Seorang Penulis Berkepribadian Ganda

wowot hk
Omah Aksara
Published in
5 min readJan 27, 2019

Sebelumnya, teruntuk bapak redaktur jangan marah bila membaca tulisan ini. Saya kirimkan tulisan ini karena saya tak kuasa melihat garis muka dua sahabat saya. Terserah ini Anda sebut surat ataukah sebuah cerita. Saya hanya ingin bilang memang seharusnya Anda mati.

sumber di sini

Pak Ger mengatakan siang itu dia sedang kosong. Kami diminta datang hari itu, setelah kedatangan yang kami rencanakan lima hari lalu ia tolak. Tak banyak yang tahu apa kesibukannya selain menulis untuk kolom opini di salah satu media lokal kabupaten. Kemarin tiba-tiba ia mengabari melalui pesan singkat. Silakan datang besok jam 10 pagi, tulisnya. Kabar yang mendadak ini membuat kami hanya datang bertiga dari semula memang bertiga. Kami terpaksa bangun lebih pagi dari biasanya. Ari dan Rio bahkan rela tidur tidak terlentang agar tidurnya tidak senyenyak biasanya. Aku sendiri memang sepertinya ditakdirkan bangun paling akhir, karena bagaimanapun caraku tidur aku selalu yang terakhir.

Sewaktu kami datang ia tampak sudah menunggu kami di teras. Sembari memandangi ikan-ikan kecilnya, ia sesekali terdengar membisikkan sesuatu pada ikan-ikan itu. Ia mempersilakan kami duduk. “Maaf sebelumnya tapi saya sedang malas buat air, jadi tidak ada minum untuk kalian, Oke?” kata Pak Gerald. Kami pun mengangguk belaka.

Barangkali nama Gerald cukup tidak terkenal. Karenanya mungkin lebih baik kalau kami sebutkan profil singkat beliau.

Nama lengkapnya Geraldus Atmadimeja. Memiliki nama kecil Muhammad Sarimbit, ia kemudian pindah agama takut dipatuk ular. Mengutip dari profil yang ada di media lokal kabupaten, ia selalu menjelaskan begitu dan tidak mau menjelaskan lebih lanjut alasannya pindah agama. Lahir di Kendal 56 tahun lalu, ia kemudian merantau ke Yogya pada tahun 1978. Kuliah di fakultas kehutanan UGM dan sempat menjadi ketua BEM sebelum di-DO karena ketahuan kencing di halaman rektorat.

Sepuluh tahun lalu ia tiba-tiba diakui sebagai KAGAMA lantaran beberapa tulisannya. Jujur ia sempat tak menyangka, UGM mengakuinya kembali. Tapi karena hidupnya yang sejatinya amat sepi membuatnya berkeinginan untuk kencing di depan rektorat agar ia dikeluarkan dari anggota KAGAMA.

Tulis-tulisannya memang belakangan seperti menghilang. Tapi begitulah cara ia menjaganya tetap sepi. Dari kecerobohan seorang redaktur di salah satu media, kami mengetahui bahwa beliaulah penulis yang bernama Joko Samudro. Matinya Api Neraka (2002), Setan yang Sholat (2004) dan Andai Aku menjadi Tuhan (2008) adalah beberapa karyanya yang laris di pasaran. Setidaknya ada lebih dari sepuluh buku yang telah ia tulis. Namun demikian ia tetap menyamar sebagai Joko Samudro. Orang bahkan tidak akan mengira kalau foto yang tertera di sampul belakang bukunya adalah foto seorang imigran gelap Aljazair yang bermukim di tenggara kota Rennes.

Pak Ger, dalam tulisan ini kami akan memanggilnya begitu.

“Jadi, gimana?” tanya Pak Ger. “Kalian mau apa, kenal saya? Atau hanya sekadar duduk diam begitu saja?”

Duduk di hadapan beliau kami seperti menjadi tiga orang cupu yang datang ke rumah mbah dukun. Kami amat ketakutan. Tatapan matanya, gaya tuturnya bahkan desah nafasnya pun sudah kami rasakan keangkerannya.

“Emm… tidak, Pak,” jawab Ati dengan gugup. “Kami bertiga bermaksud untuk mewawancarai Pak Ger. Kami dengar Anda adalah orang dibalik Joko Samudro, penulis yang terkenal itu.”

“Oh siapa yang bilang?”

“Salah satu redaktur mengatakan kepada kami demikian,” ujar Rio. “Kami mendapat nomor handphone bapak juga dari beliau.”

