Ibu, Pustaka, dan Klithih

Omah Aksara
Omah Aksara
Published in
4 min readJan 18, 2019

--

(Boedi Poerwanti)

sumber

Pustaka pertama adalah ibu, semua mengetahuinya. Namun sejauh mana peran ibu bagi tumbuh kembang anak sampai mereka dewasa kelak? Kebetulan di penghujung Desember lalu saya berkesempatan membaca buku karya Naning Pranoto. Dengan judul Berguru Pada Empu Kata-kata, Penerbit Kosa Kata Kita, Jakarta 2015.

Berikut sebagian isi buku tersebut yang seyogyanya kita simak, bukti sejarah dari perhatian keluarga berbuah generasi penuh makna. Dikaitkan dengan peran ibu/guru, perpustakaan yang tumbuh di berbagai tempat dan klithih yang membuat iba semua orang tua. Peran keluarga sangat besar dalam perjalanan pembentukan karakter anak bangsa.

Siapa yang tidak kenal NH. Dini(1935)? Ia menjadi pengarang berkat ibunya yang suka mendongeng. Dini kecil sangat menikmati apa yang di dengar dari ibunya, tapi tidak mau melisankannya. Ia tulis apa yang ingin di ekspresikan dan di ungkapkan. Itu ia lakukan sejak Sekolah Rakyat yang setara SD.

Lain lagi kisah tentang Ahmad Tohari(13 Juni 1948), yang hobi membaca sejak SD. Saat SMP beliau aktif mengisi majalah dinding atas dorongan ibu guru. Menurut beliau sastra merupakan salah satu pilar pengembangan karakter bangsa sehingga mutlak perlu dibina, dikembangkan dan diberdayakan. Saat ini pemerintah agak mengabaikan kehidupan sastra, suatu hal yang sesungguhnya merugikan bangsa ini.

Beda pula tentang Free Hearty, perempuan cantik kelahiran Kutacane Aceh. Ia mulai menulis sejak kelas 5 SD. Mendapatkan guru-guru yang kreatif. Anak-anak dibebaskan mencari ide cerita yang akan ditulisnya. Menulis dengan senang hati, tidak ada paksaan. Pelajaran mengarang jadi menyenangkan. Menulis membuat cerdas dan sehat.

Sedangkan kali ini anak ibu banget: Suminto A. Sayuti, dekat sekali dengan ibu. Banyak belajar tentang alam untuk memahami kesejatian hidup dari ibunya. Jejak masa kanak-kanaknya ini yang membuatnya merasa aman dan damai dalam dekapan alam. Seperti yang dipaparkan beliau, “saya belajar dari ibu saya tentang falsafah pucuk daun. Waktu itu di rumah saya tumbuh pohon sirih juga bayam. Ibu saya selalu mothes( memotong pucuk daun dengan tangan). Memangkas pucuk daun dan ternyata justru membuat daun-daunnya tumbuh rimbun. Jadi jangan takut dipothes, jika hebat akan meroket. Tak perlu ragu, maju terus.”

Bagaimana dengan suasana rumah Siti Zainon Ismail? Ia mulai menulis sejak masuk SD tahun 1960an. Sejak masih kanak-kanak akrab dengan buku. Rumah penuh dengan kitab, Al Quran dan buku-buku tulisan tangan. Menulis berumah di dalam jiwa dan pikirannya. Faktor keluarga sangat mendukung.

Menulis bagi Dewi Anggraeni, membuka telinga dan jendela batin. Menulis itu jadi psikoterapi diri. Tertarik menulis sejak mulai pandai membaca. Suasana keluarga membawanya gemar menulis sejak masih kanak-kanak.

Lalu bagaimana dengan Helvy Tiana Rosa(2 April 1970)? Yang berguru pada nafas optimisme dan aksara ibu. Setiap hari ibunya menulis diary serta gemar mendongeng. Ibu HTR adalah tipe perempuan optimis yang mampu memotivasi anak-anaknya, bahwa hidup itu indah, maka harus disyukuri dan dimaknai. Proses motivasi yang disampaikan dengan cara kreatif, melalui dongeng pengantar tidur anak-anaknya setiap malam. HTR mewarisi nilai-nilai positif ibunya. Baginya itu kunci sukses. Ia menjadi sosok HTR yang banyak diidolakan para pengarang muda.

