ANALISIS EFEKTIVITAS SISTEM PEMILU PROPORSIONAL TERBUKA: TINJAUAN TERHADAP PENYELENGGARAAN PEMILIHAN LEGISLATIF DI INDONESIA

Dema Justicia
Opinio Juris
Published in
9 min readJun 7, 2024

Oleh: Sagitio Anthoni Sinaga — Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Indonesia adalah sebuah negara yang mengedepankan paham demokrasi, paham yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Menurut Abraham Lincoln, “demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Salah satu cara untuk merealisasikan paham tersebut adalah dengan penyelenggaraan Pemilu. Pemilu merupakan alat utama dan syarat bagi demokrasi perwakilan yang diselenggarakan untuk mewujudkan tujuan demokrasi yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Demi mencapai tujuan tersebut, penyelenggaraan Pemilu harus mencerminkan nilai-nilai demokrasi.

Pemilu di Indonesia telah dilaksanakan sebanyak 12 kali dan dibentuk pertama kali pada tahun 1955. Sistem Pemilu di Indonesia dilakukan dengan dua sistem, yaitu proporsional tertutup sebanyak 8 kali dan proporsional terbuka sebanyak 4 kali. Sistem proporsional tertutup dilaksanakan pertama kali pada tahun 1955. Sedangkan, perubahan sistem proporsional tertutup ke proporsional terbuka terjadi pada tahun 2008 oleh putusan MK pada tanggal 23 Desember 2008. Proporsional terbuka mulai dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009. Sistem ini adalah sistem pemilu di mana pemilih memilih langsung wakil-wakil legislatifnya. Berbeda dengan sistem proporsional tertutup, pemilih hanya dapat memilih partai politiknya saja.

Dari hasil analisis yang telah dilakukan oleh penulis, demokrasi yang dibahas oleh partai-partai berikut keliru, hal ini dikarenakan proporsional terbuka membuat demokrasi tidak dapat dilaksanakan secara efisien. Proporsional terbuka membuat pengaruh perorangan lebih besar dibandingkan pengaruh institusi. Makna dari pernyataan penulis adalah dalam proporsional terbuka calon legislatif (caleg) bukan hanya melakukan kompetisi dengan partai lain tetapi juga dengan partai caleg tersebut. Artinya, anggota caleg memiliki visi dan misi serta kepentingan yang berbeda-beda. Menarik caleg dengan popularitas dan kapital yang tinggi bisa mengakibatkan banyak calon legislatif yang merupakan figur publik seperti artis dan juga orang terkenal lainnya tidak memiliki kapabilitas sebagai anggota legislatif. Pada Pemilu 2019, jumlah caleg figur publik yang mendaftar melalui delapan partai peserta pemilu adalah 96 orang. Akibatnya, partai politik kurang dapat menjalankan fungsinya dalam melaksanakan pendidikan politik, kaderisasi, dan seleksi kepemimpinan secara berkala, terbuka, dan demokratis. Hal-hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk membahas terkait efektivitas sistem pemilu proporsional terbuka di Indonesia.

Rumusan masalah yang ingin dibahas dalam evaluasi ini adalah “Apa saja aspek yang bisa diperbaiki dalam sistem pemilu proporsional terbuka di Indonesia?”. Dengan jawaban yang diperoleh dari tinjauan ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam perbaikan sistem pemilu proporsional terbuka di Indonesia serta menjadi dasar pengembangan kebijakan yang lebih efektif untuk mencapai tujuan demokrasi. Identifikasi aspek-aspek yang perlu diperbaiki dalam sistem pemilu dapat mengoptimalkan representasi rakyat dalam lembaga legislatif, sesuai dengan prinsip demokrasi yang menekankan pemerintahan yang mewakili kepentingan rakyat. Selain itu, analisis terhadap sistem pemilu juga dapat memberikan wawasan tentang peningkatan fungsi partai politik, termasuk pendidikan politik, kaderisasi, dan seleksi kepemimpinan, menjadikan partai politik sebagai lembaga yang lebih kuat dan demokratis. Pemberdayaan rakyat dalam proses politik dapat ditingkatkan dengan memberikan rekomendasi perbaikan sistem pemilu, caranya dengan memastikan setiap pemilih memiliki peran yang lebih signifikan dalam menentukan perwakilan mereka di lembaga legislatif. Temuan tinjauan ini juga dapat menjadi bahan diskusi publik tentang kebijakan pemilu dan demokrasi di Indonesia, melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, dan akademisi.