“Yakin kalian tidak dibohongi?”

Kami saling memandang satu sama lain. Saya sendiri menjadi ragu. Sebab mana ada orang yang lebih mirip dukun ini, merupakan penulis terkenal yang telah menulis puluhan buku.

“Kami kenal baik dengan beliau, Pak,” kata Rio. “Kebetulan saya kontributor bulanan di media beliau dan meski tidak pernah berjumpa saya sering bertukar pikiran dengan beliau melalui sms.”

“Maaf sepertinya, Anda telah ditipu bapak itu.”

“Tapi Anda Pak Gerald kan?”

“Ya, sejak murtad nama saya Gerald.”

“Bukan Joko Samudro?” tanyaku tiba-tiba yang semula diam mengamati kumis beliau.

Sorot matanya berubah menjadi tajam. Mengetahui situasinya Rio hentakkan lututnya ke lututku. Begitupun dengan Ari yang langsung berpura-pura menjatuhkan bolpoin. Ari memang selalu begitu. Ia suka cara yang ekstrem. Pun bahwa itu tidak mempengaruhi apa pun kecuali menambah runyam situasi.“Woww… ini meja dari kayu jati ya, Pak?” tanya Ari tepat sebelum Pak Ger mulai berbicara.

“Saya kira, sudah jelas,” kata Pak Ger dengan nada yang lirih. “Sebaiknya kalian pulang.”

“Tapi…” Belum sempat aku selesai menyelesaikan pertanyaanku Ari dan Rio membukam mulutku. “Iya, Pak,” kata Rio. “Kami akan pulang.”

Mereka berdua merangkulku. Mereka membisikkan kata yang sulit aku mengerti. Kupikir mereka aneh atau mungkin sedikit gila. Mereka telah membuang kesempatan emas. Setidaknya kita dapat wawancara dengan Pak Ger, seorang penulis lokal. Tidak penting dia dukun atau mungkin Joko Samudro yang penting ada bahan untuk ditulis.

“Kenapa?” tanyaku sewaktu di jalan.

Hanya satu kata yang kudapat dari mulut Ari: Lupakan. Dalam kondisi seperti ini saya tak mengira Ari dapat berpikir seserius itu. Pun dengan Rio, ia tampak begitu kesal. Dalam perjalanan kami ia terus saja menendang bekas kaleng bir dengan tidak jelas. Aku sebenarnya ingin protes, tapi mungkin mereka kurang tidur belaka.

Dua hari kemudian, media yang sering menayangkan tulisan Rio, mengabarkan kalau Joko Samudro telah wafat. Joko Samudro telah dimakamkan di balai makam pathuk sehari yang lalu. Membacanya Ari dan Rio begitu kaget sekaligus curiga. Kembali lagi, siapa Joko Samudro.

Rio segera mengkonfirmasi kabar ini ke redaktur. Ternyata benar. Ia kemudian meminta alamat pemakamannnya. Sore harinya kami menuju ke alamat pemakaman tersebut. Sayangnya tidak ada tanda-tanda makam baru. Yang ada justru liang lahat baru yang baru selesai digali. “Siapa yang meninggal?” tanya Rio kepada salah seorang penggali kubur. Mereka bilang tetangga mereka. Rio pun bertanya perihal orang mati sehari yang lalu dan mereka bilang tidak ada. Pikirku memang sebaiknya Tuhan tidak mencabut nyawa hambanya setiap hari. Tapi itu tidak penting. Kami justru semakin dibuat penasaran, siapa pula Joko Samudro.

Atas saranku kami menuju kembali ke rumah Pak Ger. Tidak peduli betapa sibuknya beliau kami harus ketemu. Kami ketuk pintu rumahnya. Dan tak ada jawaban apa pun. Rio berinisiatif menelepon redakturnya. Kiranya Rio sudah cukup kesal dengan kelakuan pak redaktur. Terdengar bunyi telepon dari dalam rumah Pak Ger. Ari tampak mencoba mengintip dan begitulah kemudian aku mengikutinya. Nampak Pak Ger sedang mengangkat telepon. Samar-samar kami mendengar pembicaraan yang nyambung dengan apa yang dikatakan Rio melalui teleponnya.

Barangkali bapak tak akan berani memuatnya kan? bukan Joko Samudro?

*sumber: https://medialokalkabupaten.com/api/v1/profil?geraldatmadimeja

--

--