slide presentasi: dibagikan atau tidak?

Dasapta Erwin Irawan
Good Science Indonesia
5 min readAug 12, 2019

Beberapa hari yang lalu, saya menyebarkan jajak pendapat ringan di dinding Facebook saya tentang kebiasaan para sejawat saat presentasi, apakah mereka membagikan slide tayangan atau tidak, dan bagaimana caranya mereka melakukannya. Bagi anda yang sudah sering membaca pesan-pesan saya, maka jelas, jawabnya adalah harus dibagikan. :).

pasupati dari bawah (dasaptaerwin Pexel CC-0)

Secara umum jawaban yang saya dapatkan adalah mereka membagikan slide tayangan. Tanggapan tidak membagikan saya dapatkan dari kanal komunikasi yang berbeda. Kita bahas dulu yang terakhir ya.

Jadi intinya ada respon tidak membagikan slide tayangan, terutama saat tayangan tersebut membagikan hasil sementara dari suatu riset atau hasil akhir tetapi belum diterbitkan dalam format makalah jurnal. Alasannya adalah kalau slide dibagikan, maka dikhawatirkan ada pihak yang mengetahuinya dan menerbitkan makalah lebih dulu dibanding narasumber.

Bagian kesatu: Memilih tidak membagikan slide tayangan

Banyak juga yang memilih untuk tidak membagikan slide tayangan, bahkan tidak ingin presentasinya direkam atau diketahui pihak lain yang tidak terkait langsung dengan riset. Saya mencoba untuk menyampaikan lima pertimbangan.

Pertimbangan kesatu

Di Abad ke-21, peneliti justru berlomba untuk menyebarkan hasil risetnya seawal mungkin, bahkan melalui media sosial yang awalnya tidak dianggap sebagai kanal komunikasi sains. Media sosial yang tadinya hanya berupa blog, kemudian berkembang menjadi Facebook, Twitter, dan berikutnya Instagram dapat menjadi media penayangan riset saat ia berjalan. Memang bukan menjadi media format, tetapi banyak sekali peneliti menggunakannya untuk membina komunikasi dengan kolega dan publik.

Photo by Aubrey Rose Odom on Unsplash

Pada banyak bidang ilmu, mengumumkan pengetahuan baru bukanlah lagi menancapkan bendera kepemilikan ke atasnya, tapi lebih kepada mencari peluang kolaborasi yang baru. Pastinya ada bidang ilmu tertentu yang bergerak di bagian hilir yang dekat dengan industri yang masih mengejar paten, tetapi yakinlah itu tidak banyak. Bagi bidang ilmu lainnya yang jauh dari sisi hilir, jangan dicari-cari hubungannya.

Pertimbangan kedua

Walaupun sampai saat ini jurnal akademik adalah outlet formal yang diakui, tetapi zaman telah berkembang, dari sejak Gutenberg pertama kali membuat mesin cetak di abad ke-15. Jurnal akademik sudah bukan lagi satu-satunya outlet untuk menyebarkan hasil riset, misal: preprint, blog akademik. Preprint adalah makalah final yang belum melalui proses peninjauan sejawat (peer review). Walaupun belum melalui proses tersebut, tapi sudah banyak lembaga yang mengakuinya sebagai luaran riset dalam laporan interim, diantaranya: NIH. Tidak perlu menunggu makalah terbit di jurnal secara formal sebelum mendaftarkannya sebagai luaran riset.

Photo by Cristina Gottardi on Unsplash

Pertimbangan ketiga

Jenis publikasipun telah berkembang pesat. Tidak hanya makalah berjenis riset orisinal atau riset lengkap saja, tetapi sejak lama juga ada makalah komunikasi singkat (short communications), tinjauan literatur (literature review). Jadi intinya, tidak perlu menunggu riset komplit sebelum dipublikasikan. Jadi sebenarnya bukan kepemilikan terhadap pengetahuan melalui status kepenulisan yang penting, tetapi kolaborasi.

Saat ini Nature bukan satu-satunya yang menerbitkan makalah komunikasi singkat. Bahkan ada juga jurnal yang menerima ide riset. Nanti saya beri contoh tulisan saya sendiri.

