Cinta Di Puncak Becucu

Omah Aksara
Omah Aksara
Published in
8 min readDec 24, 2018

oleh : Affix M. - affixmareta

Sumber : https://phinemo.com/gunung-prau-dieng/

Kau punya rumah? Tempat yang kau tuju ketika ingin pulang. Tempat kau nyaman dan merebahkan badan dengan tenang. Rumah membuatmu rindu ketika kau jauh tak didekatnya. Rumah adalah tempat yang membuatmu tak merasa asing, berada di dalamnya. Dan bagi pengembara sepertiku, aku tak butuh rumah. Aku tak memilikinya. Ketika perasaaan ingin pulang dan bersandar serasa ingin membunuhku. Aku ingin ingin singgah di tempat para pemilik rumah sementara. Tempat para penyintas bebas datang dan pergi tanpa mengisi buku tamu. Tanpa ada perasaan sakit saat aku lupa membayar atau saat aku tak mampir lagi. Tempat seperti itu hanya dimiliki orang berhati lapang, yang tak membutuhkan bayaran berupa perasaan. Dev, bagiku kau memiliki sebuah hotel bintang lima, yang memungkinkan ku nyenyak seharian.

“Gab. Kau mengajakku kemana?” Tanyamu dari jok belakang motor, dengan menyandarkan dagumu yang runcing di sebelah kiri bahuku.

“Ke puncak becucu”, jawabku.

Aku tak memberitahumu kenapa aku amat ingin ke Puncak Becucu. Puncak salah satu bukit paling tinggi di kotaku, yang membuatku selalu tenang. Aku bisa membuang waktu berjam-jam mengamati gunung, angin, dan atap rumah yang terlihat kecil. Di puncak ini tak ada burung terbang. Tapi di rerumputan yang tinggi, terkadang di sebuah tenda, bisa kau pastikan ada burung mengacung meninggalkan sarangnya. Bersembunyi di lubang pohon, atau sela-sela ranting. Untuk sementara. Untuk terbang lagi, esok hari. Gara-gara burung semacam itu, Puncak Becucu tidak sakral lagi. Tapi tak apalah. Lagipula, meski beberapa pengunjung sukarela menghiasi tempat ini dengan tahi, air kencing dan sampah, bagiku tempat ini tetap indah.

Melihatmu, aku seperti ingin membelai dirinya.

Tapi kau bukan dia, dan dia bukan rumah tempatku berlabuh. Ia juga hanya tempat singgah sementara.

“Kita belum sampai?”

“Belum, Dev. Masih jauh.”

“Oke.”

Jawaban singkatnya membuatku yakin Ia akan kuat naik ke puncak Becucu. Kami masih di atas motor pada jam dua pagi. Kami melintasi jalanan di atas pegunungan. Dari jalanan ini kau bisa melihat rumah-rumah di bawah seperti bintang, dan di saat yang sama bintang-bintang juga gemerlap menyala di atasmu. Aku seperti tukang ojek luar angkasa dengan trayek antar planet.

Pegunungan ini setinggi 2000 meter di atas permukaan laut. Angin dinginnya menusuk tengkuk hingga aku harus mengencangkan resleting jaket agar tidak ada celah bagi angin menyentuh kulitku, dengan tangan kiriku. Sementara tanganku memutar gas motor agar cepat sampai basecamp. Dev merapatkan tangannya ke badanku. Saat perutku terasa hangat, di depanku sudah ada orang menghadang di tengah jalan. Menunjukkan tempat untuk memarkir motor.

“Jadi mengapa kau mengajakku ke tempat ini?”

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya senang bersamamu.”

“Kau hanya kuberi waktu 24 jam. Dan sudah dua jam kita bersama. Waktumu tinggal 22 jam lagi.”

“Hehe. Serius amat.”

“Kau tahu, aku sibuk. Lagipula itu karena ulahmu. Dan sekarang kau menambah kesibukanku.”

Kalimatnya tajam, dan selalu tepat sasaran. Itu kenapa aku lebih suka bersamanya daripada dengan manusia lain di bumi.

