What We Owe To Each Other?

Alvin Akbar Aeronautika
Occupied Urbanism
6 min readNov 5, 2020

--

Ketika lahir, kita didikte untuk mengemban status kebangsaan, agama, gender, dan hal-hal lainnya yang mengisyaratkan keutuhan identitas. Sesuatu yang umumnya bukan merupakan pilihan bagi kebanyakan orang di dunia ini. Merangkak dan menangis, berdiri dan terjatuh, hingga lafal mengucap kata “mama”, berhiaskan pelajaran-pelajaran atas kehidupan yang hendak membentuk pemikiran kita. Sesuatu yang dikatakan sebagai ‘truth’ dan ‘goodness‘, tertanam menjadi nilai moralitas ‘logic’ dan ‘ethic’ dalam keseharian kita hingga dewasa.

Manifestasi buku “What We Owe To Each Other” dalam serial TV “The Good Place” (2016–2020). (sumber)

Pemahaman atas moralitas ini memang terlahir melalui proses pendagogi yang kita alami selama tumbuh dewasa. Menjadi dewasa dengannya, secara tidak sadar kita terikat dalam sebuah kontrak moral. T.M. Scanlon, seorang filsuf menerjemahkan fenomena ini dalam teorinya yang disebut sebagai Contractualism, yakni sebuah tindakan moral yang terlahir melalui kesepakatan atau kontrak moral. Kontrak moral dijadikan sebagai justifikasi untuk menilai sesuatu adalah benar-salah dan baik-buruk. Memberikan kekuasaan ‘eksistensialitas’ individu dalam bersikap, di mana kita akan merasa memiliki tujuan ketika bersama kebenaran.

“…manages to make people feel the pull of these different philosophical positions…” — T. M. Scanlon

Kutipan T.M Scanlon dalam wawancara dengan media The Crimson ketika membahas serial TV berjudul The Good Place yang mereferensikan bukunya sebagai acuan. (artikel wawancara).

Beralih ke lingkup hidup sosial, ternyata keberagaman sangatlah abstrak. Kita tidak dapat menilai sesuatu hal seperti orang lain menilainya. Hingga akhirnya kita terpetakan oleh dikotomi melalui stratifikasi dalam keberagaman. Ada kelompok minoritas, juga terdapat kelompok yang bersifat mayoritas. Keduanya terbentuk melalui pemetaan stereotip atas kelompok masyarakat tersebut. Sebuah pandangan atas kelompok tertentu akan dianggap benar selama kontrak moral menaunginya sebagai alasan yang rasional bagi mereka. Seperti mencirikan suatu kelompok melalui tindakan yang mereka lakukan, maka umumnya akan mengeneralisasi stereotip pada kelompok serupa. Orang lain tidak dapat berkelak atas sikap generalisasi ini selama sama-sama merasa rasional dan dibenarkan secara moral di dalam komunitas yang mereka tinggali.

Pemetaan Hak atas Ruang Hidup

Amerika Serikat, di mana kehidupan sosial terasa sangat terpetakkan, pandangan tertentu terhadap suatu kelompok sudah menjadi kondisi sistemik yang dibenarkan oleh kontrak moral individu hingga dalam kelompok. Segregasi dan diskriminasi adalah dua produk yang terlahir atasnya. Kemunculan tipologi-tipologi suburbia yang didasarkan atas warna kulit dan stratifikasi sosial, menjamin adanya eksklusivitas dan segregasi antar kelompok masyakarat. Bukan hanya terjadi melalui pemisahan ruang hidup, tetapi lebih parahnya juga terhadap akses-akses vital seperti kualitas ruang hidup, pekerjaan, hak atas pinjaman, dan juga pendapatan. Kondisi ini telah berakar menjadi sebuah systemic racism melalui kebijakan tata kota yang disebut dengan Redlining.

