Penilaian Sejawat Setelah Publikasi, Mengapa Tidak?

Sabhrina Gita Aninta
Good Science Indonesia
4 min readSep 5, 2021

Baru-baru ini, jurnal ilmu hayati eLife menyatakan bahwa mereka akan melangsungkan penilaian sejawat (peer-review) setelah artikel dipublikasikan. Setelah. Lebih jelasnya, eLife tidak hanya menerima dan mendukung artikel ilmiah dalam bentuk pre-print; mereka bahkan hanya akan mempertimbangkan suatu artikel dalam proses publikasi jika suatu artikel sudah tersedia dalam bentuk pre-print.

Tidak perlu mempertanyakan indeks Scopus ataupun Impact Factor dari eLife. eLife pun tidak peduli; tidak ada sedikitpun jejak indeks-indeks itu di laman utama jurnal mereka. Semua yang banyak bergerak di bidang ilmu hayati pasti pernah mendengar tentang eLife walau sekelebat. Jurnal ini banyak mempublikasikan artikel di bidang Biologi. Berkat kebijakan open peer-review yang dilakukan eLife, kita juga bisa menyaksikan langsung di setiap artikel jurnal tersebut bahwa komentar dan diskusi yang berlangsung di balik evaluasi suatu artikel cukup substansial dan tepat sasaran.

Sejak pre-print populer di kalangan akademisi, orang berlomba-lomba melakukannya, setidaknya untuk peneliti yang berkiprah di bidang yang bergerak lumayan cepat semisal genomik. Di berbagai belahan dunia, peneliti terus menghasilkan data genom untuk dianalisis dan menghasilkan ilmu baru tentang makhluk hidup, mulai dari varian nukelotida penyebab penyakit hingga dampak jangka panjang proses evolusi terhadap banyak sel-sel kita. Untuk bidang yang majunya lumayan cepat seperti genomik, publikasi preprint tidak bisa tidak. Terlalu lama jika penelitian harus menunggu diulas dulu selama beberapa minggu, sebelum akhirnya melalui copy-edit dan tata letak. Apa dampaknya?

Contoh dari Genetika Konservasi

Saya ingin menyorot satu pre-print yang populer di bidang saya, yang berjudul “High genetic diversity can contribute to extinction in small populations” oleh Kyriazis et al (2019). Penelitian ini merupakan studi simulasi yang, seperti judulnya katakan, menemukan bahwa populasi kecil yang menerima individu dari populasi besar dengan keanekaragaman tinggi justru memiliki risiko kepunahan lebih tinggi karena mendapatkan lebih banyak macam mutasi berbahaya yang ada dalam populasi besar.

Perlu diketahui bahwa dalam dunia genetika konservasi, mayoritas mengenal “paradigma populasi kecil” (small population paradigm) yang juga merupakan postulat inti ilmu biologi konservasi: populasi yang berukuran kecil akan cenderung mengalami perkawinan sekerabat sehingga mutasi berbahaya yang sebelumnya tersembunyi karena ditutupi jenis keanekaragaman yang berbeda akan muncul kembali di keturunan selanjutnya karena bertemunya keanekaragaman yang sama. Dengan kata lain, temuan Kyriazis et al (2019) menantang paradigma populasi kecil yang dianut mayoritas komunitas genetika konservasi ketika ia mengatakan bahwa populasi besar cenderung memiliki lebih banyak risiko.

Preprint ini belum tayang di jurnal mana pun dan sudah mengundang komentar yang dipublikasikan di jurnal ilmiah. Ralls et al (2020) memaparkan banyak sekali kritik terhadap preprint tersebut dalam jurnal Biological Conservation, mulai dari mengingatkan kembali tentang banyaknya dokumentasi tentang kesehatan genetik populasi besar, parameter simulasi yang kurang realistis, dan masih banyak lagi. Para penulis dalam Kyriazis et al (2019) pun menjawab kritik tersebut dalam versi kedua pre-print mereka dan mengganti judulnya menjadi “Strongly deleterious mutations are a primary determinant of extinction risk due to inbreeding depression” (Kyriazis et al 2020). Publikasi ini akhirnya muncul di jurnal Evolution Letters dalam judul yang sama beberapa waktu lalu dengan narasi dan tampilan analisis yang lebih rapi. Seluruh kisah ini saya sajikan di blog komunitas The Molecular Ecologist.

Tetap Kritis Setelah Publikasi

Kisah pre-print Kyriazis et al (2019) seharusnya menjadi pengingat bagi komunitas ilmiah bahwa penelitian kita seharusnya tidak berhenti setelah publikasi. Artikel ilmiah yang baik dikurasi oleh komunitas dengan kajian dan komentar demi terus meningkatkan kualitas ilmiah suatu topik penelitian. Ini penting untuk mengarahkan perkembangan ide dan konsep di suatu bidang agar kita tidak terjebak menanyakan pertanyaan yang salah.

Kisah tersebut juga bukti nyata bahwa pre-print mengundang lebih banyak “pemantau” yang dapat memberikan komentar daripada pengulas yang dipilih secara arbitrer oleh jurnal ilmiah. Saya yakin paper Kyriazis et al tidak akan sebagus sekarang tanpa ia menaruh hasil simulasi awalnya di dalam bioRxiv dan sekedar menunggi proses peer-review internal jurnal tujuannya yang entah mendapat reviewer macam apa.

Artikel yang ditulis dengan baik dan penelitian yang tepat sasaran menjawab jurang pengetahuan suatu bidang akan menarik lebih banyak orang untuk membaca dan memikirkan artikel tersebut, seperti bunga yang berhasil menarik banyak polinator (Sumber ilustrasi: Maxpixel — CC0)

Komunitas akademik ilmiah internasional, setidaknya di bidang sejarah alam, telah lama melakukan ini. Konsep garis Wallace yang saat ini populer kita gunakan untuk memisahkan area dengan biodiversitas berbeda dulu juga ditempa komentar-komentar skeptis para naturalis abad ke-20 melalui paparan dan analisis data panjang semisal yang ditulis oleh Ernst Mayr pada tahun 1944, George Gaylord Simpson pada tahun 1977, Holt et al (2013) dan sampai saat ini terus dikritisi dengan banyaknya penelitian biogeografi baru.

Saat ini, beberapa jurnal ilmiah pun mengakomodir korespondensi ini dengan rubrik khusus semisal “Letter”, “Commentary”, “Perspective”, atau sejenisnya. Namun, entah mengapa rubrik-rubrik ini tidak populer di jurnal-jurnal ilmiah Indonesia dan tidak terlalu sering digunakan komunitas ilmiah itu sendiri. Padahal, karya ilmiah yang baik adalah yang terus hidup bersama waktu, menjadi percontohan peneliti generasi berikutnya. Ketika tulisan cukup menarik dan berkontribusi signifikan dalam narasi dan paradigma yang berkembang di tengah masyarakat ilmiah, ia akan menarik perhatian, di mana pun tempatnya.

--

--

Sabhrina Gita Aninta
Good Science Indonesia

I am researching South East Asian endemics through their DNA and collecting all kinds of biodiversity data.