Penulis Gugup yang Sengaja Membunuh Dirinya Sendiri

Khatmil Iman
Omah Aksara
Published in
3 min readJan 31, 2019
sumber

Kalau saja ingatanku tidak tertuju pada buku itu, pada sebuah kutipan itu, mungkin saja untuk selamanya aku tidak pernah benar-benar melakukannya. Hanya akan menjadi omong kosong belaka.

Perlu aku ceritakan, sejam sebelum aku melakukannya, aku masih terjebak di dalam dua perasaan. Yaitu perasaan bahwa aku membencinya, tapi mau tak mau aku harus melakukannya. Sedangkan yang dihasilkan dua perasaan itu hanyalah sekadar kegugupan yang membuat waktu sejam dipenuhi sikap-sikap tolol. Aku mondar-mandir di samping meja makan di apartemen, mengucurkan keringat dan menghamburkannya kemana-mana. Membuat genangan banjir di dalam ruangan hingga membuat istriku dan anak-anakku terbangun dari nyenyak tidur. Meskipun begitu, mereka tidak mengatakan apapun kepadaku, malah membantu mengeringkan lantai dan perabotan setelah sistem drainase dalam ruangan mengurasnya. Ketika mereka kembali menuju kamar, aku hanya bisa mengatakan maaf dan terimakasih tanpa menatap wajah mereka atau sekadar menampakkan ekspresi bersalah. Aku sungguh mengutuk diriku, ketika kebiasaan ini, kebiasaan bahwa yang kupikirkan dan kurasakan tidak mampu tersampaikan dengan tepat kepada lawan bicaraku, sehingga mungkin mereka akan menerimanya dengan berbeda.

Aku mengganti pakaian. Setelan olahraga akan mampu menyerap dan mengeringkan keringat dengan cepat, pikirku. Malam pun semakin dingin, aku melapisi badan bagian atas dengan sweater.

Kemudian aku kembali ke meja makan. Rokok yang kembali kuhisap tidak memberikan rasa apapun. Hambar. Sedangkan asbak mulai tak mau menampung mereka. Aku kehilangan cara menenangkan diri. Aku mengambil anggur dari dalam lemari. Selama ini botol-botol anggur berjejer hanya sebagai pajangan. Mungkin sudah saatnya digunakan sebagaimana mestinya.

Kehangatan yang mulai menyeruak membawaku ke masa lalu. Pada catatan sejarah bagaimana aku bisa menjadi sekarang, menjadi seseorang yang orang lain menyebutnya penulis. Aku sungguh tidak begitu menginginkannya. Kesempatan itu hadir di saat aku terhimpit pada situasi aku tidak bisa melakukan apapun selain menulis. Maka aku hanya melakukannya. Dan barangkali hal itu yang aku anggap salah satu kesialan dalam hidupku. Menjebakku di antara imajinasi dan realita. Yang seringkali membuat merasa bahwa imajinasi lebih realistis daripada realita itu sendiri. Sedangkan realita, hadir dalam bentuk terlalu imajinatif, menyiksaku di antara reruntuhan bom yang membombardir anak-anak dan orang tua atas nama pemberantasan teroris.

Aku menengok anak istriku di dalam kamar melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Mereka saling berpelukan. Dua bocah laki-laki kembar identik menghimpit ibunya. Demikian jatuh di alam mimpinya. Sedangkan aku demikian jatuh di alam alkohol, mungkin aku minum terlalu banyak. Tanganku terpeleset dari tumpuannya, badanku terhuyung dan aku terjatuh. “Kalau menulis, ya menulis saja. Jangan mengganggu kami,” kata istriku tak lama setelah ia terbangun. “Besok pagi kami harus beraktifitas. Aku harus kerja, anak-anak ke sekolah.”

Setengah mati aku menegakkan diri, kembali ke meja makan sembari berucap maaf dan terimakasih tanpa menatap wajah mereka atau sekadar menampakkan ekspresi bersalah.

Aku duduk memandangi benda metalik yang tergeletak di depanku. Sejenak ia menjelma menjadi benda yang hidup. Ia berdiri, bertumpu pada bagian plastik hitam yang menjadi kaki berjari lengkap. Hanya saja ia tak punya tangan, meskipun wajahnya di bagian pucuk yang berkilauan menyeringai kepadaku. Ia berceloteh tak jelas dan aku mulai menjatuhkan kepalaku pada meja. Lamat-lamat aku mendengar potongan kata-katanya, “…Bebaskan. Bebaskan saja….”

Aku kebingungan. Aku gugup. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Tapi ia, benda metalik yang berkilauan menantangku itu, masih terus saja berceloteh. Aku bagaikan sedang menyeberang jembatan sehelai rambut yang dibagi tujuh. Tepat pada tengah perjalanan, tepat ketika aku kehilangan keseimbangan, aku teringat pada sebuah kutipan itu, di dalam buku itu. Buku tulis yang dulu setiap menerima pelajaran sekolah tak pernah kuisi, di bagian bawah tertulis: kau tak akan pernah tahu hingga kau mencobanya. Maka, tanpa memperdulikan apapun, aku sengaja segera melompat dari sehelai rambut yang dibagi tujuh. Maksudku, menerima tantangan benda metalik tadi dengan membelaikannya pada nadi pergelangan tanganku. Membuat semuanya tidak sekadar omong kosong belaka. Dan aku terbebas, selamanya.

--

--