Tentang membebaskan sains dari kolonialisme
Minggu ini baru saja ada artikel ilmiah baru keluar di salah satu jurnal Nature Ecology and Evolution, tentang cara membebaskan sains dari kolonialisme, atau bahasa bekennya “decolonizing science”. Beberapa poin dibahas dengan konteks bagaimana penelitian di bidang Ekologi dan Evolusi selama ini dilakukan, namun menurut saya sebagian besar cukup bisa diaplikasikan di bidang lain. Saya ingin membahas poin-poin tersebut dan kaitannya dengan ide bahwa sains di Indonesia dapat mengevaluasi proses ilmiah mereka dengan hal-hal yang relevan dengan Indonesia itu sendiri.
Apa itu kolonialisme sains?
Di dunia sains Barat setidaknya, mulai ada panggilan untuk men-dekolonisasi sains. Dengan kata lain, menghilangkan pengaruh kolonialisme dalam cara kita melakukan sains secara umum. Indonesia yang beberapa kali jadi subyek “sains helikopter” di mana hubungan kolaborasi antara peneliti asing dan peneliti lokal tidak imbang secara intelektual mungkin cukup relevan dengan ini, tapi dekolonisasi sains jauh lebih dalam artinya daripada sekedar meregulasi keterlibatan peneliti tanpa paspor hijau bergambar Pancasila. Dekolonisasi sains adalah proses menghilangkan cara pikir Barat dalam bersains. Saya coba beri contoh dari bidang saya.
Dalam Ekologi, salah satu pendahuluan paling terkenal dalam penelitian tropis adalah dengan membahas betapa keanekaragaman hayati di wilayah ekuator sangat tinggi, jauh dibanding wilayah lintang yang lebih utara atau selatan. Pertanyaan yang dilakukan adalah seputar menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman hayati, semisal sejarah geologi wilayah, produktivitas wilayah tersebut, dan lain sebagainya.
Namun, pertanyaan bahwa keanekaragaman hayati di ekuator sangat tinggi hanya akan datang dari orang-orang yang seumur hidupnya tidak pernah menemui lebih dari tiga jenis kumbang setiap 10 km jalan. Tentu saja orang seperti ini akan terheran-heran melihat ragam jenis kupu-kupu, burung, dan kumbang hanya dengan berdiam diri selama 30 menit di satu titik. Masyarakat yang sudah lama tinggal dengan keanekaragaman ini tidak akan menganggap ragam jenis burung dan pohon yang tiap hari mereka temui itu mengherankan. Mereka mungkin justru akan heran jika datang ke Eropa dan mendapati hanya ada lima jenis tumbuhan yang bisa digunakan untuk membumbui makanan di dapur mereka.
Pertanyaan tentang mengapa keanekaragaman hayati di wilayah ekuator, termasuk Indonesia, sangat tinggi adalah sisa sains kolonialisme. Pertanyaan yang ada di benak naturalis barat tentang mengapa suatu wilayah berbeda dari wilayah mereka. Jika masyarakat dari ekuator yang entah bagaimana menjadi “penjajah” dan membangun koloni di belahan Bumi Utara dan menjadi penggerak sains Ekologi saat ini, pertanyaan yang akan ramai dibahas justru, mengapa keanekaragaman hayati begitu rendah ketika kita menjauhi wilayah ekuator?
Dari sini, kita bisa melihat bahwa sains Indonesia bisa berbeda jauh dari sains barat karena perbedaan kerangka pikir dan itu harus dipertahankan. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, pertanyaan mengapa keanekaragaman hayati kita tinggi tidak relevan. Yang paling relevan adalah bagaimana pemanfaatannya optimal untuk masyarakat. Tentu, dengan mendapatkan kerangka pikir dari luar kita mendapatkan cara pandang baru yang membuat kita mengapresiasi apa yang selama ini kita lewatkan dari tempat kita tinggal sejak lahir. Namun, memperkaya sudut pandang kita tidak perlu dilanjutkan dengan mengekor sudut pandang yang berbeda tersebut dan melupakan cara membangun sudut pandang sendiri.
Bagaimana cara mendekolonisasi sains di Indonesia?
Dalam artikel yang saya sebutkan di awal tulisan ini, para penulisnya merangkum berbagai cara untuk mendekolonisasi sains dalam lima bagian: (1) dekolonisasi pikiran, (2) memahami sejarah, (3) dekolonisasi akses, (4) dekolonisasi kepakaran, dan (5) praktik etika dalam tim yang inklusif.
Dekolonisasi pikiran menurut saya cukup fundamental. Hal ini berawal dari menyadari bahwa dominasi bahasa Inggris dalam sains mengurangi keterlibatan ilmu dalam bahasa lain. Pemisahan manusia dari alam yang terkenal mendominasi diskusi biologi konservasi tahun 1960an adalah hasil pemikiran Renaisans; tidak sedikit bahasa lain di belahan Bumi lain memasukkan kata “manusia” dalam kata yang mendefiniskan “alam”, membuat konsep pemisahan manusia dari alam itu sangat absurd untuk beberapa kebudayaan termasuk banyak suku di Indonesia. Tak heran jika banyak konsep pembangunan daerah yang terlalu banyak mengadopsi cara pikir ini selalu bentrok dengan masyarakat adat!
