Selamat Hari Pendidikan Nasional 2021

Dasapta Erwin Irawan
Good Science Indonesia
5 min readMay 2, 2021
Photo by Sharon McCutcheon on Unsplash

Oleh: Dasapta Erwin Irawan dari RINarxiv

Setiap tahun kita diberi kesempatan merenung.

Setiap tahun kita diberi kesempatan berpikir.

Setiap tahun kita diberi kesempatan berubah.

Setiap tahun pula kita memilih untuk tidak bergeming.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2021.

Berikut ini adalah sebuah refleksi kami berdasarkan pengamatan visual selama setahun terakhir yang tidak memperlihatkan perbedaan dengan tahun-tahun sebelumnya, selain serangan wabah yang belum terlihat ujung akhirnya. Sebagian dari apa yang kami tuliskan di sini didukung dengan berbagai rujukan yang akan kami lengkapi pada kesempatan berikutnya. Jadi ikuti perkembangannya di tautan yang sama.

Salam dari RINarxiv

Kenapa kami berpikir seperti itu?

Tentu Anda bisa berpikir hal yang lain. Tetapi kami konsisten menyuarakan demokratisasi pengetahuan dan pentingnya diseminasi luas dalam pendidikan.

Tridarma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat/PKM) adalah sebuah mantra sekaligus jalan hidup para dosen di Indonesia. Kami pikir ini tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga di dunia (teaching, research, services), walau tidak seeksplisit dan seformal di Indonesia.

Tiga darma tersebut dihimbau untuk selalu seimbang. Namun demikian di saat yang sama, di manapun di dunia ini, darma penelitian adalah selalu yang menjadi fokus perbincangan, pengembangan, dan pendanaan serta kebijakan.

Tentu semua orang akan membantah, terutama yang sedang menjabat struktural di tingkat perguruan tinggi maupun di tingkat nasional. Mereka akan berargumentasi, bahwa aktivitas di perguruan tinggi dan kebijakan nasional telah mencerminkan keseimbangan untuk ketiga darma tersebut.

Research has been valued and given priority over teaching for a long time in academia. In recent decades, the Taiwanese Ministry of Education has pursued objective and quantitative research criteria and has encouraged higher education institutions to ask teachers to publish papers in SSCI or SCI journals as part of the criteria for promotion and evaluation. (https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1064434.pdf)

https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1064434.pdf

Namun demikian sebenarnya ketimpangan masih sangat terlihat. Kalaupun mungkin tidak tampak dalam hal sejauh mana suatu darma didanai atau diatur, tapi masih tampak dalam hal sejauh mana suatu darma dibicarakan, dikembangkan, dan diatur.

Perbincangan di manapun akan sangat kental nuansa riset dibanding pendidikan dan PKM. Di media sosial kerap kali yang kita lihat adalah kebanggaan seorang dosen atau peneliti ketika artikelnya terbit di jurnal ternama, tapi sangat jarang ada yang menayangkan kegiatannya yang terkait dengan pendidikan (selain membagikan layar Zoom-nya) atau kegiatan PKMnya.

Rankings devalue the role of these ‘niche’ players in the higher education ecosystem and distort the policy signals in many nations.(https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ877049.pdf)

Demikian pula dalam hal pengembangan. Mayoritas berita, seminaring, ajakan, himbauan, tip dan trik, adalah tentang bagaimana meningkatkan kualitas riset dan publikasi. Jejaring internasional seringkali dikesankan sebagai suatu obyek yang bersifat praktis, yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah publikasi dan sitasi.

modified from original version by xkcd using a tool by Guillaume Levrier

Surutnya budaya berpikir kritis

Budaya untuk berpikir kritis juga masih belum meningkat. Salah satu buktinya adalah makin cepatnya merebaknya berita bohong (hoax) dibanding telaah ilmiah. Dengan mudah ibu jari kita menekan tombol “share” sebelum ada investigasi sebelumnya. Tentu semuanya pernah melakukan ini, termasuk kami, karena itu artikel ini sekaligus sebagai pengingat untuk kami juga.

Adalah Brian Schmidt, peraih Anugrah Nobel di bidang fisika tahun 2011, yang saat ini menjabat sebagai Vice-Chancellor (Wakil Rektor) Australia National University yang menyatakan bahwa pemeringkatan global telah mendistorsi keputusan universitas.