“Dulu, aku mengajak seseorang ke tempat ini.”

“Oooh…” Dev hanya mengangguk seakan mengerti sesuatu yang belum kujelaskan. Sambil beristirahat, aku bercerita tentang rumah yang pernah kucoba singgahi. Matanya menatap jagung bakar, mulutnya sibuk mengunyah, tapi aku yakin Dev mendengarkan.

Kau tahu obat kuat paling ampuh?

Bagiku itu adalah kesadaran bahwa kau akan berpisah dengan perempuan yang kau cintai.

Aku masih ingat sebuah malam, dua puluh dua tahun lalu. Seseorang menangis di pelukanku. Aku mendekapnya erat. Wajahnya terbenam di dadaku. Dan kami berpelukan hingga pagi.

Kami terbangun saat matahari mengerahkan kekuatannya agar bumi makin panas. Kami berdua terpanggang di kamar. Kasur tempat kami tidur, amat basah, hingga kami seakan tenggelam oleh keringat kami sendiri. Sebenarnya itu karena kesalahanku sendiri, karena di kota sepanas ini aku lupa membeli AC. Ibu kota memang kejam, tapi ia tidak terasa kejam andaikan kau membeli AC.

Saat itu kami sudah berpacaran 3 tahun. Tapi tidak sekalipun aku pernah menyentuh payudaranya. Aku hanya pernah menciumnya setahun lalu. Itupun di kening. Namun, karena cuaca panas Ia terpaksa membuka bajunya, dan akupun membuka bajuku. Ia membuka celananya, seperti aku juga membuka celanaku. Ia membuka kutangnya, tapi karena aku tak mengenakan kutang, aku membuka celanda dalamku. Kami justru tertawa. Dan karena kami sama sama masih sedih. Kami berencana berpelukan lagi hingga petang. Hari itu hari minggu, dan hanya pada hari minggu kami dapat bertemu di rumah kontrakanku.

Dari senin hingga jumat Ia harus bekerja hingga malam. Lagipula di hari-hari itu orang tuanya mengawasinya dan menanyakan keberadaannya hampir tiap jam. Setiap hari melalui ponsel Ibunya selalu berkata: ‘Kapan kamu akan nikah dengan lelaki pilihan kami? Kamu sudah dua puluh lima tahun, dan bukan saatnya lagi berpacaran. Kamu harus menikah dengan orang yang sudah mapan.’

Di hari sabtu, terkadang Ia harus lembur atau mengikuti acara kantor atau mengunjungi rumah saudaranya. Namun malamnya, setelah Ia meminta ijin orang tuanya agar tidak mengganggunya — Ia beralasan agar bisa tidur seharian dengan tenang — Ia membelah lalu lintas kota Jakarta yang selalu padat di akhir pekan dengan meminjam motor temannya, dan mengunjungi kontrakanku.

Di kontrakanku, biasanya kami hanya menonton film, memasak bersama, makan bersama. Kadang Ia tertidur di pangkuanku, atau aku tidur di pangkuannya, tapi tidak seperti hari ini. Ini sesuatu yang lebih, yang belum pernah kami lalukan sebelumnya. Kami sama-sama masih perawan, dan kami rasa, inilah saatnya merayakan cinta setelah memperjuangkannya selama 3 tahun. Dengan berhubungan seks. 24 jam nonstop. Dan kami tidak akan berhenti andaikan kemaluan kami berdua tidak lecet dan lebam.

“Tak usah kuceritakan padamu bagaimana aku bercinta dengannya, karena aku merasa siap mati seusai kami bercinta.”

“Maksudmu?” Tanya Dev, sambil tetap mengunyah jagung. Saat itu, aku melihat sebutir jagung menempel di pipi Dev yang bulat seperti bakpao.

“Maksudku, setelah melakukan seks dengannya, Aku seakan tak lagi memiliki keinginan, apalagi mimpi. Rasanya aku sudah cukup menikmati hidup ini.”

Dev diam, tidak menanggapiku.

“Oke, jagungku sudah habis. Kurasa ini saatnya kita naik.”

