#1 Penyikapan UU MD3 dan RKUHP

Opini Lilienthal
Opini Lilienthal
Published in
3 min readApr 12, 2018

Ditulis oleh: Taufiqulhakim Ramadhan (PN15021)

Tahun politik yang akan dihadapi di Indonesia pada 2 tahun ke depan menjadi salah satu bahasan yang menurut saya sangat perlu diperhatikan dengan hati-hati oleh seluruh elemen negara. Pada setiap detiknya, akan selalu ada usaha dari berbagai pihak untuk mencapai kepentingan pribadi/kelompoknya. Begitulah politik bekerja. Masih pada masa penyambutan hadirnya 2018, perpolitikan yang menarik perhatian pada permukaan elemen masyarakatpun hadir, dengan muncul dan disahkannya revisi UU MD3 oleh DPR lewat sidang paripurnanya, yang ketika itu perhatian masyarakat pun masih tertuju pada penyusunan RKUHP yang terburu — buru dan dianggap menjadi bentuk infiltrasi negara ke dalam ruang privat dan sangat mempengaruhi LSM yang ada.

RKUHP, atau Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah suatu pedoman hukum yang digunakan untuk menindak perlakuan pidana yang dilakukan oleh seorang, sehingga seharusnya pasal didalamnya pun dapat diterima oleh seluruh masyarakat agar tidak ada kecenderungan kekuatan hukum pada suatu kelompok masyarakat. Namun pada kenyataannya, terdapat pasal yang dinilai sangat merampas ruang privat. Ambillah misalnya pasal 263 ayat (1) pada RKUHP yang berisikan “Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV” yang akan mengancam hak-hak sipil warga negara tentang kebebasan berekspresi dan kritikan konstitusi.

Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) juga merupakan perundang-undangan yang mengatur tentang lembaga-lembaga tersebut. Pada pengesahannya, rancangan UU MD3 melakukan revisi pada 3 pasal yang intinya berdampak pada berhaknya DPR melakukan panggilan paksa, mengambil langkah hukum bagi yang merendahkan kehormatan DPR, serta adanya pertimbangan MKD terlebih dahulu sebelum menindak pidana anggota DPR. Revisi UU MD3 disahkan oleh DPR pada tanggal 12 Februari, dan sesuai pasal 20 ayat 5 UUD 1945, apabila dalam 30 hari semenjak disetujuinya rancangan undang-undang tersebut presiden tidak mengesahkan, maka rancangan undang-undang tersebut secara sah menjadi undang-undang.

Sudah satu bulan semenjak ajuan itu, dan berbagai usaha membela hak dan kebebasan masyarakat pun sudah dilakukan, seperti pendesakan terhadap MK untuk pembatalan pasal-pasal kontroversial ini yang dilakukan oleh aliansi BEM SI, maupun sorakan aksi kreatif dari ITB bersama UPI, Polban, dan lainnya pada Car Free Day (CFD) Dago kemarin. Mulai dari senam demokrasi, parade keliling CFD menyerukan penolakan UU MD3 dan RKUHP, sampai penandatanganan petisi penolakan yang disertai dengan pembagian kripik sebagai bentuk pengejawantahan “DPR Anti-Kritik”, dengan harapan aksi-aksi yang dilakukan dapat menyampaikan aspirasi penolakan UU MD3 dan RKUHP secara baik dan terdengar hingga lembaga hukum terkait.

Sudah satu bulan semenjak ajuan itu, artinya sudah berlaku pula UU MD3 ini sebagaimana yang tertuang pada UUD 1945. DPR menjanjikan untuk masyarakat tidak perlu khawatir, karena tidak akan mengebiri kebebasan masyarakat untuk melakukan kritik ke DPR karena persepsi DPR yang berbeda tentang “kritik” dan “merendahkan”. Meskipun begitu, tetap saja bagi saya berlakunya undang-undang ini telah berhasil mencuri perhatian dan kepentingan privasi dari masyarakat bagi mereka, dan itulah yang penting. Bagi saya substansi yang ada di dalam produk hukum seharusnya harus sesuai dengan kepentingan masyarakat sebagai salah satu pelaksana hukum tersebut.

Bagi banyak orang mungkin demokrasi Indonesia sedang sakit, tapi hal ini masih bisa untuk disembuhkan, secara hukum maupun hak kita sebagai masyarakat. Ambil contoh saja ketika masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membatalkan kembali UU Pilkada setelah disahkan, beberapa hari setelahnya. Yang terpenting adalah adanya dan tersampaikannya aspirasi kita sebagai masyarakat kepada lembaga hukum yang bersangkutan. Semoga akan selalu ada sikap kritis yang kreatif dan membangun dari masyarakat secara bersama-sama untuk bisa memperbaiki hukum yang ada di negara.

Sumber:

Draft Penyikapan Revisi UU MD3 dan RKUHP oleh Kabinet KM ITB.

https://asumsi.co/post/mungkin-betul-tidak-anti-kritik-tapi-apa-yang-dpr-maksud-dengan-merendahkan

https://news.detik.com/berita/d-3915232/pakar-hukum-uu-md3-berlaku-hari-ini-kritik-dpr-bisa-dipidana

https://nasional.kompas.com/read/2018/03/14/14425531/uu-md3-berlaku-besok-ketua-dpr-minta-masyarakat-tak-khawatir

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt542ad162d9f50/sby-bakal-keluarkan-perppu-kembalikan-pilkada-langsung

--

--