Beberapa penelitian terkait tidak efektifnya pemilu proporsional terbuka di Indonesia telah dilakukan. Salah satu penelitian yang bisa dijadikan referensi untuk evaluasi ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Abd. Halim (2014) yang berjudul “Dampak Sistem Proporsional Terbuka Terhadap Perilaku Politik (Studi Kasus Masyarakat Sumenep Madura Dalam Pemilihan Legislatif 2014)”. Penelitian tersebut menjelaskan akan maraknya perilaku money politics dalam pemilu proporsional terbuka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa politik berbiaya tinggi bukanlah hasil langsung dari sistem pemilu tertentu, melainkan dipengaruhi oleh logika pragmatis masyarakat.

Dalam Evaluasi Analisis Efektivitas Sistem Pemilu Proporsional Terbuka, penulis mengambil langkah awal dengan melakukan studi pustaka yang berkaitan dengan objek tinjauan. Proses ini dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang relevan dengan fokus tinjauan. Metode ini melibatkan pencarian literatur terkait untuk memahami konteks penelitian. Informasi yang diperoleh dari studi pustaka kemudian disusun dan dijelaskan dalam bentuk artikel sebagai hasil dari evaluasi ini.

Evaluasi ini berangkat dari asas-asas dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yakni penyelenggaraan pemilu harus memenuhi prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien. Evaluasi ini berfokus pada prinsip akuntabel, efektif, dan rekam jejak hasil legislasi semenjak dilaksanakannya proporsional terbuka. Teori yang digunakan pertama adalah akuntabilitas. Akuntabilitas berasal dari bahasa Inggris "accountability," memiliki arti yaitu menunjukkan keadaan yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara esensial, ini melibatkan pemberian informasi dan pengungkapan atas aktivitas dan kinerja finansial kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Menurut Mahmudi (2010: 143) efektivitas merupakan hubungan antara keluaran dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan. Menurut S. P. Hasibuan (1984;233-4).

Dengan ketiga asas yang dipenuhi maka target dari pemilu proporsional terbuka bisa memberikan tingkat kepuasan yang tinggi kepada masyarakat Indonesia. Selain itu, paham demokrasi yang dimiliki bangsa Indonesia juga bisa berkembang menjadi lebih ideal. Dengan pemilu proporsional terbuka yang ideal, calon-calon legislatif yang terpilih dalam pemilu merupakan individu yang memiliki elektabilitas dan kapabilitas mumpuni memastikan bahwa tugas-tugas mereka sebagai anggota legislatif dapat dijalankan dengan baik. Melalui implementasi yang efektif dan efisien dari prinsip-prinsip ini, pemilu dapat menjadi instrumen yang memperkuat demokrasi dan memberikan hasil yang sesuai dengan harapan masyarakat.

Sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional terbuka di Indonesia memperlihatkan sejarah yang menarik sejak diterapkan pertama kali pada pemilu tahun 2004. Dalam kerangka ini, pemilih memiliki kebebasan untuk secara langsung memilih caleg yang diinginkan, yang kemudian dapat menduduki kursi sebagai anggota dewan. Secara singkat, sistem ini dikenal sebagai "sistem coblos caleg."

Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla, mengklaim sebagai tokoh yang pertama kali mengusulkan penerapan pemilu dengan sistem proporsional terbuka di Indonesia. Menurutnya, keunggulan sistem ini terletak pada kemampuan pemilih untuk mengetahui identitas orang yang mereka pilih dalam pemilu. Namun, perlu diakui bahwa sistem ini juga membawa risiko tertentu, dianalogikan dengan ungkapan 'jeruk makan jeruk'. Dalam konteks sistem proporsional terbuka, peran kader dalam partai tampaknya memiliki pengaruh yang lebih terbatas. Keberhasilan kader dalam pemilu tidak hanya ditentukan oleh posisi mereka di dalam partai, melainkan oleh rekam jejak positif dan dukungan masyarakat. Artinya, kader yang memiliki prestasi dan dukungan penuh dari publik dapat bersaing dalam pemilu, dan jika berhasil mereka menduduki posisi legislatif.

Pemilu dengan sistem proporsional terbuka dianggap sebagai langkah menuju transparansi yang lebih besar, memungkinkan pemilih untuk mengenal lebih dekat calon wakil rakyat. Proses pemilihan tidak hanya berdasarkan afiliasi partai, melainkan juga memerhatikan aspek pribadi calon legislatif. Pemilih dapat menggolongkan suaranya berdasarkan pengalaman, kontribusi yang telah diberikan oleh caleg kepada masyarakat, gagasan yang dimiliki, dan keterampilan yang dimiliki oleh masing-masing calon.

