Memandang dengan Mata Emosi dan Imajinasi

Omah Aksara
Omah Aksara
Published in
3 min readJan 25, 2019

(Khatmil Iman Mahardhika)

Pria itu duduk di kursi tinggi, berbatasan dengan kaca tembus pandang — yang amat besar — untuk menghadap jalanan. Sore itu ia hanya ingin bersantai, tidak melakukan apa pun, dan meminum segelas kopi spesial di kafe itu. Tidak melakukan apapun sejenak bukanlah sebuah kejahatan, pikirnya. Sedangkan orang-orang di trotoar berlalu-lalang; ada yang mengenakan setelan jas, ada yang memakai setelan gelandangan, ada yang menggunakan setelan kasual belaka. Pandangan pria itu kosong jauh ke depan, mungkin pikirannya juga tengah rehat. Dan tidak sedikitpun situasi di sekitarnya mengganggu khidmat lamunannya. Hingga suatu saat seorang kakek yang hendak minum kopi sambil berjalan di trotoar, menjatuhkan koran yang dijapit di ketiaknya. Kakek itu tak sadar, bahwa dengan meminum kopi maka lengan atasnya terangkat dan melepaskan japitan pada korannya. Dengan susah payah Si Kakek membungkuk tertahan timbunan lemak di perutnya, mengambil koran, menjapitnya di ketiak yang sama, dan meminum kopinya lagi. Koran jatuh kembali dan, Si Kakek melakukannya hampir lima kali.

Pria itu bergegas membayar tagihannya. Berlari kencang lima blok jauhnya menuju rumah. Tanpa mencopot sandal ia masuk dan keliling ke seluruh ruangan rumah. “Sayang? Kau di mana?” katanya mencari istrinya, yang akhirnya terpergok hampir tidur di kamar mereka. Pria itu tak merasa sungkan menggoyahkan tubuh istrinya dan segera menceritakan pemandangan yang ditangkapnya. Tapi sang istri tak terlalu menghiraukan atau bahkan cenderung memaki kebodohan Si Kakek sekaligus sang suami agar tak perlu memperhatikan hal-hal seperti itu. Mungkin istrinya terlalu lelah sepulang kerja untuk sekedar mendengar cerita dungu.

Pria itu tak kehilangan akal. Dia akan menuju ke rumah mungilnya. Benar-benar mungil, sebab rumah itu diapit oleh dua gedung tinggi dan hanya menyisakan ruang 1,5 meter saja. Memang jarak yang harus ditempuh terlampau jauh, bahkan ia harus menggunakan paspornya. Tapi tidak menjadi masalah, karena ia harus menyampaikan emosi yang ditangkapnya kepada orang lain. Orang lain yang mau mendengar ceritanya, melalui media apapun: tulisan, novel grafis, atau film. Cerita tentang seorang kakek yang menjatuhkan koran yang dijapit di ketiaknya karena ingin minum segelas kopi yang dipegang pada tangan yang sama. Sebenarnya tidak terlalu tepat, sebab pria itu hanya akan menjadikan kakek itu menjadi sebuah metafor yang tepat untuk dirinya sendiri — ya, dia yang sering mengulangi kesalahan dan ketololan yang sama seperti Si Kakek — dan diceritakan dalam bentuk yang lain. Dan yang paling penting adalah, menambahkan imajinasi.

Pria itu adalah Etgar Keret, penulis asal Israel yang orang tuanya adalah pasangan penyintas holocaust. Meskipun begitu, menurut saya, orang tua Keret terutama ibunya adalah orang yang paling mempengaruhi hasratnya untuk bercerita. Alasannya sederhana, yaitu ketika hendak tidur ibunya akan bercerita tanpa menggunakan teks. Semuanya spontan, baru, dan orisinil.

Sedangkan adegan di atas adalah potongan film biografinya yang dapat dilihat di Youtube. Judulnya Etgar Keret: Man with The Newspaper. Di dalam video tersebut, Keret menuturkan bagaimana sebuah cerita datang kepadanya. Adapun adegan lain yang tak terdapat dalam video tersebut dan ada di tulisan ini hanyalah imbuhan imajinasi saya belaka. Maka sangat mungkin jika hal tersebut salah dan terkesan subjektif. Tapi, bukankah penting untuk menceritakan emosi dan imajinasi saya setelah menonton video tersebut?

Tulisan ini sebagai pengantar diskusi Membaca Keret di Syini Kopi 23 Januari 2019

--

--

Omah Aksara
Omah Aksara

Komunitas Menulis yang berbasis di Yogyakarta. Beralih dari akun @omahaksara