Membuka Data Biodiversitas

Sabhrina Gita Aninta
Good Science Indonesia
6 min readDec 29, 2020

Salah satu konsekuensi dari diresmikannya UU Sisnas Iptek No 11 tahun 2019 adalah diwajibkannya menyimpan data dalam repositori yang terintegrasi secara nasional, namun masih banyak peneliti Indonesia yang mau membuka datanya. Sebagian besar kekawatiran ini perlu diatasi dan dipahami jika kita ingin menyukseskan sains terbuka di Indonesia. Saya ingin bicara dari disiplin ilmu saya: bagaimana posisi data biodiversitas?

Ketika saya pertama mengadakan Biodiverskripsi, tidak banyak universitas yang mau terlibat. Kekawatiran mereka beragam: takut tidak bisa publikasi, takut diplagiasi, takut tidak ada yang datang ke situs web universitas lagi, takut data disalahgunakan, tidak mau ada peneliti lain “enak-enak pakai data yang sudah susah payah saya kumpulkan”, dan yang menurut saya paling valid: tidak tahu apa saja dampak dari membuka data.

Seluruh kekawatiran dan pandangan ini valid, tapi ketika itu saya tidak punya waktu untuk meyakinkan semua orang. Saya memilih bekerja sama dengan kawan-kawan yang sevisi dengan saya: jika data tidak mudah diakses, data ini tidak akan bermanfaat bagi sains secara umum.

Saya menghargai hak rekan-rekan saya untuk takut, dan saya juga memutar otak mencari cara untuk meredakan ketakutan-ketakutan ini sehingga proses ilmiah kita bisa maju lebih cepat ke depan. Saya hanya akan membahas dua ketakutan yang tidak lagi relevan di masa kini.

Masih Bisa Publikasi

Ketika data yang dikumpulkan untuk menjawab suatu pertanyaan penelitian dibuka ke publik, orang-orang kawatir akan ada yang menggunakan data ini sebelum mereka “selesai”. Sayangnya, “selesai” ini biasanya ketika peneliti pensiun, dan ketika itu terjadi, biasanya data sudah terlalu kadaluarsa.

Setahu saya, tidak ada jurnal yang melarang kita melakukan publikasi lebih dari satu kali menggunakan data yang sama. Studi meta-analisis mengumpulkan hasil analisis banyak studi dari berbagai tempat untuk melihat kecenderungan suatu hipotesis terbukti atau tidak. Ketika kita ingin melakukan replikasi, perbandingan, atau studi data dari titik waktu yang berbeda, penggunaan data lebih dari satu kali tidak terhindarkan.

Banyak jurnal bergengsi di bidang saya yang sudah mewajibkan data dibagi. The American Naturalist adalah yang paling pertama; mereka bahkan tampaknya turut membentuk kebijakan Dryad, salah satu platform repositori data. Oikos, Ecology Letters, dan lain-lain turut mengikuti. Biotropica menarik kewajiban ini lebih jauh dengan menganjurkan penulis yang akan memasukkan tulisannya untuk berkolaborasi dengan pemilik data dan menyediakan opsi untuk tidak membagi data hanya jika alasan penulis masuk akal, semisal batasan dari pihak ketiga atau privasi. Privasi lebih banyak kaitannya dengan data sosial dari narasumber yang tidak ingin disebutkan namanya, data lokasi satwa atau tumbuhan yang dilindungi, atau pihak ketiga yang tidak ingin data yang dikumpulkan digunakan selain untuk penelitian yang direncanakan.

Saya akui iklim riset dan evaluasinya di Indonesia sedemikian rupa sehingga peneliti sulit sekali melakukan publikasi. Dengan demikian, mentalitas enak-saja-pakai-data-saya pun turut muncul dan cenderung menghalangi publikasi. Makin banyak jurnal dan komunitas ilmiah yang menghormati ragam kondisi yang berbeda dalam pengumpulan suatu data dan menganjurkan kolaborasi, sebagaimana yang dilakukan paper BioTIME, pangkalan data tren keanekaragaman hayati berdasarkan waktu, dengan mencantumkan SEMUA peneliti yang mengumpulkan data. Ini hanya mungkin jika jurnal tidak memberi batasan jumlah penulis, sesuatu yang makin absurd di era kolaborasi ini. Banyak jurnal juga sudah mulai memungkinkan publikasi data paper untuk memberi insentif para kolektor data untuk membuka data mereka.

Data Tidak Bisa Diplagiasi

Data tidak bisa diplagiasi karena data bukan kekayaan intelektual. Dalam kaitannya dengan data biodiversitas, informasi tentang biodiversitas itu sendiri merupakan suatu karakteristik alam. Ia tidak bisa dimiliki, dipatenkan, dan seharusnya bebas digunakan siapa pun di muka Bumi ini. Memiliki data biodiversitas dalam konteks ini sama anehnya dengan mematenkan informasi “matahari terbit dari Timur”. Mematenkan spesies adalah absurd; kita tidak bisa menghalangi anoa berenang ke Filipina atau biji cabe jawa terbang ke Jepang.

Informasi bahwa ada metabolom spesifik di spesies Lotus bukanlah kekayaan intelektual, tapi bagaimana informasi ini disusun sehingga menghasilkan pengetahuan yang bermakna lebih dari sekedar fakta seperti diplot dalam grafik atau disusun dalam pangkalan data adalah kekayaan intelektual. (Sumber: Jahu54321 CC BY SA 3.0)

Yang bisa dilindungi adalah “kekayaan intelektual” yang muncul dari data tersebut. Bagaimana data tersebut dikumpulkan, dianalisis, dan diproses, dan segala informasi baru yang timbul dari segala proses ini, adalah kekayaan intelektual. Bagaimana informasi ini dijabarkan dan dijelaskan sehingga menjadi lebih bermanfaat bagi lebih dari satu orang adalah kekayaan intelektual. Bagaimana informasi ini disusun dalam sebuah sistem sehingga bermakna sesuatu adalah kekayaan intelektual. Pangkalan data, karya tulis ilmiah, foto, adalah hak kekayaan intelektual yang bisa dimiliki peneliti dan dilindungi undang-undang.