Tak hanya hal ini membuat peneliti dengan bahasa ibu bukan Inggris harus membangun kerangka pikir baru dalam bahasa lain, sisa kolonialisme dari bahasa juga menghilangkan banyak makna suatu kata ketika diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Saya menyadari ini ketika berusaha menerjemahkan suatu konsep yang bermula dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia; banyak sekali arti yang hilang. Hal sebaliknya juga terjadi ketika kita berusaha mengenalkan suatu konsep dalam bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Beberapa nama hewan atau tumbuhan lokal dalam berbagai kebudayaan, misalnya, sudah mengandung ilmu kebudayaan tersebut tentang biologi mereka beserta kegunaannya, yang hilang ketika dipaksa diterjemahkan ke dalam sistem nama dua kata dalam bahasa Latin yang kita kenal saat ini dengan nama ilmiah spesies.
Dekolonisasi pikiran juga termasuk memikirkan ulang cara kita mendistribusikan pengetahuan. Tradisi oral sebagian besar masyarakat asli Indonesia, sebagai contoh, dengan segala ragam dialek, fonetik, dan cengkok kalimatnya memiliki informasi sendiri yang tidak selalu dapat dikodifikasi dengan bahasa tertulis. Simbolisme pengetahuan dalam artefak adat juga merupakan bentuk komunikasi ilmu yang memiliki aspek tiga dimensi. Kemajuan teknologi saat ini seharusnya memudahkan kita untuk mengawetkan berbagai jenis distribusi informasi dari berbagai ragam budaya.
Kemauan untuk mengenal dan memahami potensi sains Indonesia dalam kaitannya dengan menjadi “yang terdepan dalam sains global”, menurut saya, agak tertutup dengan evaluasi riset yang terlalu menitikberatkan pada metrik-metrik internasional yang tentu saja didominasi dunia sains barat beserta segala sudut pandang mereka tentang apa yang penting dalam proses ilmiah dalam level teknis. Tentu, proses ilmiah seharusnya adalah sesuatu yang universal dan substansinya disepakati secara global. Namun, pada tataran teknis, evaluasi riset tidak perlu sama di setiap negara. Sebagai contoh, cara kita melaporkan hasil proses ilmiah tidak harus lewat artikel ilmiah yang sarat jargon; bisa dengan artikel yang lebih populer atau bahkan infografis atau vlog. Ketika artikel ilmiah sarat jargon yang sudah capek-capek ditulis itu hanya sedikit dibaca dan disitasi, dampaknya tidak lebih tinggi daripada vlog komunikasi sains yang viral dan menimbulkan diskursus publik hingga kemauan politik.
Saya menyarankan pembaca mengunjungi langsung artikel tersebut untuk turut melihat referensi yang mereka angkat dari budaya lain semisal Afrika dan Amerika Selatan. Untuk memahami sejarah dalam rangka dekolonisasi, misalnya, publikasi ilmiah mulai melakukan apa yang mereka sebut “pengakuan lahan”, yakni mengakui bahwa lokasi penelitian mereka adalah sisa produk kolonialisme. Sebagai contoh, Cagar Alam adalah produk kolonial yang memarjinalkan peran penduduk lokal dalam membangun kehidupan yang seimbang dengan alam dengan mengeksklusi mereka secara total. Begitu juga dengan koleksi spesimen dan artefak dalam museum publik dan privat di berbagai belahan dunia.
Sisanya, dekolonisasi akses dan kepakaran, mungkin sudah cukup familiar di mata dan telinga sebagian besar peneliti Indonesia. Bahwa publikasi dan data harus mudah diakses secara global, konferensi di tempat yang mudah diakses segala kalangan, lebih banyak partisipasi kepakaran dan sudut pandang lokal bahkan di luar dunia akademis itu sendiri, dan upaya meruntuhkan sistem senioritas dan relasi kuasa tak berimbang antarpeneliti beda pangkat/gelar/jabatan/lembaga asal yang tidak produktif.
Dalam membangun sains yang bebas dari pengaruh kolonialisme, peneliti Barat telah memulai diskursus tentang pentingnya tim peneliti yang beragam dan inklusif. Hal ini perlu kita adopsi dalam kaitannya dengan meruntuhkan ego sektoral yang dimiliki tiap disiplin, dialog antara sains dasar dan terapan, dan lebih banyak diskursus interdisiplin.
Tambahan yang sangat relevan untuk Indonesia, menurut saya, adalah untuk setiap peneliti merefleksikan kembali makna bersains di Indonesia. Untuk apa kita penelitian? Apa yang sebenarnya sedang kita lakukan? Mengapa suatu pertanyaan penting untuk dikejar dalam sebuah penelitian? Sebagaimana peneliti diharuskan jujur dengan proses ilmiahnya, dalam hal ini peneliti perlu jujur dengan dirinya sendiri. Setelah itu, kita perlu menyambut ajakan dekolonisasi ini dengan bersuara lebih nyaring tentang proses sains yang unik khas masyarakat kita sendiri, oleh, dari, dan untuk masyarakat.