Ada Apa dengan KM ITB?

Opini Lilienthal
Opini Lilienthal
Published in
4 min readSep 29, 2018

Ricky Sutardi
13617051

Perkenalkan, saya Ricky Sutardi, Teknik Dirgantara 2017, dengan NIM 13617051. Saya sendiri sampai tulisan ini dibuat masih berstatus sebagai anggota khusus Keluarga Mahasiswa Teknik Penerbangan (KMPN). Saya masih dibilang masih sangat awam dalam dunia kemahasiswaan, apalagi dalam kontribusi saya sebagai anggota biasa KM ITB. Meski demikian, saya setidaknya telah cukup mengamati gejolak yang terjadi di dunia perpolitikan kampus Ganesha ini setelah setahun lebih berkuliah di ITB.

Judul dari essai ini cukup banyak mewakili pertanyaan-pertanyaan yang kian sering saya dengar baik di dalam dan luar kampus ini. Ya, sebenarnya apa yang sedang terjadi akhir-akhir ini di KM ITB? Pertanyaan ini memerlukan jawaban yang kemungkinan besar tidak akan saya bisa jabarkan hanya lewat essai ini. Akan tetapi, saya akan mencoba untuk menjawabnya sebisa dan setahu saya.

Peristiwa paling dekat yang mungkin (setidaknya saya berharap demikian ) masih lekat dengan memori kita adalah kisruh referendum penurunan Ketua Kabinet KM ITB 2018/2019 Ahmad Wali Radhi mahasiwa Teknik Pertambangan 2014. Yang saya maksud kisruh adalah mulai dari diberikannya memorandum pertama dari Kongres KM ITB untuk beliau, diberikannya memorandum kedua karena tidak dipenuhinya beberapa tuntutan memorandum pertama, hingga akhirnya keluar keputusan Kongres KM ITB untuk melaksanakan pemungutan suara alias referendum untuk menentukan apakah Ahmad Wali Radhi masih dianggap layak untuk tetap menjabat sebagai Ketua Kabinet KM ITB oleh massa KM ITB.

Saya sendiri karena merupakan mahasiwa semester 3 sebenarnya juga awalnya tidak mengerti betul kronologi peristiwa tersebut. Yang saya tahu adalah tiba-tiba timeline LINE saya penuh dengan postingan yang saling bertolak belakang. Sebagian mendukung kebijakan kongres tersebut, tapi sebagian lagi menentang berat kebijakan tersebut. Bahkan, kisruh ini sampai menyeret mahasiswa luar ITB.

Kejadian besar berikutnya adalah forum bebas yang diadakan sebagai bentuk jawaban atas tuntutan Kongres KM ITB. Saya sebenarnya saat itu ingin mengikuti forum tersebut, tapi berhubung waktu pelaksanaannya bertepatan dengan periode orientasi studi jurusan saya, saya mengurungkan niat tersebut. Saya juga tidak tahu betul jalannya forum bebas tersebut karena tidak ada yang berani/mau membicarakannya secara jelas-jelas. Yang saya tahu hanya waktu pelaksanaannya yang melebihi waktu yang ditentukan (kalau tidak salah sampai mendekati sholat subuh) dan karena itu harus dilanjutkan di luar ITB.

Peristiwa selanjutnya adalah pemberian memorandum kepada Kabinet KM ITB kedua karena masih ada tuntutan pada memorandum pertama yang belum dipenuhi. Seperti yang bisa ditebak, memorandum kedua ini pun tidak berhasil dipenuhi dan detailnya sendiri tidak dibeberkan kepada umum mengapa tidak berhasil dipenuhi. Saya sendiri baru mengetahui alasannya setelah berinisiatif menanyakannya pada senator himpunan saya.

