Kita masih harus membayar untuk membaca karya sendiri

Dasapta Erwin Irawan
Good Science Indonesia
3 min readApr 2, 2020

Berikut ini adalah hasil sampingan dari kegiatan beberapa hari ini. Saya menggunakan basis data Scopus untuk melihat level akses terbuka (OA level) dari beberapa institusi perguruan tinggi di Indonesia.

(Video penjelasan di sini https://youtu.be/BnIYU_-ar80)

Dari waktu yang dimiliki, saya hanya mampu mengekstraksi data dari delapan perguruan tinggi. #bekerjadarirumah ini tidak terlalu meningkatkan produktivitas, karena bagi sebagian besar dosen, ada punya satu atau lebih anak yang melaksanakan #belajardarirumah. :D.

Ok kembali ke topik.

Saya menggunakan basis data Scopus. Kenapa Scopus?

  1. Karena Scopus sudah menjadi kiblat dalam konteks kualitas
  2. Karena Scopus adalah basis data. Selayaknya basis data, manfaat utamanya adalah untuk menggali informasi lebih jauh, bukan hanya untuk mencatat angka atau menjadi indikator anda lebih pintar dari saya.
  3. Karena institusi saya melanggan Scopus. Prinsip saya, kalau punya sesuatu, harus dipakai dan manfaatnya dibagikan ke orang lain.

Metode

  • Basis data: Scopus
  • Tanggal penarikan data: 31 Maret 2020
  • Filter yang digunakan: AFFIL(“nama institut”). Saya hanya mengambil angka kategori “affiliation only” untuk memastikan yang dianalisis adalah luaran dari perguruan tinggi yang bersangkutan. Untuk perguruan tinggi yang memiliki Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit, saya menemukan ada yang diindeks terpisah dari perguruan tinggi induknya, ada pula yang disatukan.
  • Yang dicatat: jumlah dokumen, jumlah penulis, tahun terbit makalah tertua yang diindeks, tahun terbit makalah termuda yang diindeks, jumlah dokumen akses terbuka (OA)
  • Yang dihitung: persentase dokumen OA = (jumlah dokumen OA / jumlah dokumen total) x 100%

Hasil

Berikut hasilnya:

  1. UI (induk) memiliki jumlah dokumen OA terbanyak (6862 dok) dalam kurun waktu 72 tahun (1948–2020).
  2. Undip dan IPB memiliki persentase jumlah dokumen OA tertinggi, masing-masing 53,5% dan 52,7% dalam kurun waktu yang sama sejak 1973 sampai dengan 2020 (47 tahun).
Jumlah dokumen OA diurutkan berdasarkan jumlah
Persentase dokumen OA

Implikasi

  1. Melihat jumlah dokumen OA yang maksimum hanya sedikit di atas 50%, maka ada sebagian dokumen yang tidak OA. Dokumen-dokumen non OA tersebut hanya dapat dibaca bila institusi atau negara membeli akses (melanggan), misal: melanggan Sciencedirect.
  2. Kalaupun jumlah dokumen OA ingin ditingkatkan mendekati 100%, maka institusi atau negara harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membayar biaya proses artikel (APC: Article Processing Charge).
  3. Biaya langganan dan biaya proses artikel OA adalah dua komponen biaya di luar dari biaya riset yang telah dikeluarkan oleh institusi atau negara. Ada komponen ketiga juga, yakni: insentif bagi penulis/peneliti yang berhasil menerbitkan makalah di jurnal dengan kriteria tertentu.
  4. Dengan demikian opsi pertama (melanggan sebanyak mungkin jurnal non OA) atau kedua (membayar APC untuk sebanyak mungkin artikel agar menjadi OA) yang dipilih, institusi dan negara akan tetap menjadi pihak yang paling banyak mengeluarkan biaya.
  5. Opsi manapun yang dipilih, penerbit jurnal adalah yang paling banyak mendapatkan manfaat (baca: keuntungan).

Dan jangan lupa, opsi manapun yang dipilih, prinsip dasarnya adalah kita harus membayar untuk membaca karya kita sendiri.

Apakah ada solusinya?

Dalam dunia yang memandang prestise lebih penting dibanding isi saat ini, maka pengarsipan mandiri (self-archiving) via repositori kampus adalah solusi sementara yang termudah sebagai jalan tengah.

Anda bebas membagikan artikel ini karena lisensinya CC-BY. Untuk menambah konteks, anda dapat mampir membaca artikel ini.

(Video penjelasan di sini https://youtu.be/BnIYU_-ar80)

Salam #terbukaatautertinggal

Dasapta Erwin Irawan

--

--

Dasapta Erwin Irawan
Good Science Indonesia

Dosen yang ingin jadi guru | Hydrogeologist | Indonesian | Institut Teknologi Bandung | Writer wanna be | openscience | R user