“Harusnya aku yang menentukan kita naik atau belum. Tapi tak apalah, ayo kita naik sekarang.” Jawabku sambil menyunggingkan senyum.

Di perjalanan naik ke puncak bukit. Dev berjalan di depanku. Ia masih muda, dan seakan ingin terus berlari hingga tiba di puncak Becucu. Sementara aku hanya berjalan pelan. Kadang aku memaksa Dev berhenti, selain untuk beristirahat, aku juga ingin menikmati perjalanan, memandang panorama bukit lain, bukan hanya memandang pantat Dev yang mirip galon air.

“Aku ingin segera sampai ke puncak.”

“Aku tahu, tapi aku sudah tua.”

“Kau masih seperti om om, belum terlalu tua.”

“Meski begitu, aku seumuran bapakmu.”

Aku cuma bisa mengunjungi rumahku seminggu sekali. Rumah mungil dengan pekarangan yang rumputnya cukup lebat. Tapi karena aku merasa memiliki rumah itu. Aku tidak hanya singgah untuk tidur dan menikmati kenyamanan. Aku turut serta merawat rumah. Memangkas rumput. Membersihkan cat yang mengelupas. Bahkan aku membayar tukang cukup mahal, untuk mengecatnya agar terlihat baru. Meski Ia tak mau aku merawat rumah. Meski pada akhirnya Ia selalu mengembalikan semua biaya perawatan rumah, karena baginya aku cukup mencicil pembayaran rumah. Ia mengaku, sudah melihat aku merasa nyaman. Atau bisa tidur seharian. Namun, karena keras kepala, aku ingin ikut merawatnya, rumah mungil yang seminggu kutinggal selalu sudah berdebu dan rusuh.

Di puncak bukit Becucu, kami melihat bintang pijarnya mulai tertutup birunya langit. Matahari amat bulat dan sinarnya lama-lama menyengat. Burung-burung mulai berkicau dan bunga-bunga di sekitar puncak bukit mulai terlihat. Bunga-bunga kecil yang terhampar luas membuat pagi ini tidak hanya berwarna hitam, ungu, biru dan putih. Dan aku melihat sesuatu yang lebih indah. Dev tersenyum.

“Daripada diam, apa tak lebih baik kau lanjutkan ceritamu?”

“Cerita apalagi?”

“Cerita tentang kekasihmu itu, yang pernah bersamamu naik ke puncak Becucu.”

“Kau salah. Ia tidak sempat kesini.”

Pada akhirnya Ia datang. Orang ketiga yang tak ingin kau hadapi. Merebut kekasihmu, meski kau tahu Ia tak lebih baik darimu.

Lama-lama kami bosan dengan kegiatan kami di akhir pekan. Dua orang yang bergumul seharian. Dan pada akhirnya kami sama-sama tahu hubungan ini tidak bisa dilanjutkan. Orang tuanya menelepon, bulan depan Ia harus menikah dengan calon pililhan mereka. Kali ini Ia sudah tak dapat menolak. Usianya sudah dua puluh delapan tahun, dan dari kecil Ia sudah dicuci otaknya agar selalu membawa nama baik keluarga.

Keluarganya di desa sudah amat malu anak perempuan sulungnya belum menikah. Orang tuanya bahkan menyuruh saudara mereka di Jakarta untuk memantau kemana Ia pergi. Orang tuanya mulai curiga, kalua setiap akhir pekan ia datang ke kontrakanku.

Aku masih ingat, itu adalah hari minggu terakhir Ia berkunjung ke kontrakanku. Saat itu aku meminta sedikit waktu lagi, karena aku sudah mencicil rumah dan mobil dan biaya pernikahan. Namun, ia tetap bersikeras untuk berpisah. Bagaimanapun aku berusaha, aku bukanlah dari keluarga kaya atau keturunan bangsawan. Aku tetap anak dari ibuku yang cuma guru SD dan ayahku yang cuma pegawai kelurahan.

Ia keluar dari rumahku sambil menangis. Saat itu matahari seakan ingin membakar bumi, dan air matanya tetap berurai. Andaikan saat itu hujan, pasti sangat dramatis. Tapi siang itu ia pergi saat tengah hari, saat yang sama ketika pertama kali aku aku bercinta dengannya.

