7 myths in scientific publications

7 mitos dalam publikasi ilmiah

Dasapta Erwin Irawan
Good Science Indonesia
3 min readJun 30, 2017

--

Saat menulis ini, saya meminjam analogi dari Pak Satria Bijaksana, bahwa meriset adalah seperti bernapas, maka semangat yang ingin saya sampaikan adalah kalau riset dianalogikan sebagai proses bernapas, maka publikasi adalah setiap hembusan udara yang Anda hasilkan

.Berikut ini adalah tujuh (7) mitos dalam penulisan ilmiah. Banyak mitos yang malah memberatkan niat untuk menulis. Jangan sampai anda terperosok di dalamnya dan berakhir menjadi akademia yang tidak produktif.

My 6yo with her handy camera (Credit: Flickr/d_erwin_irawan, CC-BY)

Tulisan ini utamanya ditujukan bagi mahasiswa. Yang pertama, agar ia dapat belajar dan yang kedua, agar ia dapat memberi masukan kepada pembimbingnya.

Mitos yang sebut di sini bisa jadi dulunya adalah fakta. Tapi sejalan dengan waktu dan perkembangan teknologi, fakta tersebut kian sumir terlihatnya. Dan saya sebut mitos karena diantara sedemikian banyak saintis Indonesia yang mempercayainya, tapi jarang ada yang khusus menelaahnya tentangnya secara sistematis.

  1. Impact Factor Jurnal menentukan jumlah sitasi makalah (Article’s citation counts depends on Journal Impact Factor): Kalau ini saya sudah mulai lihat sedikit demi sedikit. Setidaknya di bidang ilmu alam dan kebumian, korelasinya belum terlihat. Dengan catatan data yang saya gunakan terbatas (Google Scholar Classic Paper saja). Baca selengkapnya di sini dan di sini. Pada tautan kedua, kami tampilkan grafik ini. Keduanya adalah iterasi pertama dari riset kecil yang kami lakukan. Iterasi kedua dapat dibaca di sini. Telaah ini secara segmental akan terus kami lakukan dan laporkan secara terbuka.
  2. Menulis dalam bahasa Inggris akan meningkatkan sitasi (writing in English increases citation): Menulis dalam Bahasa Inggris pastinya memang memperluas lingkup pembaca. Tapi bila sampai ke tahap sitasi, hal ini perlu dipertanyakan lagi. Tentunya benar bahwa makalah dalam bahasa selain Inggris perlu didampingi dengan penjelasan ringkas dalam Bahasa Inggris. Menurut saya, yang menentukan mestinya adalah originalitas. Hipotesis saya begini: kalau makalah anda original, maka dalam bahasa apapun, informasi lebih lanjut tentangnya akan dikejar oleh pembaca. Beberapa artikel ini menarik untuk dibaca: Citation of non-English peer review publications — some Chinese examples, The Impact Factor in non-English-speaking countries, The changing role of non‐English papers in scholarly communication: Evidence from Web of Science’s three journal citation indexes, Language biases in the coverage of the Science Citation Index and its consequencesfor international comparisons of national research performance (sayangnya non-OA, tapi coba telusuri versi finalnya, hitung berapa jumlah typo yang ada).
  3. Makalah dalam bahasa Indonesia nomor dua (Papers in Indonesian language is considered 2nd grade): Saya tidak perlu menjelaskan lagi tentang ini, karena saya yakin anda juga WNI. Pernah dengan Sumpah Pemuda? Untuk yang ini, perlu komitmen nasional. Beberapa artikel yang menarik untuk dibaca: English Is the Language of Science. That Isn’t Always a Good Thing, Languages still a major barrier to global science, new research finds.
  4. Menulis makalah di jurnal ilmiah ber-IF tinggi atau terindeks Scopus/WoS adalah bentuk kontribusi kepada institusi anda (publishing in high IF journals or Scopus/WoS indexed journal marks your contribution to institution): kalau yang anda maksud adalah peringkat, maka jawabnya iya, makin banyak makalah yang terbit dari staf suatu institusi, maka peringkat institusi itu akan makin tinggi. Tapi saya pastikan lagi, reputasi perguruan tinggi tidak hanya ditentukan oleh dua hal di atas. Walaupun anda menerbitkan makalah di jurnal yang “biasa-biasa” saja, reputasi tetap akan terekam. Kuncinya adalah komunikasi skolar (scholarly communications). Di zaman digital ini, hal baik apapun yang anda tulis, akan terekam dan diakui (acknowledged) oleh komunitas ilmiah.
  5. Publikasi tidak boleh salah (you can’t be wrong in papers): Publikasi seperti halnya sains, boleh salah. Itu gunanya peer-review (PR). PR yang saya maksud di sini tidak sempit sebagai proses yang dijalani makalah sebelum terbit, tapi termasuk juga input, komentar dan koreksi dari para pembaca setelah makalah terbit. Data dan metode harus dibuka selengkapnya agar pembaca dapat ikut menguji validitas hasil riset. Kalaupun ditemukan ada kesalahan, selama tidak terjadi kebohongan dalam data, maka makalah ditarik (retracted). Anda dapat menerbitkan makalah berikutnya yang mengoreksi makalah itu atau bisa saja ada orang lain yang melakukannya. Tidak masalah. Begitulah kehidupan saintifik.
  6. Publikasi hanya dapat dilakukan setelah semua selesai (publish your paper only at the end): Anda bisa mempublikasikan makalah sejak riset dimulai. Anda mungkin belum pernah mendengar makalah berjenis literature review. Publikasi juga dapat dilakukan saat eksperimen baru mendapatkan hasil awal (short communication: Elsevier, Academia Stackexchange).
  7. Silahkan ditambah yang no 7 dengan menuliskannya di kolom komentar (response), akan saya beri penjelasannya.

--

--

Dasapta Erwin Irawan
Good Science Indonesia

Dosen yang ingin jadi guru | Hydrogeologist | Indonesian | Institut Teknologi Bandung | Writer wanna be | openscience | R user