Berlawanan dengan prinsip membeli barang pada umumnya

Dasapta Erwin Irawan
Good Science Indonesia
4 min readJan 19, 2021

Oleh: Dasapta Erwin Irawan dan Juneman Abraham

Perbandingan berbagai basis data sains

Ludo Waltman et al. (2020) menulis sebuah makalah yang berjudul Large-scale comparison of bibliographic data sources: Scopus, Web of Science, Dimensions, Crossref, and Microsoft Academic yang diunggah ke preprint server ArXiv.

Makalah tersebut menghitung jumlah dokumen yang diindeks beberapa basis data tersebut, juga membandingkan irisannya (overlap).

Hasil utama dari artikel tersebut adalah gambar di bawah ini yang telah kami anotasi.

Prinsip para dosen/peneliti saat membeli produk berlawanan dengan prinsip umum:
1. kalau ada dua barang dengan fungsi yang sama, kenapa membeli keduanya,

2. kalau ada barang yang lebih murah kenapa membeli yang lebih mahal,

3. kalau ada barang dengan fungsi/fiturnya lebih banyak, kenapa membeli barang yang fungsinya/fiturnya lebih sedikit.

Mungkin ada pertanyaan, kenapa jumlah artikel yang diindeks oleh Scopus dan WoS jauh lebih sedikit dibanding basis data lainnya

Jawabannya dapat dilihat di situs journal selection and process Scopus dan WoS.

Scopus menggunakan kriteria berikut ini:

dan tabel ini.

WoS menggunakan kriteria yang mirip sebagai berikut:

Sedikit pembahasan

Bila dilihat sekilas memang tidak ada yang “aneh” dengan kriteria seleksi tersebut. Namun bila dicermati ada beberapa bagian yang tidak relevan dengan keragaman sains di dunia saat ini dan konektivitas antara individu melalui internet secara global:
(1) Kriteria seleksi Scopus, hanya meminta judul dan abstrak dalam Bahasa Inggris. Tujuan dari kriteria itu adalah agar makalah dapat dibaca orang lain yang tidak berbicara dalam Bahasa Indonesia. Namun demikian ada distorsi dalam regulasi promosi kepangkatan dan penilaian reputasi jurnal. Dalam kedua regulasi tersebut salah satu definisi “jurnal internasional” adalah jurnal yang menerbitkan artikel lengkap yang ditulis dalam Bahasa PBB (dalam hal ini Bahasa Inggris). Kemudian ada istilah berikutnya “jurnal internasional bereputasi” yaitu jurnal internasional yang terindeks lembaga internasional. Scopus dan WoS disebutkan secara eksplisit sebagai contohnya. Ini menyebabkan jurnal-jurnal nasional yang ingin berstatus jurnal internasional bereputasi akan meminta penulisnya untuk mengirimkan makalah dalam Bahasa Inggris. Secara otomatis, artikel-artikel yang terbit dalam jurnal-jurnal Indonesia yang sudah diindeks Scopus adalah hanya artikel yang ditulis dalam Bahasa Inggris. Sesuatu yang tidak diminta oleh Scopus pada awalnya.

(2) Kriteria nomor satu di atas akan berhubungan dengan kriteria berikutnya yang menurut kami tidak relevan, yaitu “Citedness of journal articles in Scopus”. Di sini aplikasi jurnal yang masuk dilihat apakah artikelnya pernah disitir oleh jurnal lain yang telah diindeks Scopus. Di sini peluang jurnal nasional untuk lolos seleksi menjadi mengecil, karena penyitiran oleh jurnal yang telah diindeks Scopus tentunya akan berkaitan dengan bahasa:

  • dengan asumsi bahwa yang menyitir adalah adalah peneliti asing, maka ia hanya dapat menyitir artikel yang ditulis dalam Bahasa Inggris,
  • agar dapat disitir, maka jurnal nasional tersebut harus dapat muncul dalam hasil pencarian. Ketika suatu jurnal telah tayang daring, maka seluruh artikelnya dapat ditemukan secara daring menggunakan mesin pencari, Google Scholar misalnya. Namun demikian ada pertanyaan lain, apakah artikel yang terbit di jurnal nasional tersebut akan disitir? Hal ini akan bergantung kepada subyektivitas penulis. Bila penulis tersebut ingin agar tulisannya memiliki nilai diversitas yang tinggi, maka ia akan berupaya untuk membaca yang terbit di jurnal nasional tersebut. Sebaliknya bila penulis hanya ingin cepat dan mudah, maka pilihannya mungkin hanya akan menggunakan basis data arusutama, misal Scopus atau WoS, bukan Google Scholar (atau basis data lainnya yang mampu menampilkan hasil pencarian yang lebih bervariasi).
  • Karena ada kriteria “citedness in Scopus”, penyunting jurnal nasional memasang “instruksi tidak tertulis” bagi para penulis dari Indonesia (yang akan menerbitkan makalahnya di jurnal yang telah diindeks oleh Scopus) untuk menyitir makalah yang terbit di jurnalnya (belum diindeks oleh Scopus). Implikasinya dapat kita lihat pada beberapa halaman “citedness in Scopus” yang dirilis oleh jurnal nasional:Makara Journal of Health Research (UI), Malang Neurology Journal (UB), Economic Journal Of Emerging Markets (UII), Jurnal The Messenger (Unnes). Relevansi sitiran memang perlu diuji lebih lanjut, tetapi yang jelas terlihat bahwa artikel (yang telah diindeks Scopus) mayoritas ditulis oleh penulis dari Indonesia (sebagai penulis pertama atau penulis pendamping).

(3) Kriteria Seleksi WoS lebih eksplisit menyebutkan kriteria Clarity of Language yang berarti seluruh bagian dari makalah harus ditulis dalam Bahasa Inggris.

Menurut kami, himbauan makalah ditulis dalam Bahasa Inggris tidak masalah. Itu pilihan penulis untuk memilih bahasa yang akan digunakan. Masalah dimulai ketika suatu makalah sebagai refleksi dari proses penelitian dinilai berdasarkan bahasa yang digunakan, hingga berlanjut ke minimum indeks H dalam seleksi hibah riset.

Bila diskriminasi seringkali diaplikasi kepada orang lain, kalau melihat proses asesmen akademik yang kita lakukan saat ini, sebenarnya kita sedang melakukan diskriminasi terhadap diri kita sendiri.

Kembali ke masalah awal

Artikel ini diawali oleh kritik kami untuk sebuah artikel yang ditulis penulis asing tentang Indonesia yang tidak menyitir karya peneliti Indonesia. Kemudian berkembang ke arah budaya ilmiah yang bersifat umum. Apakah kita sudah melaksanakan budaya ilmiah unggul yang sering kita sampaikan kepada para mahasiswa? Mari kita renungkan bersama.

--

--

Dasapta Erwin Irawan
Good Science Indonesia

Dosen yang ingin jadi guru | Hydrogeologist | Indonesian | Institut Teknologi Bandung | Writer wanna be | openscience | R user