Menyiasati Hidup, melalui Pandemi

Alvin Akbar Aeronautika
Occupied Urbanism
7 min readMay 11, 2020

--

Living through Crises as an Urban Denizen

Pandemi layaknya sebuah revolusi yang menuntut untuk merubah kehidupan kota. Berbagai kisah sebelumnya tentang bagaimana dunia kita melawan pandemi yang menyerang suatu peradaban, berhujung pada pembenahan orientasi sistem dan infrastruktur wilayah tersebut. Seperti Cholera yang menyerang dunia beberapa kali pada abad 19, hingga pada skala kota yang lebih kecil seperti Batavia yang terjangkit oleh Malaria pada abad 18. Dan akibat dari keduanya, kita dapat melihat terjadi pembenahan pada orientasi sistem dan infrastruktur kota sebagai bentuk preventif akan resiko pandemi selanjutnya. Dan pembenahan ini selalu bersifat adaptif yang merespon kontinuitas dari krisis yang dilalui umat manusia.

Photo by Robert Metz on Unsplash

“Urban history may be more about continuity through crises than about transformation.” — Ian Klaus, The Post-Pandemic Urban Future Is Already Here

Pada masyarakat Batavia, siasat dari melawan pandemi ini ialah bermigrasi menuju wilayah yang dirasa lebih aman, yakni dari wilayah dalam tembok Kotatua (Batavia) menuju wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Medan Merdeka (Koningsplein) dan Lapangan Banteng (Weltevreden). Penutupan kanal-kanal Batavia dilakukan untuk meredam penyakit Malaria setelah diketahui bahwasanya pandemi ini menular melalui sistem pengairan yang tercemar. Selain perpindahan penduduk tersebut, kita melihat perubahan orientasi infrastruktur kota Batavia lama dari berupa kota kanal menjadi kota yang kita kenal hingga sekarang ini.

Covid-19 memiliki cerita yang berbeda dari pandemi-pandemi sebelumnya. Ia tidak menyerang melalui sistem vital seperti saluran pembuangan dan sistem pengairan sebuah kota, tetapi melalui paparan langsung antar manusia melalui medium udara. Kota sebagai akumulasi berbagai lapisan masyarakat, yang padat dan aktif menjadikannya sasaran empuk. Kita tidak dapat menerka bagaimana kondisi orang yang kita jumpai. Sehingga tanpa sadar, besar kemungkinan kita membawa penyakit kepada lingkungan tempat tinggal ktia sepulangnya.

Hidup dalam Hiruk-Pikuk Kota Semasa Pandemi

Densification over city to promote compactness (Photo by eggbank on Unsplash)

Kini, dirasa menjadi sebuah ironi ketika membandingkan dampak Covid-19 dengan struktur kota yang kita hidupi sekarang. Mixed-use development untuk optimalisasi proksimitas antar fungsi-fungsi ruang kota, vertical housing sebagai upaya efisiensi densitas lahan permukiman, dan mempromosikan high mobility berbasis transit dalam perkotaan dengan berjalan kaki, menaiki sepeda, dan integrasi antar transportasi umum. Segala arah pengembangan kota tersebut membawa kedekatan antar individu acak yang sama-sama beraktivitas di ruang-ruang kota. Sehingga, jaringan yang memiliki kerentanan tinggi akan terjangkitnya Covid-19 adalah mobilitas manusia perkotaan dalam menjalani aktivitas kesehariannya.

Pandemi ini selanjutnya menuntut kita untuk memikirkan bagaimana siasat untuk tetap hidup dengan aman di ruang-ruang kota. Ruang-ruang publik yang semula berperan sebagai melting pot segala lapisan masyarakat, kini menjadi ruang yang paling dihindari. Tidak ada lagi perjalanan ke kantor dan tempat-tempat hiburan, menggunakan transportasi publik, ataupun sekedar bertemu kawan di cafe sepulang kerja. Rumah dirasa menjadi satu-satunya ruang teraman di dunia.

Physical Distancing, not Social Distancing (Photo by João Pedro Costa on Unsplash)

Degradasi interaksi sosial antar tetangga pada suatu permukiman menjadi fenomena serius yang kita alami dewasa ini. Tetapi atas kondisi ini, mirisnya menjadi pilihan terbaik untuk mengamankan diri. Otoritas menginisiasi social distancing yang tanpa sadar semakin memertegas degradasi ini. “Ruang pertama” manusia (tempat tinggal) kini hanya yang pertama dan terakhir kita jejaki setiap harinya. Tetapi, lebih dari itu kita dilatih untuk merubah kebiasaan diri yang mungkin akan menjadi konsensus tata laku ke depannya.

Menginisiasi Produktivitas melalui Remote Working

Aktivitas esensial kita sehari-hari seperti bekerja, beribadah, berosialisasi, dan lainnya kini di rumahkan. Gedung perkantoran, jalan raya, dan ruang aktif lainnya menjadi sepi. Kini semua berinisiasi untuk memindahkan meja kerjanya ke salah satu ruangan di rumahnya masing-masing. Work From Home (WFH) kini begitu akrab, remote working menjadi sarana menjaga produktivitas para pekerja.

Work From Home sarana menjaga produktifitas. (Photo by Sincerely Media on Unsplash)

Perkembangan remote working pun sebetulnya telah terlihat beberapa tahun ke belakang ini. Seperti munculnya berbagai co-working space pada ruang-ruang kota dan domestikasi ruang ketiga manusia menuntun kaum produktif untuk lebih fleksibel dalam bekerja. Predikat “kantor” akhirnya bukan menjadi sebuah konsensus antar sesama kaum produktif, tetap pemahaman mandiri atas usaha menjaga produktivitas.