Setelah Ia pergi, aku tak pernah menghubunginya lagi, tak pernah bertemu dengannya lagi. Itu karena pesan yang ia kirimkan ke ponselku di hari pernikahannya –Aku tahu itu adalah hari pernikahannya karena beberapa temanku datang ke pernikahannya dan mengirimiku foto kekasihku dan suaminya sedang beruda di pelaminan. Kau tahu, lelaki itu bertubuh bulat, gemuk, pendek, dan kumisan. Kau tentu sedih kekasihmu menikah dengan orang lain, tapi lebih sedih lagi karena Ia lebih jelek darimu, tapi berapapun penyesalan yang kau punya, tetap tak bisa mengembalikan kekasihmu, dan penyesalanmu tak sebanding dengan jumlah harta yang dimiliki orang jelek itu –,beginilah pesannya: “Aku mengandung anakmu. Aku akan membesarkannya dengan baik. Kumohon jangan menghubungiku lagi. Jangan mengganggu keluargaku lagi.”

“Jadi kau punya anak?” Tanya Dev kaget.

“Iya. Mungkin sekarang Ia seumuran denganmu.”

“Kau pernah bertemu dengannya?”

“Tidak pernah. Aku hanya mencoba memenuhi janjiku, agar tidak mengusik keluarganya.”

“Kau bodoh.”

“Dan menurut orang bodoh ini, kita lebih baik pulang sekarang, sebelum kau mulai mengantuk atau malah tertidur.”

“Apa kau tidak bisa memesan helikopter untuk menjemput kita?”

“Kau terlalu banyak melihat film. Sudahlah, kau kutinggal saja.” Aku meninggalkannya yang masih berbaring di atas rumput basah. Dev menguap, dan tidak lama kemudian menyusulku.

Sepulang dari puncak Becucu, Dev singgah di vila milikku. Kami tertidur di atas karpet, di depan layar televisi, setelah menghabiskan dua mangkuk mie instan. Aku terbangun lebih dulu, dan ketika kulihat jam, sudah pukul Sembilan malam. Saat itu, tanganku sudah pegal, tapi aku masih ingin memeluknya.

“Gab, sudah jam berapa?” Dev tiba-tiba terbangun.

“Jam Sembilan.”

“Hei, kau membenamkan wajahmu diantara payudaraku, kenapa tidak kau gigit sekalian. Tidak apa-apa, kok.”

“Bukankah menurutmu, laki-laki atau perempuan sama saja?”

“Iya, memang. Aku tidak bisa merasakan afeksi dari kedua jenis manusia itu”

“Lalu kenapa kau menyuruhku sekalian menggigit payudaramu?”

“Ya karena sama saja, maka ketika kau bersenggama denganmu pun aku tak akan merasakan apa-apa. Bukankah itu alasanmu meminta waktuku 24 jam.”

“Apa puncak rasa sayang harus dengan seks?”

“Lalu”

“Aku hanya ingin dekat denganmu. Sedekat itu. Seperti merasakan kulitku adalah kulitmu dan darahku adalah darahmu.”

Dev diam beberapa saat.

“Aku setuju. Kau memang cerdas, cocok jadi dosen.”

“Bukankah aku memang dosenmu?” aku menghela napas lalu melanjutkan, “Alasanku meminta waktumu seharian ini karena, dahulu, saat aku berumur tiga puluh tahun, ada berita di media masa tentang generasi milenial yang tidak akan memiliki rumah. Bagiku itu tepat. Karena hidup orang-orang di generasiku sudah sangat terbantu teknologi, mereka memiliki waktu luang lebih, sementara di saat yang sama mereka haus tantangan. Mereka ingin jadi pengembara. Jadi mereka tidak mungkin memiliki rumah. Mereka butuh orang sepertimu, menyediakan rumah sementara.”

“Jadi kau anggap aku ini apa?”

-Selesai-

--

--

Omah Aksara
Omah Aksara

Komunitas Menulis yang berbasis di Yogyakarta. Beralih dari akun @omahaksara