Sistem pemilihan umum proporsional terbuka memiliki keuntungan namun juga tantangan maupun kritik. Pertanyaan tentang akuntabilitas calon legislatif muncul karena pemilih memilih individu, bukan partai. Efektivitas sistem ini dipertanyakan karena calon yang populer atau kaya bisa mendapatkan keuntungan dibandingkan calon yang lebih berkualitas. Sistem ini juga bisa memperkuat politik identitas dan memperburuk masalah korupsi karena pemilih memilih individu, bukan partai. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan tantangan dan kritik ini meskipun sistem ini memiliki banyak keuntungan.

Sistem proporsional terbuka dalam pemilihan calon legislatif memiliki beberapa sisi positif, yaitu memberikan akses kepada masyarakat untuk memilih sendiri calon legislatif yang didukungnya, menjamin derajat keterwakilan yang tinggi serta tingkat keadilan yang tinggi untuk calon legislatif peserta pemilu, dan memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh calon legislatif. Sistem ini juga membuka kesempatan pemilih untuk menentukan langsung calon wakil legislatif di parlemen dan pemilih dapat mengawasi langsung orang yang dipilihnya dalam pemilu.

Akan tetapi, proporsional terbuka membuat pengaruh perorangan menjadi lebih besar dibandingkan pengaruh institusi partai. Hal ini disebabkan karena sistem yang dilakukan secara proporsional terbuka, calon legislatif tidak hanya bersaing dengan partai lain dalam perebutan kursi di parlemen, tetapi juga dengan partai caleg tersebut. Sebab yang ditimbulkan akibat perbedaan ini adalah setiap caleg memiliki visi dan misi yang berbeda. Akibat yang ditimbulkan dari perbedaan ini sangatlah besar karena partai sebagai institusi yang menjadi tempat untuk mengkader anggota partainya dalam mendoktrin ideologi partai tersebut tidak dapat direalisasikan.

Hal ini dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan bahkan dapat memecah belah soliditas internal partai. Sistem ini juga dapat memengaruhi kualitas legislasi yang dihasilkan karena setiap calon legislatif memiliki visi dan misi yang berbeda. Hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam kebijakan yang dihasilkan. Selain itu, karena calon legislatif lebih fokus pada kepentingan individu daripada kepentingan partai, hal ini dapat mengurangi efektivitas dan efisiensi dalam pembuatan kebijakan. Terakhir, sistem proporsional terbuka dapat memengaruhi integritas calon legislatif. Dalam sistem ini, calon legislatif mungkin akan lebih fokus pada pencitraan dan popularitas daripada substansi dan kualitas kerja mereka. Hal ini dapat menurunkan standar kualitas calon legislatif dan berpotensi mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi legislatif.

Perkara ini menyebabkan partai politik berlomba-lomba untuk menarik caleg dengan popularitas dan kapital yang tinggi dengan tujuan untuk untuk memperoleh suara yang banyak. Oleh karena itu, banyak calon legislatif yang merupakan figur publik seperti artis dan juga orang terkenal lainnya yang tidak memiliki kapabilitas dan kompetensi sebagai anggota legislatif.. Dari sini tentu akan menurunkan kualitas demokrasi. Pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Oleh karena itu, pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi kekuasaan. Pemilu seharusnya menjadi ajang pencarian pemimpin dan kompetisi kebijakan, bukan semata unjuk popularitas demi mendapat banyak kursi di parlemen.

Efektivitas penyelenggaraan pemilu proporsional terbuka memiliki poin- poin yang sama dengan masalah sebelumnya, yaitu efektivitasnya dalam transparansi calon legislatif. Dalam sistem ini, pemilih dapat melihat dan memilih langsung calon yang mereka inginkan. Ini meningkatkan transparansi dalam proses pemilihan dan memungkinkan pemilih untuk membuat keputusan yang lebih objektif. Pemilu proporsional terbuka juga memiliki nilai tambah dalam representasi masyarakat karena cenderung menghasilkan parlemen yang lebih mewakili populasi secara keseluruhan. Ini karena pemilih dapat memilih calon dari berbagai latar belakang dan pandangan politik. Akan tetapi, dibalik sisi positif dari segi efektivitasnya, masih banyak aspek- aspek yang perlu dibenahi. Jumlah caleg di pemilu tahun 2019 mencapai angka 7968. Ini tentu menimbulkan pertanyaan besar, apakah masyarakat Indonesia bisa mengenal semua caleg yang menjadi peserta pemilu tersebut? Karena banyak orang belum tahu secara detail dan jelas tentang visi, misi, kompetensi, dan rekam jejak masing-masing dari setiap caleg. Pemahaman akan caleg yang berpartisipasi menjadi anggota pemilu tentu adalah aspek yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan pemilu dan apabila pengetahuan masyarakat Indonesia akan para caleg tersebut belum mumpuni, tentu kompetensi dari para caleg tidak bisa dinilai dan bisa menimbulkan dampak buruk bagi kualitas legislasi yang dihasilkan.