Housing Segregation and Redlining in America: A Short History | by NPR (youtube link)

Redlining atau segregasi berbasis tata kota juga terjadi di Indonesia sedari masa Kolonial Belanda. Berbentuk segregasi distrik permukiman yang dikelompokkan berdasarkan klasifikasi etnisitas pribumi, timur/asing (arab, tionghoa), dan bangsa Eropa. Tindakan ini dibenarkan melalui penetapan kebijakan Kolonial Belanda yang disebut dengan Wijkestelsel (permukiman berbasis etnis). Kualitas lingkungan hidup dan aksesibilitas terhadap fasilitas umum serta sosial menjadi ciri yang membedakan antar distrik berbasis etnisitas ini. Eksklusivitas tetap menjadi milik penduduk Kolonial Belanda semata, sedangkan ‘kampung’ menjadi istilah yang erat untuk mendefinisikan lingkungan hidup masyarakat pribumi dan timur/asing.

Melalui olahan peta Batavia tahun 1897 di bawah ini, tergambarkan secara jelas pembedaan area hunian berdasarkan etnisitas. Kita dapat membandingkan bagaimana tipologi permukiman antara perumahan Belanda (Weltevreden, Waterlooplein, dan Koningsplein) dengan permukiman Tionghoa (Pecinan Glodok). Berdasarkan amatan solid-void ruang, perumahan Belanda memiliki tipologi bangunan tunggal (biasa disebut rumah vila) dengan halaman yang luas di sekitar rumahnya yang tergambarkan oleh ruang-ruang jarak antar bangunan. Sedangkan pada area permukiman Tionghoa, solid-void ruang menjadi padat dan berhimpitan antar bangunannya (tipologi bangunan deret) yang akrab menggambarkan kondisi kampung-kampung di Jakarta.

Peta Batavia 1897 menggambarkan perbandingan kepadatan tipologi hunian antara perumahan Belanda (Weltevreden, Waterlooplein, dan Koningsplein) dengan permukiman Tionghoa Glodok

Secara modern, bentuk wijkestelsel mungkin dapat disamakan dengan fenomena munculnya pengembangan perumahan yang dibasiskan pada identitas agama. Umumnya berbentuk gated community yang secara tegas membatasi interaksi dengan lingkungan luar. Komunitas homogen menjadi alternatif yang dikejar oleh suatu kelompok masyarakat untuk menemukan kenyamanan dan keamanan dalam berkehidupan sehari-hari. Tetapi, eksklusivitas ini seyogyanya menjadi isyarat akan implementasi kontrak moral yang menunjukkan bahwa kelompok lain merupakan sebuah gangguan atau ancaman nyata bagi kelompok masyarakat ini. Dan menjadi pembenaran moral untuk memisahkan diri ke lingkungan yang homogen.

Kita telah melihat bagaimana di Amerika Serikat dan di Indonesia sekalipun (pada masa Kolonial Belanda) memanfaatkan kebijakan sebagai medium untuk menciptakan segregasi dan diskriminasi. Kebijakan ini juga terjadi dalam kewenangan wilayah istimewa yang dimiliki Provinsi D.I. Yogyakarta. Dalam Surat Instruksi Wakil Gubenrnur D.I. Yogyakarta Nomor 898/I/A/1975 menyatakan adanya pelarangan WNI non-pribumi di D.I. Yogyakarta untuk mendapatkan Hak Milik atas tanah. Mereka yang dianggap sebagai WNI non-pribumi ini hanya mendapatkan hak atas aset sebatas Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Guna Usaha.

Logo HUT RI ke 75

Istilah pribumi dan non-pribumi pun menjadi polemik tersendiri yang masih terus diperdebatkan hingga hari ini. Menjadi beragam di Indonesia yang katanya memiliki ragam suku, bangsa, dan agama ternyata malah menciptakan systemic racism tersendiri. Sama halnya seperti perayaan kemerdekaan Indonesia ke 75 pada beberapa bulan lalu, yang ternyata malah memicu diskriminasi pada konteks agama. Simbol Kemerdekaan, diinterpretasikan secara sepihak menyerupai ‘salib’ dan suatu kelompok masyarakat menyerukan kontroversi atasnya. Toleransi seharusnya tidak berpihak pada satu agama, tetapi kepada ragam kekayaan suku, bangsa, dan agama yang kita miliki.

