Kapan Terakhir Kali Kau Bercerita?

Khatmil Iman
Omah Aksara
Published in
3 min readJan 4, 2019
sumber

Pesan What’s App:

Selamat siang, menurut info di IG anda menjual kucing?

Benar. Ada beberapa varietas. Anggora, persia, atau kampung juga ada. Kami toko kucing paling lengkap di ibukota.

Apapun, aku tak perduli. Syaratnya hanya satu, dia bisa menjadi teman ceritaku. Itu saja.

Tentu saja ada. Namanya Thomas, umurnya 2 bulan. Sebulan lagi dia siap dipelihara, dan anda bisa bercerita apapun atau kapanpun anda mau. Memang, harganya jauh lebih mahal dari biasanya. Tapi Thomas spesial.

Tidak masalah, aku punya banyak uang. Saya segera kesana untuk mengeceknya.

Tak lebih dari sejam Deby tiba di toko kucing itu. Toko kucing paling lengkap di ibukota. Ia bertemu empunya toko, Daniel sang pecinta kucing, yang berawal dari hobi kemudian menjadi sebuah pekerjaan. Bukankah kebahagiaan melakoni hobi yang dibayar, katanya suatu kali. “Ini dia Thomas,” kata Daniel, menunjuk satu kandang istimewa yang ia letakkan sendirian di antara puluhan kandang berjejer yang lebih nampak seperti panti asuhan. “Sebulan lalu ia begitu saja datang padaku, dalam kondisi menyedihkan. Ia kelaparan, tapi perutnya membesar. Dan bulunya yang putih bercorak hitam, hampir berubah benar-benar hitam. Seperti usai selamat dari hisapan lumpur.” Deby tak bergeming. Akhir-akhir ini ia menjadi pendiam, entah mengapa. Ia hanya bicara ketika kalimat yang keluar dari mulutnya amat penting. “Maaf, bukannya meragukan. Tapi bagaimana bisa membuktikan ia bisa menjadi teman ceritaku?” tanya Deby. “Maaf juga, kali ini tidak bisa. Kau tahu ia sedang tidur.” Deby mengangguk. “Dokter baru saja memberinya vaksin. Kami tak mau kucing atau mungkin pelanggan terserang penyakit. Sudah SOP kami. Namun terkadang tubuh kucing bereaksi dengan meninggikan suhu. Itu yang terjadi padanya. Maka yang diinginkan Thomas saat ini hanyalah tidur sepanjang hari.” Deby mengangguk lagi, namun raut wajahnya seperti menyiratkan: oke, kalau memang tidak bisa dibuktikan aku akan pulang. Aku tak butuh semua omong kosong ini. “Jangan khawatir. Aku tak mungkin salah. Aku sudah melakukan hal ini puluhan tahun.” Kata Daniel, mencegah pelanggannya pulang dengan cepat tanpa membawa apapun dari dalam tokonya, seperti seorang peramal berdasarkan raut wajah. Lalu dia melanjutkan, “sebenarnya Thomas teman bermain anakku. Setiap pulang sekolah gadis kecilku langsung mencari Thomas, bahkan tanpa berganti pakaian terlebih dulu, yang selalu membuat ibunya cerewet ini-itu. Kemudian anakku akan membawanya bermain di halaman belakang rumah kami. Dan Thomas sangat suka bermain kursi berputar. Anakku akan duduk memutar setirnya, sedangkan Thomas akan berlari berlawanan dengan arah putarannya. Setelah itu, anakku akan menertawakan Thomas yang berjalan sempoyongan. Mungkin saja, kalau Thomas adalah manusia maka ia akan menghisap ganja, getting high.” Daniel tertawa, tetapi volumenya kian mengecil, sebab Deby hanya mengangguk dan mengangguk dan mengangguk. Kemudian Deby bersedekap. Itu teman bermain, bukan teman cerita, bodoh. Deby ingin mengatakannya, tapi ia coba bersabar. “Lalu kenapa kau menjualnya? Bukankah hanya akan membuat anakmu menangis setiap hari?” Tanya Deby. Tanpa jeda lama, Daniel menjawab, “ceritaku belum usai. Biarkan aku melanjutkan,” suara Daniel lebih tenang dibanding sebelumnya, “Thomas biasanya tidur dengan anakku. Sebuah permintaan gadis kecil yang tak baik untuk menolaknya. Permintaan lainnya adalah, mendongeng. Inilah yang kumaksud, setiap kali aku mendongeng, aku melihat wajah Thomas. Mataku tak beralih darinya. Seperti terpaku. Kenapa? Karena dia juga melihatku. Seolah dia mendengarkan ceritaku, atau bahkan mengerti ceritaku. Bukankah itu yang kau butuhkan? Aku tanya padamu, kapan terakhir kali kau bercerita?” Deby terdiam. Hanya terdiam. Keadaan itu terjadi hampir satu menit, mereka menjadi canggung, masing-masing ragu untuk mengatakan sesuatu. Tapi kemudian Daniel bernisiatif, “maaf jika — ”

“Oh, tidak. Tidak ada masalah. Aku akan memberimu uang sebagai tanda jadi aku akan memilikinya. Terimakasih.”

“Oh, ya, ya. Baiklah.”

--

--