Halusinasi

Khatmil Iman
Omah Aksara
Published in
2 min readMar 30, 2019
sumber

Deny, atau Den begitu saja, seperti sapaan teman-teman kepadanya, sebelum terpenjara di gedung rehab adalah seorang peselancar profesional. Lokal maupun nasional dan hampir menyentuh internasional. Menurut cerita yang pernah menjenguknya, Den semakin tak waras, dia bicara tak tentu maksud dan ketika dibantu mengembalikan fokusnya dia malah semakin berhalusinasi. “Kau melihatnya?” tanyanya tiba-tiba, menunjuk seorang perawat perempuan dengan matanya. “Dia adalah polisi yang sedang menyamar. Cepat kabur — sebelum dia menangkapmu — lewat pintu belakang. Berlagaklah kebelet pipis. Ingat, pintu belakang, pintu darurat. Kalau tidak, dia akan mencegatmu di lobby.” Katanya lirih. Beberapa teman akan balik arah, serta-merta menurutinya pulang menuju pintu belakang agar tak membuatnya lebih gila. Sebagian lain, yang membencinya, akan menggodanya. “Bukan, dia bukan polisi. Dia malaikat pencabut nyawa.” Seketika Den meloncat dari duduknya kemudian berlari tak tentu arah. Dia takut malaikat pencabut nyawa.

Malaikat itu pertama kali datang saat pertama kali Den ditinggal pacarnya, saat Den menenggak satu strip obat sekaligus didorong anggur merah diselingi isapan ganja. Dia mencoba tidak tidur, menikmati efek melayang, serta mengunyah rasa perih ditinggalkan. Hampir tiga hari dia tetap terjaga. Pandangannya mengabur. Matanya pedih. Dia kira akan segera mati setelah berhadapan dengan tubuh yang dibalut kain hitam yang membawa palu godam seberat lima kilogram — yang sedia setiap saat menghantam batok kepalanya. Saat itu waktu berjalan lambat, dia merasa seharian penuh di ambang batas hidup dan mati. Di pojok ruangan, Den meringkuk, keringat dingin mengaliri sekujur tubuhnya. Dia tidak takut mati, hanya saja, mengarungi waktu imajiner 24 jam bersama malaikat pencabut nyawa amat menyeramkan.

Di kamarnya, Den berdiri di atas papan, sedikit membungkuk seolah menghindari gulungan ombak di atasnya. Dia selalu ingin kembali meluncur. Dia rindu semua hal tentangnya. Membelah kerumunan penonton dan penggemarnya, menggosokkan lilin, berenang ke tengah, menunggu ombak besar dan seketika berdiri setelah mendapatkannya. Di atas podium dia mengangkat trofi seraya menyibakkan rambut gondrongnya yang lengket ke belakang. Esok hari, reporter majalah olahraga akan datang dan mewawancarainya. Tetapi, semua itu tak akan terjadi, kecuali hanya halusinasi setelah dia menenggak obat rehab dengan dosis yang lebih tinggi.

Oleh karenanya, setiap kali Den merasa dirinya gagal, dia akan selalu dan selalu menyalahkan mantan pacarnya. “Bajingan! Bajingan! Bajingan! Anjing! Babi!” umpat Den, yang kemudian dibalas oleh suara dari kepalanya sendiri, suara yang mirip dengan mantan pacarnya, mantan pacarnya yang tak pernah tahu rasa derita halusinasi bersama malaikat pencabut nyawa: maafkan aku.

--

--