Dualisme Perkotaan, Jembatan Penghubung Diversitas

Celah pada tembok batas area perkantoran yang dijadikan akses memesan makanan ke luar oleh pegawai kantor di kawasan SCBD Jakarta (Foto oleh Hani Tangko)

Dalam ilmu perancangan kota, keberagaman justru menjadi kunci dari keberhasilan suatu lingkungan perkotaan. Terdapat istilah ‘Dualisme Perkotaan’ yang mendefinisikan hubungan atas dikotomi formal-informal, kaya-miskin, tertata-kumuh, warga negara-warga asing dan seterusnya. Keberadaan dua elemen ini menciptakan kondisi mutualisme dan menegasikan spatial-mismatch, di mana masyarakat informal dan mereka yang bertaraf hidup rendah tidak lagi mengalami kesulitan atas akses pekerjaan yang layak di lingkungan formal dan kelas sosial lebih tinggi.

Area yang terhimpit di antara blok-blok perkantoran dimanfaatkan oleh PKL untuk menjajakan makanan ke pegawai kantoran di kawasan SCBD Jakarta (Foto oleh Hani Tangko)

Semisal pada suatu lingkungan perkantoran, di sekitarnya pasti kita akan menemukan ruang-ruang yang diisi oleh ritel-ritel makanan informal (PKL). Karena tidak selamanya pekerja kantoran akan sanggup membeli makan siang di mall / food court kelas atas. Dan ini memberikan kesempatan bagi pedagang informal mengumpulkan pendapatan melalui berjualan di kawasan perkantoran formal tersebut. Hal ini berkaitan dengan bentuk kesadaran dan rasa menghargai atas kedudukan peran timbal balik yang kita emban dalam hidup bersosial di kota.

T.M. Scanlon (Sumber)

Lantas, what we owe to each other?, mengutip dari ungkapan T.M. Scanlon yang menjadi judul buku dari teori contractualism pada pembahasan di awal. Kontrak moral yang tertanam seiring tumbuh dewasa menggiring kita pada kepercayaan bahwa perbedaan itu nyata dan dibenarkan untuk membeda-bedakan. Pada kondisi ekstrem, dapat bertransformasi menjadi systemic racism yang berbalut kebijakan dan peraturan penguasa.

Akan berbeda jika kita memulai pandangan dengan menyamaratakan semua kelompok sebagai human being atau manusia (tidak berdasarkan stratifikasi). Tiap manusia memiliki peran, dan menghadirkan hubungan timbal balik dengan manusia lain, Melapangkan pikiran untuk menyadari dan menghargai keberadaan serta peran manusia lain di sekitar kita, akan merasionalkan kembali kontrak moral kita melalui ‘logic’ dan ‘ethic’ yang dibasiskan pada kesetaraan dan keadilan.

Daftar Pustaka:

  1. Gobillon, L., Selod H., dan Zenou Y. 2007. The Mechanisms of Spatial Mismatch. Routledge Taylor & Research Group
  2. Scanlon, T.M. 1999. What We Owe to Each Other. Cambridge, Massachusetts: Belknap Press of Harvard University Press
  3. Pangarso, F.X. Budiwidodo. 2018. Kuliah Estetika Perkotaan. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan
  1. Ellis, V. Maliya dan Lim, Woojin. (2019, 10 Oktober). Asking Philosopher T. M. Scanlon ‘What We Owe to Each Other’. https://www.instagram.com/p/CDGLgoHAVjn/?utm_source=ig_web_copy_link. (Di akses pada 10 Maret 2020)
  2. Nekropolis. (2020, 27 Juni). Wijkestelsel: Tersekat Sejak Dahulu. https://www.instagram.com/p/CDGLgoHAVjn/?utm_source=ig_web_copy_link. (Di akses pada 27 Juni 2020)
  3. Nekropolis. (2020, 13 Juli). Di Balik Perumahan Berlabel Agama: Segregasi Ruang oleh Hunian Homogen. https://www.instagram.com/p/CDGLgoHAVjn/?utm_source=ig_web_copy_link. (Di akses pada 16 Juli 2020)
  4. Nekropolis. (2020, 26 Juli). Rasisme di Tanah Istimewa: Relevansi larangan WNI keturunan Tionghoa mendapatkan Hak Kepemilikan Tanah di DIY. https://www.instagram.com/p/CDGLgoHAVjn/?utm_source=ig_web_copy_link. (Di akses pada 27 Juli 2020)

--

--