“…once companies’ remote work routines have been smoothed out, their newly remote-capable employees will have the flexibility to move out of dense cities and into lower-cost areas.” — Emma Rose Bienven, 7 Predictions for a Post-Coronavirus World

Kondisi ini kembali berseberangan dengan prinsip kota yang compact seperti yang dijelaskan di sebelumnya. Work from home (WFH) semakin meredam mobilitas yang tinggi pada pusat kota. Kemudahan bekerja secara fleksibel menjauhi pusat kota yang padat, memberikan kesempatan kepada mereka untuk mencari tempat tinggal yang lebih terjangkau meskipun berjarak jauh dari kantor mereka. Sedikit demi sedikit warga perkotaan akan bermigrasi menjauhi pusat kota dan mengisi peri-urban yang dirasa lebih aman dan utamanya terjangkau secara finansial. Dalam kata lain, akan muncul lingkungan-lingkungan permukiman baru dan pusat-pusat kota baru dalam bentuk tipologi ruang yang adaptif terhadap upaya menghentikan Covid-19.

Interdependency Development as a Resolution

Perubahan tata laku, kebiasaan, dan berbagai pembatasan yang telah kita alami akan menjadi basis dari bagaimana tipologi ruang kehidupan kita yang baru akan terbentuk. Sebuah respon terhadap kecenderungan manusia perkotaan yang mulai bermigrasi menuju peri-urban. Fungsi hunian yang aman dan terjangkau akan menjadi komponen pertimbangan utamanya. Keamanan dan keterjangkauan dipenuhi melalui kemampuan area permukiman tersebut menyokong kehidupannya sendiri. Hal-hal seperti memenuhi kebutuhan keseharian harus dapat terpenuhi dalam perkembangan area permukiman tersebut tanpa mengharuskan penghuninya melakukan perjalan keluar area permukiman.

Gagasan cluster mixed-use dengan menghadirkan komponen penyedia kebutuhan seperti area ritel komersil, perangkat kesehatan, dan kebutuhan lainnya pada area permukiman khusus ini akan menjaga supply dan demand masyarakat tersebut. Tanpa harus melakukan perjalanan keluar dari permukiman tersebut, mereka sudah dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Pada perkembangan selanjutnya, suatu komunitas permukiman harus dapat menerapkan prinsip-prinsip interdependancy development sehingga bukan hanya kebutuhan saja yang terpenuhi tapi pola hidup masyarakat dalam komunitas permukiman ini dapat terjaga. Prinsip-prinsip seperti zero waste, urban farming, dan tatanan sosial yang aktif interaktif akan membawa komunitas permukiman ini dapat bertahan hidup melawan kedatangan krisis berikutnya.

Prinsip-prinsip ini telah diinisiasi di beberapa kota di Eropa. Dan secara individu, masyarakat perkotaan seperti di Bandung sudah mulai ada yang membangun ruang bercocok tanam di pekarangan rumahnya, membentuk pola hidup zero waste dan sebagainya. Dan apabila kita tarik lebih jauh ke belakang, prinsip-prinsip ini merupakan cara hidup masyarakat tradisional pendahulu kita yang juga memiliki tujuan bertahan hidup melawan krisis dan pada akhirnya menjadi adat istiadat yang otentik pada masing-masing komunitas masyarakat tradisional.

Domestikasi Micromobility untuk Pemenuhan Kebutuhan

Dalam mengakomodasi mobilitas untuk memenuhi kebutuhan dan juga dalam pengembangan tipologi permukiman yang interdependance, kita harus mencontoh beberapa kota di luar sana seperti Bogota, Paris, dan London yang memulai inisiasi penyediaan jalur untuk micromobility vehicle seperti sepeda, otoped, dan juga untuk berjalan kaki.

Promote micromobility (Photo by Yoav Aziz on Unsplash)

Micromobility ini dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip seperti 15-minutes cities dan 20-minutes neighbourhood, di mana tiap fungsi yang hendak kita capai untuk kebutuhan kita akan terpenuhi melalui perjalanan 15 menit atau 20 menit dari pintu rumah kita. Dengan micromobility dan juga berjalan kaki sebetulnya manusia akan lebih mudah untuk menentukan batasan fisik ruang antara sesama pengguna ruang jalan. Tetapi hal ini tentu harus diimbangi dengan penyediaan infrastruktur dan fasilitas yang memadai. Jarak yang terlalu jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki dan terlalu dekat bila menggunakan mobil akan lebih mudah dijangkau dengan micromobility. Berjalan dengan itu, moda transportasi lain yang bersifat massal dan ruang-ruang jalan utama dapat digunakan sebagai jaringan mobilitas darurat seperti logistik, medical, dan lainnya.

Suburbia, a product of Suburbanization (Photo by Max Böttinger on Unsplash)

Shifting pada berbagai macam aspek di atas yang mungkin dapat menjadi model dan salah satu bayangan sederhana terhadap kota yang akan kita hadapi ke depannya. Dalam pelaksanaannya tentu akan muncul berbagai hal baru yang menuntut untuk diadaptasi. Model perkembangan intedependency development ini pun juga menjadi basis dari tipologi permukiman yang kita kenal dengan gated community, di mana pada beberapa pandangan tipologi ini memiliki permasalahan dan bukan menjadi pengembangan yang baik. Tetapi, justru hal ini yang menjadi tantangan bagi kita, bagaimana mengadopsi suatu hal baru dan mengelaborasi sesuatu yang telah ada sebelumnya dalam rangka membangun kehidupan baru pasca pandemi.

Bila ada pertanyaan, komentar, saran, tanggapan, dan kritik dapat mencapai saya melalui email di bawah ini:

akbaralvin@live.com

--

--