Bagaimana pula pengalaman Zaenal Fanani? Beliau memetik inspirasi buah menyalin kitab-kitab tugas dari seorang Kyai. Mulai tertarik menulis sejak SD karena gemar membaca. Terdorong saran Kyai yang selalu menekankan para muridnya untuk menulis, yaitu menyalin kitab-kitab — meskipun kitab-kitab itu bisa dibeli di toko. Beliau menyalinnya, menggunakan tinta cina gosok yang membuat tulisan bertahan puluhan tahun tanpa berubah kabur. Alasan beliau, tulisan tangan kita, ya apa yang kami salin itu nantinya bisa dibaca oleh anak cucu.

Kali ini yang berperan bukan ibu tetapi ayah. Afifah Afra, mulai gemar menulis dan membaca sejak usia dini di bangku SD. Terinspirasi dari ayahnya yang seorang guru dan suka mendongeng. Ternyata dongeng positif di waktu kecil akan sangat membekas, berkesan dan dapat menginspirasi dikemudian hari.

Kisah haru Mashdar Zaenal, terasa indah bisa membuatkan kamar mandi untuk ibu dari hasil menguntai kata. Tahun 2010 karya Mashdar terpilih sebagai pemenang kedua sebuah lomba, menyingkirkan sekitar 5.000 judul cerpen pesaingnya. Rengkuh kasih sayang keluarga tercermin dari apa yang dilakukannya. Saat mendapat rezeki, tidak untuk diri sendiri. Namun untuk memuliakan ibu, kamar mandi baru sebagai persembahan istimewanya.

Pasti kita masih ingat Ahmad Fuadi, penulis novel Lima Menara. Masuk pondok pesantren Gontor seperti yang diinginkan ibu. Saya awalnya menulis buku harian, ketika kelas 1 MTsN, gara-gara melihat ibu saya suka menulis di sebuah buku yang bertuliskan, “Diary” dan “Agenda”. Demikian papar Ahmad Fuadi. Mengikuti kebiasaan ibunya.

Kesimpulannya mereka tumbuh karena inspirasi yang didapat sejak masih belia. Baik dari ibu, keluarga maupun guru di sekolah dan lingkungan yang mendukung, tumbuh berkembang mengasah kesejatian berfikir positif. Tidak mudah terbawa arus untuk hal yang tak semestinya.

Pahat memori perilaku positif agar terpatri di sanubari remaja. Tugas mulia para ibu, guru dan siapapun kaum pemerhati dalam menanamkan nilai-nilai luhur sejak dini. Nantinya klithih akan berganti menjadi sikap remaja dengan keluhuran budi pekerti. Jadi teringat mata pelajaran budi pekerti di sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Menurut Ki Hajar Dewantara mata pelajaran budi pekerti adalah mapel yang wajib ada.

Ibu sebagai pustaka pertama dan utama itu pasti. Sebelum anak terkontaminasi pergaulan yang tidak semestinya. Lalu bagaimana peran perpustakaan yang berada di ibu kota, kabupaten, sampai ke perpustakaan desa? Sudahkah perpustakaan berfungsi sebagai tempat rekreasi dan ajang edukasi? Perlu ditingkatkan lagi gaungnya. Kegiatan yang ada disesuaikan dengan longgarnya waktu para pengunjung perpustakaan.

Misal saat pemutaran film pengunjungnya hanya sedikit karena mereka yang ingin datang ke perpustakaan masih jam sekolah dan jam kerja. Ini pengalaman penulis saat melihat film dokumenter di perpustakaan pusat DIY yang dulu berada di kawasan Malioboro dan sekarang berada di daerah Janti. Mungkin bisa bekerja sama dengan sekolah untuk acara-acara tertentu. Agar masyarakat sampai pelosok desa mengenal Perpustakaan di kotanya.

Semoga dengan budaya baca dan menulis membuat generasi muda berkembang penuh kasih sayang, menjaga lingkungan dan melindungi sesamanya. Nama-nama besar diatas sudah membuktikannya. Membaca dan menulis menghasilkan karya sastra yang melembutkan jiwa anak bangsa. Salam pustaka. Salam literasi.

--

--

Omah Aksara
Omah Aksara

Komunitas Menulis yang berbasis di Yogyakarta. Beralih dari akun @omahaksara