Becoming 2nd or 3rd class academia
Beberapa waktu lalu, di depan saya ada truk dengan tulisan seperti dalam foto. Kemudian pikiran saya melayang kepada para pembuat dekorasi bak truk. Betapa indahnya jadi para pelukis itu saat hasil karyanya menghibur orang, membuat orang tersenyum (bagi Anda yang sering melintas Pantura, pasti sering tersenyum), dibicarakan orang, sekaligus menghasilkan uang. Mereka bahkan tidak peduli apakah karya mereka dicatat (baca diindeks) atau bahkan dicuri.
“Sleting doll” (flickr/dasaptaerwin CC-BY)
Perdebatan masalah pengindeksan jurnal, JIF, dan ukuran-ukuran keberhasilan riset/makalah/individu tidak akan ada habisnya.
Berikut ini kumpulan pertanyaan yang perlu anda jawab. Memang terlihat tidak terstruktur, tapi bukankah mungkin itu yang terjadi di benak dan pikiran kita saat memutuskan membuat peraturan-peraturan terkait dengan hal di atas?
Seberapa besar energi yang harus dihabiskan untuk menulis makalah ke jurnal “bereputasi”? Apakah energi tersebut tetap bisa disisihkan untuk menulis makalah dalam Bhs Indonesia dengan target pembaca yang jelas berbeda? Apakah dengan masuk jurnal berkualifikasi QQ kemudian dipastikan dibaca oleh lebih banyak pembaca dari LN? Kalaupun iya apakah ada manfaatnya, kecuali mungkin sitasi? Apakah dengan menulis dalam Bahasa Indonesia, lantas tidak akan pernah dibaca oleh pembaca dari LN? Bagaimana kaitannya dengan obyek penelitian yang mungkin di Indonesia dan seharusnya dibaca lebih banyak oleh masyarakat Indonesia? Apakah mayoritas masyarakat Indonesia sudah punya akses ke jurnal ber QQ tsb? Betul, ada yang OA dalam arti biaya publikasi berasal dari penulis, yang kemudian membawa ke masalah baru, berapa rupiah yang harus dibelanjakan? Betul bagi yang tahunakan menjawab, “kan bisa mendapatkan keringanan hingga Rp 0”. Tapi berapa diantara rekan-rekan lain yang tahu? Bandingkan dengan berapa Rupiah yang telah mengalir dari kantong kita ke rekening pemiliki jurnal pemangsa? Apakah dengan tidak terbit di jurnal ber QQ lantas risetnya menjadi tidak berkualitas? Jadi sebenarnya terbit di jurnal QQ adalah ukuran prestasi penulis atau ukuran prestasi riset? Jadi kalau menurut Anda berapa perbandingan prosentase energi yang harus kita bagi, antara menulis dlm Bhs Inggris dan mengirimkan makalah ke jurnal QQ sampai terbit, dengan waktu menulis dalam Bhs Indonesia dengan target masyarakat yang terkait langsung dengan penelitian?
I can talk about this all day.
Ups salah.
Saya bisa menghabiskan waktu seharian mengenai masalah ini. :). Tapi harap para pendukung “exclusive journal indexing”, JIF dan QQ untuk bisa menjawab.
Kalau memang ujungnya adalah membagi para peneliti/dosen ke dalam klasifikasi menurut capaian Index dan QQ dan yang sebangsanya, saya memilih untuk masuk warga kelas 2 atau 3 saja tapi punya banyak karya dan kawan.
Salam,
Dasapta Erwin Irawan
INARxiv – Feel the freedom