Cinta yang Lama Kunanti

wowot hk
Omah Aksara
Published in
4 min readMar 20, 2019
sumber

Semoga yang tercinta dari yang kucinta baik-baik saja. Kami akan selalu menunggumu, istriku.

Aku dilahirkan di sebuah pekarangan sepi. Barangkali di sebelah kandang babi, sebab yang seingatku aku menangis karena terlalu bau. Ibuku mengalami pendarahan hebat. Ia sempat menjerit sebelum mukanya berubah memucat dan kemudian terdiam lalu matanya menutup. Ia mati.

Kedua tangan dan kaki ibuku terikat pada sebuah tiang. Aku tak mengerti kenapa ibu dan kelahiranku sedemikian mengenaskan. Video ini hanya menampilkan sedikit dari banyak cerita yang ingin kumengerti. Paman bercerita bahwa ayahku sempat membuat video itu sebelum ia pergi. Ia hanya menitipkan sebuah kaset kepada pamanku dan sejak saat itu tidak ada yang tahu keberadaanya.

Barangkali seharusnya aku mati. Orang tuaku meninggalkanku. Aku hanya ditinggal di kandang babi, di samping ibuku yang tewas dan sejumlah hal yang tidak dapat kumengerti.

Sore itu paman memilih meninggalkanku. Ia tidak mau menonton bersama atau juga sekadar bercerita tentang asal muasal video itu. Dalam kaset itu hanya ada sebuah label, dari ayahmu tahun 1965.

Kini aku telah berusia tiga puluh lima tahun. Anakku dua tapi si sulung telah mati dua tahun lalu. Tiada yang tahu kebenaran tentang kematiannya. Semua hanya mengerti ia mati karena tersedak biji kelengkeng. Tidak ada yang tahu saat itu ia bergandengan dengan seorang wanita. Ia diajak bermain hingga aku merasa tidak dapat bergerak. Aku baru sadar ia telah mati, setelah orang-orang berkerumun di hadapanku. Aku pingsan.

Kini si bungsu tengah terbaring di kamar 112 di rumah sakit Harapan Jiwa. Istriku menunggunya setiap saat dan bila ada yang datang menjenguk ia akan menangis. Ia tampak trauma. Ia tentu tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Menyedihkan. Ia tampak kehilangan harapan. Aku khawatir, apalagi kejadian serupa anak pertamaku telah terjadi. Aku sudah tiga kali dihampiri wanita itu. Di dalam mimpi yang selalu sama itu, wanita itu bersama anak sulungku. Si sulung sempat menyapaku. “Apa kabar?” katanya. Namun aku tak dapat menjawab apa pun. “Ayah, aku kangen dengan adek.”

Si bungsu telah genap empat hari koma. Ia mengidap penyakit aneh. Dokter bilang ini penyakit langka. Harusnya ini hanya demam biasa dan tidak menyebabkan koma. Saat ditanya kenapa dengan si bungsu, istriku hanya bilang ia pulang sekolah, meraih permen di meja dan terjatuh.

Semalam aku bermimpi kembali. Wanita itu menghampiriku. Ia seperti mengungkapkan sesuatu, namun aku tidak dapat memahaminya. Kiranya itu berjalan cukup panjang sampai kemudian pamanku muncul. Ia membuka pintu dan seketika wanita itu pun menghilang.

Di ruang tunggu rumah sakit.

“Bagaimana putramu?” tanya Paman.

“Belum juga bangun, Paman.”

“Sakit apa dia?”

“Dokter bilang dia demam,” jawabku murung. “Tapi, entahlah. Ini terlalu aneh bagiku.”

“Adakah dia diguna-guna?”

“Maksud, Paman?”

“Apakah dia diganggu makhluk-makhluk tertentu?”

“Mungkin begitu? Apa gejalanya?”

“Aku juga tidak tahu.”

“Tapi, kemarin aku bermimpi.”

“Apa?”

“Seorang wanita dan si sulung.”

“Bagaimana ceritanya?”

“Si sulung hanya bilang kangen.”

Sore itu aku berkunjung ke rumah paman. Bibi dan sepupu tampak tidak berada di rumah. Rumah dengan desain bangunan lawas ini tampak begitu seram tatkala di rumah ini begitu sepi. Konon dulu ini adalah rumah para pejabat pribumi yang dekat dengan Belanda. Kakekku membelinya dari cucunya yang waktu itu tertangkap Jepang. Di sinilah paman dan ibuku serta adiknya, menghabiskan masa kecil. Di sini pulalah, katanya, aku dilahirkan. Tapi entah lah. Aku tidak pernah yakin pernah dilahirkan di sini. Aku tidak pernah tahu siapa ibuku. Hanya cerita paman dan aku tidak pernah mengerti kenapa pula keluarga yang bisa dibilang kaya tidak memiliki foto sama sekali.

Aku pernah bertanya, seperti apakah ibu dan ayahku? miripkah dengan aku atau juga kedua anakku? Tapi ia tidak menjawab dengan jelas. Ia hanya selalu bilang tentunya begitu. Bagaimanapun kau adalah manusia normal. Dilahirkan dari ibu dan memiliki seorang ayah. Cukup.

Ia menghampiriku dengan dua cangkir kopi.

“Minumlah,” katanya. “Kau tampak kacau.”

Aku mengangguk pelan. Barangkali ia sudah cukup muak dengan mukaku hari ini. Ia meninggalkanku. Cukup lama dan aku tidak bermaksud untuk mencarinya.

Dua puluh menit kemudian ia kembali. Ia menenteng sebuah album foto dan satu kaset lusuh. Baru kali ini aku tahu bahwa ia memiliki album foto. Aku cukup berdebar.

“Nih, kau mungkin perlu melihatnya.”

Aku pun membukanya. Satu keluarga berjejer di sebelah delman. Dua wanita, empat pria dengan kumis dan baju ala kompeni. Terdapat pula foto paman semasa kecil sedang bermain dengan seorang perempuan.

“Siapa?” tanyaku.

“Ibumu.”

Air mataku mengalir. Aku terus membuka album dan menemukan sebuah foto yang serupa dengan wanita yang kutemui di mimpi.

Sore itu aku akhirnya mengetahui siapa ibuku. Setelah aku bangun dari pingsan, aku menonton kaset yang dibawa paman. Dalam kengerian itu paman telah meninggalkanku. Aku tak mengerti hingga akhirnya aku menemukan tubuhku telah terbaring di sebelah ruang tamu.

Aku melihat keluar, kutemukan ibu dan dua anak-anakku. Mereka melambaikan tangan dan aku menghampiri mereka. Kini suara mereka lebih jelas. Aku bahkan dapat berbicara dengan mereka dan kini aku merasakan apa yang salama ini kucari: cinta.

--

--