Tanpa Meninggalkan Aib

Omah Aksara
Omah Aksara
Published in
3 min readDec 25, 2018
sumber

Suamiku telah mati. Ia meninggal saat mengemudikan mobil menuju hotel tempat kami bulan madu di daerah pegunungan. Tidak heran ada jurang di kanan kiri jalan. Tidak heran jalanan menanjak. Tidak heran pula kecelakaan sering terjadi. Seperti yang menimpa suamiku. Suami yang baru kunikahi seminggu lalu.

Semakin mendekati saat-saat pernikahan aku makin tak yakin dengan lelaki pilihanku sendiri. Kata orang, ini hal biasa, tapi bagiku, jika aku sampai menggagalkan rencana pernikahan ini bagaimana cara menaruh mukaku di depan orang tuaku dan saudara-saudaraku. Aku sudah dididik menghormati orang tua bagaikan menghormati raja, menjalankan perintah orang tua seperti menjalankan titah raja, maka tak sanggup aku membuat malu mereka sekali saja. Dan bukankah memang sudah menjadi hukum tak tertulis di dunia bahwa kita harus menghormati orang tua? Menjalankan apapun yang mereka perintahkan, pokoknya membuat mereka senang. Sekali membuat mereka tidak senang — meski itu baru dalam pikiranmu — sugesti yang telah ditanamkan oleh mitos dan cerita rakyat akan menghukum dirimu sendiri.

Masalahnya makin aku pikir lagi, calon suamiku bukanlah calon suami yang aku cari. Sekarang aku membutuhkan orang yang benar-benar mau menerima aku sebagai manusia, manusia yang penuh dengan permasalahan dan selalu berubah-ubah.

Memang benar, calon suamiku sekarang adalah suami idamanku, tapi itu saat aku masih kecil. Sekarang, aku sudah tua dan untuk apa aku mendambakan suami setampan dan sekaya pangeran di film-film?

Tapi kalau aku ceritakan masalahku ini pada orang lain, pasti jawaban mereka mirip, “ya ampun regina, cowo setampan dan sekaya itu tidak mungkin datang dua kali. Ini rezeki. Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan?”

Ingin kujawab, “mana mungkin aku berdusta pada Tuhanku sendiri, wong dia tahu isi hatiku.”

Masalahnya dunia ini lebih kompleks dari yang kukira sebelumnya. Masalahnya saat kecil aku tak tahu akan menderita penyakit yang membuatku tak bisa punya anak. Masalahnya saat aku menerima lamarannya aku baru saja ditinggal menikah pacarku, dan itulah saat paling sedih dalam hidupku yang menyebabkan aku di-drop out oleh kampus, dan orang tuaku bergerak cepat mencarikanku suami.

“Suami adalah jawaban hidupmu selama ini. Kamu akan jadi wanita yang lebih baik setelah bersuami. Paling enggak, bakal ada yang ngurusin kamu,” kata ibuku.

Aku kira perkataannya sore itu cuma sekadar nasehat. Bukan solusi — meski itu solusi menurutnya. Namun, ternyata seminggu kemudian pamanku datang ke pemondokanku yang letaknya di samping kampus, lalu mengabarkan aku telah dipinang. Telah dilamar orang.

Detik itu juga aku ingin mengabarkan ibuku bahwa aku tak bisa lagi punya anak. Namun logikaku mengatakan, hal sepenting ini tak mungkin kuceritakan lewat telepon. Maka, jika setelah bertemu orang tuaku, aku tak jadi menceritakan penyakitku, itu karena logikaku berkata lagi, “anjir, setampan dan sekaya ini kaya jadi suami gue.” Sebab saat itu aku pertama kali melihat calon suamiku beserta keluarganya. Dan mereka sungguh kaya. Sore itu sebenarnya cuma pertemuan keluarga, tapi keluarga calon suamiku datang dengan iring-iringan mobil buatan jerman yang memenuhi jalan di kampungku yang sempit.

Sayangnya perkataan logikaku itu bukan perkataannya yang sebenarnya. Sebab, satu jam setelah mereka pulang, aku baru sadar aku tak bisa hamil. Itu membuatku langsung depresi. Aku sempat ingin bunuh diri, tapi kutahan. Aku tak ingin mempermalukan orang tuaku. Otakku hanya dipenuhi narasi yang kubuat sendiri. Jika orang biasa bisa membenci bahkan mengusir menantunya yang tidak punya anak, bagaimana dengan orang sekaya itu. Bagaimana tatapan meremehkan dari saudara-saudara calon suamiku?

Pasti mertuaku akan membawaku ke dokter dan mengobatiku dan mengatai aku penyakitan dan mereka frustasi karena pengobatannya selalu gagal dan menyuruhku menceraikan anaknya agar mereka senang, agar mereka bisa punya cucu. Oh Tuhan, ternyata setelah menikah aku akan mengabdi pada raja dan ratu yang baru. Pada mertuaku.

Siang itu rumah orang tuaku ramai kedatangan tamu. Mobil berjejer memenuhi jalanan kampung untuk kedua kalinya. Tenda didirikan, dan semua orang menyalami ayah ibuku. Untuk pertama kalinya aku merasa hidup sebagai manusia, yaitu saat aku telah mati.

Aku mati tanpa meninggalkan aib bagi orang tua. Aku mati bersama suamiku, sebab jika suamiku mati sendiri, bisa saja aku cacat dan itu menjadi aib bagi orang tuaku. Aku mati bersama suamiku, sebab jika aku masih hidup, bisa saja ada penyelidikan dari polisi yang mengungkap bahwa aku telah memodifikasi mobil sehingga jatuh ke jurang.

Aku mati, tanpa meninggalkan aib.

--

--

Omah Aksara
Omah Aksara

Komunitas Menulis yang berbasis di Yogyakarta. Beralih dari akun @omahaksara