Kejadian terakhir yang kemudian menjadi kontroversi sendiri adalah pemungutan suara untuk penurunan Ketua Kabinet KM ITB. Salah satu faktor yang turut dipertanyakan keabsahannya adalah mahasiswa tahap persiapan bersama (TPB) diperbolehkan untuk menggunakan hak pilihnya meskipun baru berkuliah selama 2 minggu saat referendum dilakukan. Banyak yang kemudian menyayangkan keputusan ini karena menilai pencerdasan dari Kongres KM ITB sangatlah minim. Mungkin untuk mahasiswa jurusan dapat menimbang kepentingan himpunannya dan/atau kepentingan-kepentingan lain dalam mengambil keputusan lanjut atau turun, tapi mahasiswa tahap persiapan bersama terkesan hanya mengikuti arus dalam menentukan pilihan.

Mungkin para pembaca yang jeli sudah bisa melihat tren kemahasiswaan KM ITB dari 4 paragraf sebelumnya. Ya, salah satu tren kemahasiswaan KM ITB yang turut saya pertanyakan adalah kecenderungan untuk bersikap tertutup seakan-akan kemahasiwaan ini hanya milik dan ranah segelintir orang tertentu. Kecenderungan ini sudah sangat sering disindir dan dikritik oleh berbagai pihak, baik dari pihak mahasiswa ITB sendiri maupun mahasiswa luar ITB.

Hal ini turut diperkeruh dengan munculnya akun-akun LINE yang memposisikan diri di luar KM ITB . Contohnya adalah Teleskrin Ganesha, Di Balik ITB, Kebusugan, Ambisil, dan lain-lain. Keberadaan akun ini kerap kali malah memperumit keadaan karena memberikan informasi-informasi yang mereka klaim sebagai informasi tersembunyi dari publik. Nyatanya, sebagian besar informasi yang mereka berikan penuh dengan kesesatan pikir dan cenderung menggiring opini massa kampus ke suatu hal yang sudah direncanakan. Selain itu, terbukti beberapa informasi yang mereka berikan bias kepada pihak tertentu atau bahkan sangat menyimpang dari kebenaran.

Sebenarnya, tidak seharusnya keberadaan akun-akun seperti itu dipermasalahkan karena memang sudah jadi hak dan kebebasan tiap orang untuk berpendapat. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan adalah saat para mahasiwa tahap persiapan bersama dan mahasiswa jurusan yang kurang mengikuti isu-isu yang sedang berkembang malah menjadikan akun-akun seperti itu sebagai referensi berita yang dapat dipercaya. Hal ini tentunya malah menjadikan keadaan atau situasi yang sudah rumit kian rumit.

Opini publik kepada KM ITB semakin diperparah dengan banyaknya opini bernada sinis, sarkastis, dan pessimistis terhadap kemahasiswaan KM ITB. Apakah kemudian KM ITB sudah tidak dibutuhkan? Salah seorang kakak tingkat saya menjawab sebenarnya HMJ dan elemen-elemen KM ITB yang lain tidak terlalu membutuhkan wadah kolaborasi bersama jika justru tiap elemen malah saling menyerang atau tidak peduli satu sama lain.

Opini ekstrem tersebut ada benarnya jika kita menilik beberapa waktu yang lalu saat idealisme KM ITB yang dikonsepsikan dalam AD/ART KM ITB masih dijaga dan diletakkan sesuai posisinya : sebuah gambaran ideal yang sepatutnya diusahakan untuk bisa dicapai. Sungguh jauh berbeda dengan keadaan sekarang saat kemahasiswaan dijalankan karena memang ada kepentingan-kepentingan pihak tertentu atau sekadar menjadi suatu rutinitas bagi para aktor politik di kampus ini. Alhasil, timbul paham yang sangat saya benci konstruksi kata maupun maknanya : kemaha-CV-an.

Terakhir, timbul satu pertanyaan yang tidak akan saya jawab karena saya yakin kita memiliki jawaban yang berbeda-beda. Saya memohon para pembaca untuk merenungi dan menjawab pertanyaan ini dalam hati Anda masing-masing. Apakah KM ITB sedang baik-baik saja?

Bandung, 17 September 2018

Anggota biasa KM ITB yang mungkin sok tahu, tapi sedang mencari tahu

Ricky Sutardi

--

--