Global rankings are distorting universities’ decisions, says ANU chief (https://www.smh.com.au/national/global-rankings-are-distorting-universities-decisions-says-anu-chief-20201111-p56do9.html)

Catatan visual oleh Dasapta Erwin Irawan (tersedia di Wikimedia CC0)

Dan Brian Schmidt bukan satu-satunya.

Ada Stephen Curry dari Imperial College London yang menggiatkan kesadaran untuk berpikir kritis terhadap berbagai pemeringkatan melalui Deklarasi DORA.

Changing How We Evaluate Research Is Difficult — but Not Impossible (https://science.thewire.in/the-sciences/dora-changing-how-we-evaluate-research-is-difficult-but-not-impossible/)

Selain dua Guru Besar tersebut, ada banyak yang lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Bagaimana dengan posisi Guru Besar dari Indonesia? Apakah ada yang berpikir bahwa banyak sekali bias dalam cara kita menilai riset.

dari SFDORA

Kenapa harus dibuat pemeringkatan?

Percayalah kami juga tidak bisa menjawab dengan pasti. Jawabannya sepertinya sudah diturunkan dari satu generasi pengelola pendidikan tinggi ke generasi berikutnya, sehingga sudah tidak dapat diketahui dengan pasti apa alasan awalnya. Seringnya jawaban yang diberikan berkaitan dengan kualitas, reputasi, dan benchmarking.

Alih-alih menjawabnya, kami akan menyampaikan analoginya.

tampilan layar pembuka Lotus123 versi DOS (dari guidebookgallery)

Anda semua pasti tahu Microsoft Office (MO). Menurut kami, MO adalah salah satu analogi yang tepat untuk menceritakan masalah pemeringkatan. Masih ingat pada akhir 90an atau awal 2000an MO telah menjadi standar rekrutmen di mana-mana. Dulu kita sering membaca iklan lowongan pegawai yang mensyaratkan “mahir MO”. Padahal dulu yang namanya aplikasi perkantoran (office suite) kan bukan hanya MO buatan Microsoft. Ada Lotus123 dan AmiPro yang pada akhirnya dibeli oleh IBM, ada WordPerfect yang kemudian dibeli oleh Corel dll. Sebelumnya pasti ingat ada WordStar dan ChiWriter.

Tampilan layar AmiPro versi Windows (dari winworldpc)

Bahkan berbagai laboratorium di perguruan tinggipun meminta calon asisten mahasiswa agar mahir MO. Maraknya permintaan tersebut dalam rekrutmen, berlanjut dengan berbagai lembaga pelatihan yang memasang iklan kursus MO, dari tingkat dasar hingga mahir. Pada akhirnya Microsoftpun menerbitkan kursus resmi dengan sertifikat internasional. Pasar kerja berubah. Kalau tidak punya sertifikat itu dianggap bukan pakar MO tingkat internasional. Padahal kursus di lembaga pendidikan komputer lokal pun, tingkat kemahirannya juga sama.

Tampilan layar WordStar (dari Wikipedia)

Saat ini kita bahkan sudah tidak peduli lagi bahwa Bill Gates pada tahun 1998 pernah dituduh memonopoli produk sistem operasi oleh Pemerintah AS. Kita juga sudah tidak peduli lagi bahwa sejak lama ada alternatif lain yang gratis bahkan kode terbuka, seperti: Libreoffice dan Openoffice.

Tampilan layar ChiWriter (dari Nomdo.nl)

Nah kita ini, perguruan tinggi, menggunakan instrumen pemeringkatan sudah seperti berbagai kantor yang dulu memasang syarat “mahir MO”. Saking sudah lamanya dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, kita sudah tidak tahu lagi mengapa harus pakai pemeringkatan. Ditambah lagi dengan surutnya kemauan untuk berpikir kritis.

Jadi pada akhir cerita, semua senang, semua nyaman, semua dapat uang dalam porsi masing-masing. Kalaupun bukan uang, mereka akan mendapatkan keuntungan non finansial (intangible). Ini kalau dalam kamus ekonomi namanya neoliberalisme. Jadinya tidak ada yang ingin berubah, karena tidak pernah merasa ada masalah.

Tulisan di atas memang bernuansa nostalgia dan tidak menjawab pertanyaan secara langsung. Semoga tepat analoginya. :)

Selamat pagi. Selamat Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2021.

--

--

Dasapta Erwin Irawan
Good Science Indonesia

Dosen yang ingin jadi guru | Hydrogeologist | Indonesian | Institut Teknologi Bandung | Writer wanna be | openscience | R user