Photo by israel palacio on Unsplash

Pertimbangan keempat

Setidaknya di bidang ilmu saya, ilmu kebumian yang bersifat deskriptif, setiap titik di alam akan memiliki originalitas sendiri. Bahkan analisis dan interpretasi dari dua orang terhadap satu titik yang sama bisa berbeda. Menarik bukan. Tapi saya percaya kondisi di atas tidak hanya berlaku untuk ilmu yang bersifat deskriptif, tetapi juga yang bersifat eksperimental. Empat tahun lalu saya pernah menulis tentang originalitas, apa saja tipenya, dan bagaimana cara mendapatkannya.

Photo by Gavin Allanwood on Unsplash

Pertimbangan kelima

Tidak menyebarkan hasil riset dengan berbagai cara pada akhirnya dapat dihubungkan dengan membatasi akses masyarakat kepada pengetahuan. Terdengar klise, tapi ini sesungguhnya sangat berkaitan karena ada komponen lainnya, yakni prestis, yang sangat mendominasi hingga saat ini. Seorang peneliti belum dianggap hebat atau bereputasi sebelum menerbitkan makalah di jurnal-jurnal tertentu. Ini yang kemudian membawa nafas kompetisi di semua lini riset. Rasa khawatir risetnya akan “dicuri” atau didahului orang lain menjadi sangat besar. Karena sebab itu, mereka mereka memilih untuk menunda mengumumkan hasil riset sebelum makalahnya terbit.

Photo by Uriel Soberanes on Unsplash

Pertimbangan terakhir

Pertimbangan saya yang terakhir sangat sederhana, kalau memang riset bersifat sangat rahasia dan atau anda sangat takut ada pihak lain yang akan mencurinya atau akan mendahului menerbitkan makalah, kenapa anda presentasikan riset anda di acara publik? Sudah saya lakukan sendiri, laporkan sendiri, gunakan peralatan pribadi di rumah sendiri yang dipagar tinggi dan dikunci dengan banyak gembok.

Photo by Gino Messmer on Unsplash

Bagian kedua: Bagaimana cara membagikan slide tayangan?

Bagian yang ini untuk menanggapi kesediaan narasumber untuk membagikan slide tayangan. Ada tiga cara biasanya:

  • Opsi ke-1: melalui USB drive ke para peserta saat diminta,
  • Opsi ke-2: serahkan ke panitia, atau
  • Opsi ke-3: unggah secara mandiri ke repositori atau media daring lainnya.

Untuk opsi ke-1, lebih baik kita lupakan. Membagikan berkas melalui USB drive sebenarnya tidak berbeda dengan 30 tahun yang lalu saat disket masih menjadi media penyimpan berkas utama.

Disket Wikipedia CC-0

Opsi ke-2 melalui panitia. Ini bisa dipilih, tetapi seringkali ada beberapa kendala:

  1. seringkali panitia tidak memikirkan tentang menyediakan slide tayangan untuk akses publik,
  2. atau panitia terpikir untuk mengarsipkannya, tetapi hanya dalam bentuk tercetak, dengan alasan dengan format tercetak dapat diajukan kode ISBNnya,
  3. atau panitia terpikir untuk mengarsipkannya secara daring, tetapi tidak memenuhi kaidah FAIR (findable, accessible, interoperable, reusable).

Kenapa harus memenuhi kaidah FAIR, pembaca dapat membaca makalah ini. Bila panitia melakukan nomor 3, maka karya penulis bisa jadi belum dapat ditemukan oleh mesin pencari, walaupun dapat diakses, tapi tidak dapat digunakan ulang dengan mudah. Bila panitia melakukan nomor 2, maka karya jelas tidak dapat ditemukan secara daring. Untuk nomor 1 jelas, bahwa beban pengarsipan ada pada penulis. Tersisalah Opsi ke-3, pengarsipan daring dilakukan secara mandiri oleh narasumber. Untuk itu pembaca saya undang untuk membaca makalah ini.

--

--

Dasapta Erwin Irawan
Good Science Indonesia

Dosen yang ingin jadi guru | Hydrogeologist | Indonesian | Institut Teknologi Bandung | Writer wanna be | openscience | R user