Beliau yang Mengirim Surat kepada Tuhan Setiap Pagi

Khatmil Iman
Omah Aksara
Published in
3 min readApr 4, 2019

--

Masyarakat kota Tembaga memanggil beliau Kak Ingus, atau demi kemudahan terkadang Ingus saja. Tidak ada yang tahu cerita pasti mengenai beliau Kak Ingus, lelaki sekitar empat sampai lima puluhan tahun, yang tiba-tiba beliau datang seakan jatuh dari langit di kota tambang tertinggi di Asia ini. Maksud jatuh dari langit bukan semacam idiom denotasi beliau naik helikopter atau pesawat perintis, seolah benar-benar idiom konotasi. Pada suatu pagi yang beku, salah seorang saksi bagian keamanan kota memergoki beliau duduk di bangku taman, meninggalkan bekas pantat yang kontras dengan bunga es di sekitarnya ketika dia berdiri memasukkan amplop coklat ukuran A4 pada kotak surat di samping bangku. Amplop polos tanpa satu huruf pun tertera di kedua sisi. Setelah itu, beliau duduk kembali tepat di bekas sebelumnya beberapa detik lalu. Mengelap ingus yang terus meler dari salah satu lubang hidungnya. Yang meskipun tidak keluar, beliau akan tetap mengelap hidung, atau sekedar mengusap-ngusap secara berulangkali. Memang semua orang dengan suhu sedingin itu akan melakukannya, tapi tidak sesering itu. Siapapun dapat menghitung tanpa menggunakan stopwatch betapa kurang dari sepuluh detik beliau mengulangi gerakan itu. Dari situlah sebutan beliau berasal.

Luas wilayah kota yang tak seberapa, membuat kisah itu cepat menyebar. “Ada orang gila di taman.” Kata orang-orang bagai sebuah template. “Bukan kita orang punya, kulitnya coklat, berambut lurus. Perutnya sedikit kembung. Hidungnya selalu gatal. Kalau pagi datang, itu orang mengirim surat tak pakai alamat.” Masyarakat memafhumi, tidak ada alamat yang beliau bisa tulis, beliau tidak punya tempat tinggal. Tempat tinggalnya adalah bangku itu. Kita pun mesti memafhumi, tidak ada manusia yang patut disebut waras kalau tingkah laku seperti beliau ini. Saat itulah gelar “beliau” belum disematkan, masih Ingus saja. Saat sebelum seminggu kemudian seorang wartawan muda dari majalah perusahaan tambang mewawancarainya.

— Asal Bapak mana?

— Bapak datang dari mana?

— Sebelum tinggal di bangku taman ini, bapak tinggal di mana?

Sejenak bayangan wartawan muda itu mengenai artikel yang akan menghiasi halaman sampul pupus. Tapi dia kembali mencoba peruntungannya, setelah teringat suatu hal yang membawa dia menghadap beliau.

— Oke, Pak. Saya tidak perlu tahu tentang kehidupan pribadi anda. Tapi izinkan saya tahu satu hal. Setiap hari anda mengirim surat?

Saya mengirimkannya untuk Tuhan. Setiap jam empat, saya ke toko alat tulis kantor koperasi di atas sana[jarinya menunjuk], membeli amplop dan selembar kertas, meminjam bolpoin dan menulis isi surat saya kepada Tuh —

— Kenapa Bapak melakukannya?

Saya menulis isi surat kepada Tuhan. Kembali turun. Kegiatan itu membantu badan saya tetap hangat. Kalaupun belum waktunya melakukan kegiatan itu, saya akan sengaja berjalan keliling beberapa blok[sesaat kemudian beliau menyulut rokok, bukan rokok amerika, rokok dengan cengkeh]. Saya simpan di balik jaket saya sampai pukul delapan untuk saya masukkan ke dalam kotak surat. Kalau petugas pos tidak terlambat, semenit kemudian mereka mengambilnya. Lagian, waktu itu adalah waktu Tuhan baru terbangun dari tidurnya. Bersamaan dengan orang berangkat bekerja, ketika Tuhan akan menjaga mereka.

— Maaf, Pak. Saya ulangi, kenapa Bapak melakukannya?

— Bapak menulis apa kepada Tuhan?

— Bapak ingin Tuhan melakukan apa?

Wartawan muda itu menyerah. Jeda tiap tiga pertanyaan terakhir itu sekitar sepuluh menit. Dan Beliau Kak Ingus tidak menjawab. Sama sekali tidak. Beliau menatap langit. Langit yang tertutup awan hitam dan kabut yang kian turun. Wartawan itu balik ke kantornya — setelah menghaturkan maaf dan terimakasih. Lalu menuliskan hasil wawancara tidak berbentuk hasil wawancara. Melainkan artikel yang dia sebut artikel sastrawi yang mengada-ada agar memudahkan dia menambah atau mengurangi cerita asli beliau. Redaktur menganggap artikel yang ditulis wartawan muda sebagai terobosan terbesar sepanjang jabatan Sang Redaktur menjadi redaktur. Tidak heran penampakan sekujur tubuh Beliau Kak Ingus yang tengah duduk di bangku taman kota Tembaga seraya memandang langit dan memegang sebuah amplop coklat ukuran A4 terpampang di halaman depan. Yang untuk itu, diberi judul yang disepakati oleh Sang Redaktur dan wartawan muda itu: Beliau yang Mengirim Surat kepada Tuhan Setiap Pagi.

--

--