Komunitas Omah Aksara dan Sebentuk Geliat Sastra di Yogyakarta

Omah Aksara
Omah Aksara
Published in
3 min readJan 2, 2019
Membaca Eka, Syini Kopi, 26 Desember 2018

Di tengah budaya milenial kekinian, geliat kesusastraan seolah tak berhenti detak dan denyutnya. Komunitas-komunitas penyair, penulis, pegiat teater masih aktif berkreasi.

“Ada yang sampai kapanpun tidak akan mungkin digantikan oleh AI (artificial intelligence) yang marak digunakan media-media sejak beberapa tahun belakangan,” kata Khatmil Mamen, salah satu anggota OA, “yakni fiksi : cerpen, fiksi flash, atau novel.”

Semangat itulah yang melatarbelakangi berdirinya Omah Aksara, salah satu komunitas menulis yang terbuka bagi siapa saja.

“Asal suka membaca dan menulis,” kata Rudi Sarwiyana, member OA. Sejak berdirinya OA tahun 2013, beberapa lomba lokal seperti Bulan Bahasa dan Festival Sastra UGM pernah dimenangkan. Dimuat dalam beberapa buku antologi atau media daring setempat. Sedangkan karya atau produk OA kini bisa dinikmati khalayak melalui media daring ( website www.cuap.in , juga akun medium Omah Aksara ) maupun cetak ( buletin Macapat Syafaat ), serta melalui diskusi pekanan rutin yang diadakan setiap Rabu Malam.

Berikut sedikit rangkuman diskusi Rabu Malam membahas warna karya Eka Kurniawan sebagai salah satu metode alternatif dalam mengawali langkah kawan-kawan kepenulisan, dibersamai oleh Titis Anggalih.

Mengapa dimulai dengan “membaca”?

Metode memulai belajar menulis fiksi tentunya ada banyak dan hal tersebuk baik. Sebagai contoh, dalam pengalaman saya, membaca warna tulisan penulis besar bisa dibilang cukup efektif, dalam hal ini membaca warna karya Eka Kurniawan.

Dengan membaca, ibarat menemukan poin penting dalam sebuah perjalanan, yakni arah jalan. Ibaratnya, akan ke mana tujuan, pola, perkembangan, kreatifitas, tolok ukur, dan gaya tulisan menjadi lebih jelas. Saya jadi memiliki gambaran dan gambaran itu penting. Jika tidak ada tujuan, tentunya kita tidak akan sampai di manapun.

Dan menariknya, tujuan selalu bisa diperbarui.

Apa yang dimaksud dengan “membaca Eka”?

Bukan menerawang (hehe). Maksud saya, dengan dimulai dari membaca seluruh kumpulan cerpen dan novel Eka, tidak mungkin kita tidak mendapat apa-apa. Dari membaca karya cetaknya saja, kita turut memahami perkembangan tulisan Eka. Warna karya Eka dalam Corat-coret Di Toilet (yang bisa dibilang sebagai karya-karya mula Eka) terntu berbeda dengan Cantik Itu Luka, misalnya. Nah, perubahan dan perbedaan inilah yang bisa kita jadikan acuan, syukur-syukur kita terapkan dalam perjalanan menulis kita.

Banyak sebenarnya, tidak hanya dari gaya bahasa, namun juga idiom, “kegenitan-kegenitan” kalimat, hidup tidaknya dialog, mengalir tidaknya cerita, metafora, dan sebagainya. Pasti berkembang.

Mengapa Eka Kurniawan?

Indonesia memiliki penulis-penulis hebat dengan kedalaman wawasan atau khazanahnya masing-masing, dan hal tersebut tidak bisa diperbandingkan mana penulis yang lebih baik antara satu dengan lainnya. Seperti vitamin A kan tidak bisa dibandingkan dengan vitamin C, karena fungsinya berbeda.

Saya sendiri memilih menjadikan Eka sebagai awalan karena saya suka dengan kelugasan penceritaannya (rasa suka ini penting sehingga ketika menjalaninya lebih tulus), terutama dalam Cantik Itu Luka, yang menurut saya masih merupakan masterpiece Eka Kurniawan. Alurnya padat namun tidak tanggung, serta banyak kesegaran atau spontanitas yang ditawarkan, lumayan berbeda dengan O.

Juga yang saya dapati lainnya dari Eka adalah mentalitas berani mencoba yang spontan. Warna tulisan Eka lahir di tengah gaya nafas sastra lama yang awalnya dianggap sebelah mata. Cukup berani tampil beda. Lainnya mendayu-dayu, Eka berani blak-blakan. Seolah terjadi gradasi warna gaya tulisan lawas. Ia mengawali jenis-jenis tulisan baru dan segar lainnya. Top lah.

Bagaimana membaca sebuah karya bisa membantu langkah kita?

Dengan fokus menekuni perjalanan seorang penulis, peta tujuan kita memiliki role model yang kita sukai. Ini lebih cepat daripada trial and error. Selain itu kemampuan kita mengidentifikasi warna dan rasa tulisan ikut terasah (jangan kaget kalau kita jadi bisa membedakan warna tulisan penulis lainnya atau bahkan siapa penulis yang mempengaruhinya).

Dan dengan membaca Eka artinya justru tidak akan berhenti di Eka. Maksud saya, dalam perjalanannya, kita dijadikan tahu siapa saja penulis lain yang menjadikan Eka sebagai Eka saat ini. Bisa jadi Edgar Keret atau Pram, nah siapa yang berpengaruh bagi Eka ini yang kita kejar selanjutnya (apalagi Eka rajin mereview buku apa saja yang ia baca dalam blog pribadinya). Belajarnya jadi tidak berhenti.

Apakah belajar Eka akan menjadikan kita peniru gaya Eka?

Sebagai pemula, meniru adalah keniscayaan. Bocah belajar bicara dan berjalan dengan meniru orang dewasa, namun pada perkembangannya, si bocah menemukan jati dirinya sendiri. Semua tergantung pribadi penulis, kalau mau jadi peniru ya bisa, mau dijadikan jalan menemukan gaya tulisannya sendiri lebih bisa, saya kira.**

--

--

Omah Aksara
Omah Aksara

Komunitas Menulis yang berbasis di Yogyakarta. Beralih dari akun @omahaksara