Opini Lilienthal
Opini Lilienthal
Published in
5 min readSep 29, 2018

--

Perilaku Pemilih

Rangga Raihan Pratama 13616025 dan Arif Rahman Budihanifa 13616113

“Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah “the happy selected few” yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus juga menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya.”

(Soe Hok Gie, Cacatan Seorang Demonstran)

Ada beberapa catatan hitam yang dapat kita temui dalam penyelenggaraan referendum penurunan dari ketua kabinet Keluarga Mahasiswa ITB, Ahmad Wali Radhi. Salah satu yang harus diperhatikan adalah jumlah suara yang masuk pada saat masa pemilihan berlangsung, jumlah tersebut adalah 4861 suara dari sekitar 12000 lebih total jumlah mahasiswa S1 ITB yang memiliki hak memilih. Berikut ini ada sedikit penjelasan mengenai aspek-aspek yang memengaruhi tingkat partisipasi mahasiswa dalam menggunakan hak pilihnya.

Teori Perilaku Memilih (Voting Behavior Theory)

Perilaku Memilih dalam proses pemilihan umum merupakan respon psikologis dan emosional yang diwujudkan dalam sebuah bentuk tindakan politik yaitu mendukung suatu partai politik atau kandidat politik dengan cara memilih di surat suara. Apabila diperlukan suatu cara untuk melihat pola pemilih didalam suatu pemilihan umum maka teori perilaku memilih merupakan salah satu teori yang dapat menjelaskan pola perilaku tersebut. Menurut Dieter Roth (2009) jika berbicara tentang teori perilaku memilih maka tidak ada satu teori pun yang absolut benar. Namun menurutnya secara umum ada tiga macam pendekatan atau dasar pemikiran yang berusaha menerangkan perilaku pemilihan umum yaitu pendekatan sosiologis, pendekatan psikologi dan pendekatan pilihan rasional2.

Pertama, pendekatan sosiologis, atau sering diketahui sebagai Mahzab Columbia yang pertama kali dikembangkan oleh Biro Penerapan Ilmu Sosial Universitas Columbia (Columbia‘s University of Applied Social Science). Para peneliti ini mengkaji perilaku pemilih pada pemilu presiden AS tahun 1940 dan mengungkapkan bahwa pola perilaku pemilih memperlihatkan adanya keterkaitan yang erat antara pemilih dengan aspek aspek sosial struktural yang lebih dominan yang mencakup status sosio-ekonomi, agama, etnik, serta wilayah tempat tinggal. Meskipun secara metodologi pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti sebagaimana mengukur secara tepat sejumlah indicator kelas social, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Pendekatan psikologis lebih menekankan faktor-faktor psikologis dalam menentukan perilaku politiknya. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk menjelaskan perilaku pemilih.

Kedua, Pendekatan Psikologis atau Mahzab Michigan yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian dan Survey Universitas Michigan (University of Michigan‘s Survey Research Centre). Dieter Roth menjelaskan bahwa kelompok ini melihat perilaku pemilu dengan mengkaji dari masing — masing individu itu sendiri sebagai pusat perhatian mereka. Menurut kelompok Michigan persepsi maupun penilaian pribadi dari kandidat serta tema tema yang diusung berpengaruh terhadap pemilihan seseorang di pemilu. Dijelaskan juga bahwa sikap seseorang (sebagai refleksi kepribadian seseorang) merupakan variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karena itu pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu, dan orientasi terhadap kandidat. Para pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi, artinya sikap seseorang merupakan refleksi dari kepribadian dan merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya. Melalui proses sosialisasi individu dalam mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat persepsi politiknya di dalam pemilihan umum, sosialisasi bertujuan meningkatkan kualitas pemilih.

Ketiga, pendekatan pilihan rasional atau rational choice. Pendekatan ini dipopulerkan oleh Downs (1957) yang mengemukakan bahwa pemilih pada dasarnya bertindak secara rasional ketika membuat pilihan dalam memberikan suaranya tanpa mengira latar belakang eksternal dari pemilih. Menurut Downs didalam pilihan rasional maka pemilih akan mempertimbangkan cost and benefits sebelum menjatuhkan pilihan kandidat. Pertimbangan cost and benefits tersebut lebih condong kepada gagasan atau program program yang berdampak dengan pemilih3. Jika dilihat dari dua pendekatan terdahulu maka cenderung menempatkan pemilih pada waktu dan ruang kosong baik secara implisit maupun eksplisit. Mereka beranggapan bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat menjelang atau ketika ada di bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum kampanye dimulai.

Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, sosialisasi, pengalaman hidup merupakan variabel yang mempengaruhi perilaku politik seseorang. Tetapi pada kenyataannya, ada sebagaian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Ini disebabkan oleh ketergantungan pada peristiwa- peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi politik seseorang. Ada faktor situasional yang mempengaruhi perilaku pemilih. Faktor situasional ini bisa berupa isu-isu politik pada kandidat yang dicalonkan. Isu-isu politik ini menjadi bahan pertimbangan yang penting dimana para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaian terhadap isu-isu politik. Artinya pemilih pemula dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional4. Pendekatan rasional membawa kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar- benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi dan program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena factor kebetulan atau kebiasaan, dan tidak semata- mata untuk kepetingan diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan umum, menurut pikiran dan pertimbangannya yang logis.

Teori Partisipasi Politik

Berdasarkan beberapa defenisi konseptual partisipasi politik yang dikemukakan beberapa sarjana ilmu politik, secara substansial menyatakan bahwa setiap partisipasi politik yang dilakukan termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Sehingga jika dikaitkan dengan bentuk pertisipasi mahasiswa dikampus maka dari defenisi diatas dapat ditarik beberapa kriteria dari pengertian partisipasi politik yaitu (1) Menyangkut kegiatan-kegiatan politik mahasiswa yang dapat diamati dan bukan sikap atau orientasi. Jadi, partisipasi politik hanya berhubungan dengan hal yang bersifat objektif dan bukan subjektif. (2) Kegiatan politik mahasiswa yang dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung (perantara). (3) Kegiatan tersebut bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan , baik berupa bujukan atau dalam bentuk tekanan bahkan penolakan terhadap keberadaan figur para pelaku politik baik didalam maupun diluar jajaran kemahasiswaan dan yang terakhir partisipasi politik adalah kegiatan mahasiswa atau sekelompok sekelompok mahasiswa untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik seperti memilih pimpinan politik di kemahasiswaan atau upaya- upaya mempengaruhi kebijakan politik kampus. Sementara itu, Milbart dan Goel membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori. Pertama, apatis yang berarti orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. Kedua, Spektator yang berarti orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam

pemilihan umum. Ketiga, Gladiator. Artinya mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik6.

Dari teori — teori yang telah dikemukakan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua teori tersebut saling membangun antara satu dan yang lain. Berdasarkan teori politik yang terbagi menjadi tiga pendekatan yaitu pendekatan sosiologis, psikologis serta rasional berhubungan dengan tingkat partisipasi politik mahasiswa didalam kehidupan kampusnya. Jika dilihat dari pendekatan sosiologis terhadap partisipasi mahasiswa maka hal yang perlu dipertimbangkan adalah dari bentuk pendidikan mahasiswa yang didasari pendidikan politik dan apabila dilihat dari aspek psikologis maka yang perlu dipertimbangkan adalah refleksi orientasi politik mahasiswa terhadap politik kampus sementara jika dilihat dari aspek pilihan rasional maka perhitungan cost and benefits masing masing individu yang berbeda menjadi pertimbangan didalam berpartisipasi di pemira, referendum atau sejenisnya.

--

--