When the measure becomes the target
Beres dengan laporan-laporan. Saatnya blogging lagi.
Cermati gambar di atas.
Bukankah relevan dengan kondisi saat ini? Tidak hanya di Indonesia, kondisi sejenis kita temui di seluruh dunia.
Setujukah Anda?
Kalau Anda masih sulit mencerna. Saya tidak menyalahkan Anda. Bisa disimak contoh sederhana…
Kita makan saat lapar. Tubuh kita sudah sangat terlatih soal ini. Setiap impuls yang sampai ke otak, akan diterjemahkan sebagai respon. Maka setiap ada impuls yang mengindikasikan rasa lapar, maka otak akan menyuruh kita mencari makanan.
Di sini seberapa banyak makanan yang kita konsumsi merupakan fungsi dari rasa lapar. Makin lapar, makin banyak yang kita makan. Sekarang apa yang terjadi kalau yang kita membaliknya. Yang dikejar adalah porsi makanannya, tanpa mempertimbangkan selapar apa kita.
Analogi ini mungkin tidak sepenuhnya cocok dengan apa yang terjadi saat ini di lingkungan akademik. Di saat jumlah sitiran yang diminta oleh siste, maka itulah yang kita kejar, maka bukan lagi relevansi dan dampak yang dihasilkan.
Hanya angka…
Saya kutipkan sepotong paragraf dari laman jejaring akademik Scielo dari Brazil yang disampaikan oleh seorang rekan.
…But the truth is that the ISI, its indexes and the Impact Factor end up imposing an idea of mainstream science linked to those articles published in journals included in the SCI and by opposition, an idea of peripheral science, including there all that was outside of this database. The local and the international, both inseparable characteristics of scientific output became divisible in terms of the process of academic recognition: the peripheral scientists ended up circumscribed to the local circulation while the scholars of the central universities accumulated “international” scientific capital. …
Paragraf di atas menyampaikan ide dua lingkaran sains, yakni sains arusutama (mainstream science) yang berada di tengah percakapan/dialog ilmiah — yakni ilmu dari orang-orang yang menjadi perhatian karena masuk dalam ukuran-ukuran “internasional — , dan sains “pinggiran” (peripheral science). Sains yang hanya dibicarakan oleh orang-orang yang tidak berada di tengah lingkaran. Sementara itu, sudah banyak pihak sadar bahwa “sains pinggiran” tidak bisa dinafikan signifikansinya dalam pengembangan ilmu dunia.