Praktisnya, informasi bahwa ada spesies kelelawar di suatu lokasi dalam suatu waktu bukan kekayaan intelektual saya. Kekayaan intelektual saya adalah bagaimana saya menjelaskan kepada pembaca skripsi saya bahwa keberadaan mereka bermakna sesuatu. Foto kelelawar yang saya ambil dengan menunjukkan ciri khas morfologis spesies tersebut adalah kekayaan intelektual saya. Proses pengambilan gambar baik dengan kamera atau lukis tangan membutuhkan kapasitas otak manusia untuk mendapatkan sudut yang informatif untuk ilmu pengetahuan. Interpretasi konsekuensi keberadaan kelelawar tersebut juga demikian.

Inilah inti dari pangkalan data Biodiverskripsi. Kami sekedar mengumpulkan informasi ada spesies apa, di mana, kapan, dan ditemukan oleh kelompok peneliti mana. Harapan kami, informasi ini bisa menstimulus kekayaan intelektual yang bernilai lebih tinggi daripada sekedar koleksi data. Bagaimana pangkalan data Biodiverskripsi ditampilkan adalah hak kekayaan intelektual kami, namun data yang ada di dalam Biodiverskripsi bukan. Keseluruhan kalimat yang menyusun suatu skripsi atau disertasi dan bagaimana grafik data mereka disajikan adalah kekayaan intelektual; fakta yang terkumpul dari lapangan bukan.

Jika paten dipahami seperti ini, mungkin pelaksanaan access and benefit sharing dalam penggunaan biodiversitas Indonesia akan lebih mudah. Perusahaan tidak akan berusaha mematenkan spesies tapi komposisi dan cara pemrosesannya. Orang akan marah tidak lagi hanya sekedar karena ada “spesies Indonesia” yang digunakan tanpa izin tapi karena kita tidak mendapatkan alih teknologi yang diperlukan untuk mengoptimalkan kegunaan biodversitas kita.

Seberapa Pribadi Penelitianmu?

Kekawatiran lain yang sifatnya lebih personal seperti takut data disalahgunakan atau enak-saja-pakai-data-saya cukup sulit untuk saya tangani. Kekawatiran ini lebih disebabkan karena kurangnya imajinasi positif dan ketakutan kehilangan otoritas, sama halnya dengan ketakutan terhadap vaksin. Saya pernah berdebat dengan seseorang yang merasa sebaiknya sebelum masyarakat paham tentang etika publikasi, karya-karya publikasi tidak dibuka cuma-cuma agar tidak diplagiasi mahasiswa yang malas menulis skripsinya sendiri.

Mengapa menyalahkan alat untuk kelakuan manusia? Jika suatu teknologi dan pendekatan dirasa menghasilkan keburukan, bukankah tidak baik membatasi masyarakat dari kebaikannya, apalagi kalau kebaikannya jauh lebih banyak? Apakah karena data Kawal COVID-19 terus menerus dipakai pemerintah tanpa mencantumkan kredit atau mengubungi tim relawannya, kita harus menutup platform Kawal COVID-19?

Data-data kita hanyalah sekelumit potongan dari seluruh semesta yang dapat membentuk gambaran yang lebih besar jika dipertemukan dan disusun bersama-sama. (Sumber: Pixabay)

Kalau kita terus menerus fokus mencari instrumen hukum untuk menghalangi plagiasi dan tidak memperkuat kreativitas dan kemampuan sintesis sumber daya manusia kita sendiri, kita tidak akan jalan ke mana-mana. Konsep plagiasi itu sendiri beracun ketika mendorong orang untuk berkutat dalam kebijakan yang reaktif alih-alih menelisik akar kesulitan dari proses kreatif. Insentif untuk proses kreatif belum paripurna ketika regulator hanya fokus menghukum plagiator karena selalu ada cara yang semakin kompleks untuk mencurangi sistem.

Saya harap saya sudah meyakinkan pembaca tentang keuntungan membuat data yang dikumpulkan lebih mudah diakses dan dianalisis ulang oleh rekan-rekan peneliti. Terutama untuk peneliti Ekologi dan Evolusi, tren ini sudah banyak diadopsi beberapa jurnal dan panduan membuat data lebih mudah diakses ada di sini. Memang penelitian ada beragam jenisnya dan tidak semua kondisi pengumpulan data memungkinkan data dibuka. Namun, jika kedua alasan utama yang tampaknya substansial untuk karir peneliti tersebut tidak bisa lagi menjadi alasan untuk tidak membuka data, perlu ditanyakan kembali sesungguhnya apa makna penelitian yang dilakukan. Untuk siapa?

Bergerak menuju sistem yang berbeda dalam menjalankan sains pun menimbulkan diskusi pro-kontra tersendiri, namun saya yakin masa depan kita ada di akses ilmu pengetahuan untuk seluruh lapisan masyarakat. Pepatah mengatakan, jika kita ingin maju cepat, jalanlah sendiri-sendiri, namun jika ingin maju jauh, jalanlah bersama-sama.

Originally published at http://catataniga.wordpress.com on December 29, 2020.

--

--

Sabhrina Gita Aninta
Good Science Indonesia

I am researching South East Asian endemics through their DNA and collecting all kinds of biodiversity data.