Poin berikutnya adalah dari segi negatifnya, yaitu anggaran yang dikeluarkan untuk pemilu proporsional terbuka. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengalokasikan anggaran hingga Rp 71,3 triliun untuk menyukseskan Pemilu 2024. Anggaran ini sangat besar apabila dibandingkan dengan pemilu sebelum sistem proporsional terbuka. Memang memiliki tujuan yang bagus yakni untuk memajukan demokrasi di Indonesia, tapi apabila kita bandingkan dengan kualitas legislasi yang dihasilkan dari sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional sebelumnya, tentu efektivitas dari sistem pemilu proporsional terbuka semakin dipertanyakan dan apakah benar layak untuk menjadi sistem pemilu di Indonesia.

Produk legislasi sebelum sistem proporsional terbuka, yaitu pada sistem proporsional tertutup, berhasil membuat 167 undang-undang. Tidak hanya banyak, tetapi undang-undang yang dihasilkan tidak mengalami banyak tuntutan ke Mahkamah Konstitusi. Sedangkan pada periode 2014–2019 dikala menggunakan sistem proporsional terbuka, DPR hanya membuat 91 undang-undang dan mengalami banyak kontroversi serta kontra terhadap produk legislasi yang dihasilkan. Masalah ini tentu menyebabkan dampak yang besar bagi efektivitas serta efisiensi legislatif dari proporsional terbuka dan anggaran besar yang telah diberikan demi menghasilkan demokrasi yang ideal gagal.

Akibatnya bukan hanya pada produk legislasi yang kurang memuaskan masyarakat serta tidak terlaksananya tugas legislatif yang tidak sesuai, tetapi juga pada anggaran pemilu yang menimbulkan banyak dampak bagi perekonomian di Indonesia. Anggaran besar untuk pemilu dapat berdampak signifikan terhadap APBN Indonesia. Pengalihan dana yang besar dari sektor-sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dapat mempengaruhi kualitas dan efisiensi layanan publik. Selain itu, pengeluaran besar untuk pemilu dapat menciptakan ketidakseimbangan fiskal jika tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan, hal ini pun dapat meningkatkan defisit anggaran dan berpotensi menimbulkan masalah stabilitas ekonomi. Efisiensi anggaran juga menjadi pertimbangan, karena biaya operasional yang tinggi tidak selalu berarti pemilu berjalan dengan lancar dan efisien. Jika defisit anggaran meningkat akibat pengeluaran besar untuk pemilu, pemerintah mungkin perlu meminjam lebih banyak yang dapat meningkatkan beban utang publik.

Meski sistem ini dianggap sebagai langkah menuju transparansi yang lebih besar dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk lebih mengenal calon wakil rakyat mereka, ada beberapa tantangan dan kritikan yang harus diperhatikan. Dalam sistem proporsional terbuka, perbedaan visi dan misi antara calon legislatif dapat menciptakan persaingan yang tidak sehat, menurunkan kualitas legislasi, dan mempengaruhi integritas calon legislatif. Untuk mengatasi tantangan ini, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang calon legislatif yang berkompetisi dalam pemilihan. Informasi tentang visi, misi, kompetensi, dan rekam jejak calon harus disampaikan dengan jelas dan merata melalui kampanye. Selain itu, partai politik harus memperkuat peran dan kontrol mereka terhadap calon legislatif untuk menjaga solidaritas internal partai dan menjamin kualitas dan efektivitas legislasi.

Dalam mengevaluasi sistem pemilihan proporsional terbuka, penting untuk mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh, baik dari segi transparansi maupun efektivitas anggaran. Oleh karena itu, perlu ada diskusi dan studi lebih lanjut tentang kemungkinan perbaikan atau modifikasi dalam sistem ini untuk meminimalkan risiko yang muncul. Partisipasi aktif masyarakat dalam proses pemilihan juga menjadi kunci untuk mencapai tujuan demokrasi yang diinginkan, di mana pemilihan tidak hanya didasarkan pada popularitas semata, tetapi juga pada kualitas dan integritas calon legislatif serta efektivitas penyelenggaraan pemilihan secara umum.

--

--