titik henti (hub) kendaraan linear mulai dapat dijangkau dengan mudah. Selebihnya, pembangunan kota akan beralih dari yang mulanya meluas secara radial konsentris, menjadi organik memunculkan pusat-pusat kota imajiner baru di beberapa titik kota.

Ilustrasi keberadaan automobile (sumber)

Pada tingkatan lebih jauh dari perkembangannya, inovasi dari moda transportasi memberikan kemudahan yang lebih lagi dengan pemberlakuan jalan bebas hambatan atau tol. Keberadaan jalan bebas hambatan ini dapat meniadakan batasan yang ada antara satu kota dan kota lainnya. Sehingga secara eksperiensial akan dirasa memiliki jarak yang teramat dekat dan tanpa adanya batas antar satu kota dengan kota lainnya yang saling terhubung tersebut. Fenomena ini secara nyata dapat dirasakan pada keterhubungan antara Kota Bandung dengan Cimahi yang dirasa seperti melebur dan mulai hilang batas kota antara keduanya. Dan masyarakat dapat menjangkau aksesibilitas antar kota tersebut tanpa merasakan jarak yang jauh dan waktu yang lama.

Evolusi urban form akibat domestikasi sistem transportasi (sumber)

Penerapan sinergi antara sistem transportasi dan urban form telah menjadi ciri khas di negara Amerika Serikat mulai pada tahun 1950, dimana keterhubungan antara keduanya didasarkan kepada poin-poin berikut:

  1. Distribusi Land Use (permukiman, industri, komersial, dll) akan menentukan lokasi dari aktivitas manusianya (kerja, tidur, hiburan)
  2. Distribusi Human Activities membutuhkan ruang dan integrasi dengan sistem transportasi untuk mengakomodasi jarak antara tempat aktivitas manusia.
  3. Distribusi Infrastruktur dalam sistem transportasi akan memunculkan pembacaan potensi interaksi antar ruang/tempat dan dapat terukur dalam tingkatan aksesibilitas (lebih cepat atau lebih dekat atau jauh)
  4. Distribusi aksesibilitas akan menentukan keputusan perletakan zonasi yang setelahnya akan merubah land use yang sebelumnya telah ada.

Dasar-dasar pertimbangan untuk pendistribusian perangkat-perangkat perkotaan ini digunakan dalam mengadaptasikan inovasi-inovasi yang disebutkan pada paragraf-paragraf sebelumnya. Sederhananya, bagaimana meletakkan perangkat inovasi tersebut yang disesuaikan dengan arah perkembangan kota. Hal ini menjadi penting karena memiliki konsekuensi besar terhadap urban form yang akan terbentuk setelahnya.

Verdict .1

Isu aksesibilitas pada ruang-ruang kota ini dapat disimpulkan sangat berpengaruh terhadap pembentukan urban form. Dan tidak hanya itu, inovasi ini juga memantik perkembangan dan pembangunan pusat-pusat kota baru yang pada beberapa contoh kasus yang kurang baik terbentuk citra kawasan yang sporadis, sehingga menghilangkan hirarki urban core yang telah ada sedari awal. Namun, pada kota-kota dengan manajerial dan perencanaan yang baik, adaptasi dari sistem ini menjadi potensi besar dalam pembentukan urban form-nya. Dan tidak sedikit kota-kota yang berhasil mengimplementasikannya, seperti di Singapura, Jepand, dan lainnya.

Beberapa permasalahan besar yang masih dirasakan oleh kota-kota yang belum secara terpadu mengintegrasikan sistem transportasi dan pengembangan urban form-nya, salah satunya yaitu dengan adanya intensitas kendaraan pribadi yang tidak terkendali. Hiruk pikuk penggunaan kendaraan pribadi menambah beban ruang yang meningkatkan densitas ruang-ruang kota. Pada kota-kota yang mengalami fenomena ini, seperti Kota Jakarta kini mulai tersadar untuk melakukan pembenahan kotanya yang dibasiskan kepada sistem transportasi (mobilitas manusia). Munculnya konsepsi Transit Oriented Development (TOD) menjadi salah satu cara dalam menyinergikan sistem transportasi dengan pengembangan urban form-nya. Setelahnya, pembenahan ini diharapkan menjadi pengendali perkembangan kota lebih lanjut dan dapat mengurangi beban ruang di kota.

Verdict .2

Melihat kilas balik, fenomena evolusi dari kaki-kaki manusia yang menjelma menjadi sebuah sistem terpadu ini dapat juga digunakan sebagai alat untuk memetakan perkembangan urban form dari sebuah kota. Dimulai ketika manusia masih melakukan perjalanannya dengan berjalan kaki, hingga muncul inovasi-inovasi terbarukan dalam dunia transportasi. Sebagaimana terjelaskan dalam paragraf-paragraf sebelumnya, perkembangan inovasi sistem dan moda transportasi turut memiliki andil dalam perkembangan urban form kota tersebut.

Sumber:

Dieleman, F. & Wegener, M. 2004. Compact city and urban sprawl. Built Environment 30(4), 308–323.

Newman, P. Dan Kenworthy, J. (1998). Sustainability and Cities: Overcoming Automobile Dependence. Washington, DC: Island Press.

Saarinen, Eliel. 1965. The City, Its Growth, Its Decay, Its Future. MIT Press (MA).

Santoso, Adrianto. (2018, 21 Desember). Seminar Umum. Urban Design Strategy: Towards A Livable City.

Wilson, Peter J. 1988. The Domestication of the Human Species. New Haven, Connecticut, United States. Yale University Press.[1]

City Beautiful. (2016, 29 Desember). Why do so many U.S. cities have gridded streets? (Youtube Online Video). https://www.youtube.com/watch?v=KUDVP6aRS1Y. (Diakses pada 22 Desember 2018)

City Beautiful. (2018, 15 November). How do cities grow? (Youtube Online Video). https://www.youtube.com/watch?v=HO0BZqQ42Ic. (Diakses pada 22 Desember 2018)

Nemesis, Carlos. (2018, 29 Januari). Transformasi Fisik Ruang dan Waktu Perkotaan di Era Digital. https://www.kompasiana.com/carlostondok/5a6db80ddcad5b32e962be52/transformasi-fisik-ruang-dan-waktu-perkotaan-di-era-digital. (Diakses pada 22 Desember 2018)

Wikipedia. (2018. 27 November). Time–space compression. https://en.wikipedia.org/wiki/Time%E2%80%93space_compression. (Diakses pada 22 Desember 2018)

Bila ada pertanyaan, komentar, saran, tanggapan, dan kritik dapat mencapai saya melalui email di bawah ini:

akbaralvin@live.com

--

--