Aku Mencintaimu

Khatmil Iman
Omah Aksara
Published in
2 min readMar 19, 2019

Aku menderita sebuah penyakit, yang tak kutahui namanya, yang jelas aku selalu ketakutan. Ketika aku ketakutan, maka aku tak bisa berpikir jernih. Ketika tak bisa berpikir jernih, segalanya jadi serba salah. Aku mengatakan yang tak seharusnya aku katakan. Aku tak mengatakan yang semestinya kukatakan. Pada situasi seperti itu, aku memilih diam. Aku hanya akan memperhatikan. Itu saja. Maka aku tak akan menyalahkan mereka yang menganggapku bisu. Mereka hanya tidak mengertiku. Toh aku juga tak ingin dimengerti. Sebab manusia yang selalu ingin dimengerti hanyalah manusia egois. Meskipun begitu, bukan berarti aku tak mencari obatnya. Hingga kini aku bertemu denganmu, aku telah melalui beberapa orang yang kuanggap bisa membantuku — barangkali jumlahnya lebih dari sepuluh, aku tak menghitungnya. Aku memesan bir dan kentang goreng, kamu lebih memilih jus tomat. “Akhir-akhir ini pengelihatanku kurang bagus. Bahkan aku tak bisa melihat tahi lalat yang biasanya terletak di antara alismu.” Kamu tertawa receh. Aku kelabakan. Dan kemudian, kamu menamatkan pandanganmu langsung ke matakaku. Ya, kontak mata. Alih-alih menyarankan memeriksa matamu ke dokter atau mengatakan jus tomat adalah pilihan tepat atau sekedar mengangguk, aku hanya bisa diam. Bola matamu yang bulat dan coklat begitu anggun. Jernih berkilauan menyiksa mata dan pikiranku. Aku tersipu. Maka setelah sekian lama, ketika kau menyadarkanku dengan membentak hei, ketika aku ketakutan dan seluruh badanku mulai gemetaran, spontan mulutku tak sengaja berkata “aku mencintaimu” untuk kemudian tersedak. Kentang gorengku berhamburan. Sungguh, aku tak tahu pasti darimana perintah itu datang, aku hanya tahu bahwa bagi seseorang penderita penyakit ketakutan akut, dua kata itu tak mudah dan tak mungkin dikatakan.

Aku meminum birku. Menyulut rokok. Sedangkan alismu mengkerut. Kamu berdiri. Kamu merogoh tas dan mengeluarkan uang lalu meletakkannya di meja. Kamu pergi. Aku meminum birku, lagi.

--

--