Lima Cara Keluar Dari Agama Atau Demikianlah Cara Bertemu Tuhan

Omah Aksara
Omah Aksara
Published in
3 min readDec 19, 2018
sumber di sini

Oleh : affixmareta

Kalau agama hanya diartikan sebagai ajaran, atau sistem yang mengatur tata cara peribadatan. Ada lima cara keluar dari agama, mirip lima cara kami keluar dari pasar. Pasar yang penuh dengan penjual baju yang mirip dengan ustaz-ustaz yang menjual ayat-ayat agama untuk kepentingan pribadi dan golongan. Demikianlah yang saya pikirkan ketika berada di dalam pesawat dari jakarta ke yogyakarta. Sebelumnya kami bersepuluh menaiki mobil dari pasar baju menuju bandara dengan agak ngebut karena mengejar jadwal penerbangan pukul enam sore.

Kami harus menembus kemacetan panjang di hari sabtu itu. Jam lima kami harus check in di bandara. Melihat jalan tol yang ramai kami agak was-was. Tak heran ketika masih di pasar tadi, tatapan supir mobil sedingin malaikat izrail yang tak peduli kami terlambat naik pesawat atau tidak, dia hanya peduli bahwa dirinya disewa untuk menyupir mobil. Selebihnya itu urusan kami. Kami memang salah, karena jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih lima belas menit saat kami semua berkumpul. Ketika penulis terakhir datang kami sangat lega. Sebagian dari kami tidak terlalu mempedulikan ceritanya yang tersesat di pasar, demi membeli dua setel baju untuk kedua anaknya. Badannya berkeringat karena terus berlari mencari pintu utama. Bagi saya yang memperhatikan ceritanya, dia layaknya pendosa yang ditipu ustaz-ustaz yang mengaku memberi petunjuk yang benar. Dia tersesat karena ketika bertanya pada para penjual baju, mereka memberi petunjuk dengan cuek dan terkesan seenaknya. Setelah petunjuk diikuti, ternyata tidak menuntunnya ke pintu utama. Mungkin bagi para penjual baju itu, laki-laki bukanlah sumber penghasilan dan tidak mudah ditipu. Padahal dialah orang terakhir yang kami tunggu.

Sebelum dia, penulis asal Wonosobo berhasil menemukan pintu utama karena menghafal seluruh jalan dari pertama dia masuk pasar hingga keluar. Dia juga awas terhadap tanda penunjuk jalan. Dengan santai dia menuju pintu utama setelah membeli oleh-oleh untuk anak perempuannya.

Berbeda dengan cara penulis asal Magelang menemukan pintu utama. Penulis ini benar-benar berpikir out of the box. Baginya ketika dia merasa tersesat dia harus menemukan pintu keluar. Walaupun pintu keluar bukanlah pintu utama. Tapi dari luar pasar ini hanya seukuran lapangan bola. Berasa di luar pasar tidak seruwet di dalam pasar dan yang terpenting kalau berjalan mengelilinginya pasti menemukan pintu utama juga. Waktu dia sampai di pintu utama, jam sudah menunjukkan pukul tiga kurang lima belas menit.

Padahal ketika jam menunjukkan pukul dua lebih tiga puluh, rombongan ibu-ibu yang berjumlah lima orang sudah tiba di pintu utama. Saya kira merekalah yang paling lama berbelanja, ternyata tidak. Bisa dikatakan mereka tidak tersesat di pasar sebesar ini. Mungkin mereka dilahirkan dengan kemampuan alami untuk survive berada di pasar. Atau mereka tidak tersesat karena penjual baju tidak sungkan memberikan petunjuk menuju pintu utama. Mungkin bagi mereka ibu-ibu mudah digoda, mudah diatur dan merupakan sumber penghasilan utama mereka. Tidak heran banyak ustaz-ustaz memanfaatkan ibu-ibu pengajian untuk menyebarkan paham sesat dan mengeruk keuntungan.

Sedangkan saya bersama seorang penulis dari sukoharjo merupakan yang paling awal mencapai pintu utama. Saya sadar, uang hasil lomba yang saya bawa bukanlah milik saya seluruhnya dan saya harus membaginya bersama beberapa teman yang membantu saya menulis buku. Saya juga tak memiliki niat membeli apapun. Sama seperti penulis asal Sukoharjo, menurutnya anaknya di rumah lebih puas membeli baju sendiri, daripada dibelikan ayahnya.

“Nanti saya beri uang, biar dia beli sendiri.” Itulah kata-katanya ketika kami masih berasa di dalam pasar. Tepat sebelum kami akhirnya memutuskan menunggu para penulis lain di pintu utama.

Di pintu utama itulah kami bersepuluh berjanji untuk berkumpul pada pukul tiga sore. Janji terpaksa dibuat karena kami memiliki tujuan masing-masing. Kami harus berpencar. Sedangkan alasan kami memutuskan berkumpul di pintu utama, karena menurut supir yang mengantarkan kami, dia lebih mudah menjemput kami di pintu utama daripada di parkiran mobil. Walau di parkiran mobil itulah dia menurunkan kami. Parkiran lima lantai dengan puluhan mobil berjajar di tiap lantai. Kalau parkiran saja demikian luas, saya tak bisa membayangkan seluas dan sebesar apa pasarnya. Dan di pasar sebesar inilah yang harus kami kunjungi karena letaknya tepat di depan pintu masuk tol menuju bandara.

Sebelumnya, Kami sempat bingung memilih tempat berbelanja oleh-oleh. “Ke ITC keong mas saja, pak.” Kata supir travel yang akan mengantarkan kami ke bandara. Layaknya hidayah dari Tuhan, kata-katanya memecahkan diskusi kami di depan lobi hotel. Di hotel itulah kami bersepuluh baru saja mendapatkan uang hasil sayembara menulis buku cerita anak-anak yang digelar kementerian pendidikan.

--

--

Omah Aksara
Omah Aksara

Komunitas Menulis yang berbasis di Yogyakarta. Beralih dari akun @omahaksara