AOKA Aman, Okko Diamankan: Bukti Kurangnya Kinerja BPOM?

Dema Justicia
Opinio Juris
Published in
7 min readAug 7, 2024

Ilham Gusti Helmy A — Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Manusia adalah makhluk yang memiliki kebutuhan. Supaya tetap hidup, kebutuhan tersebut haruslah terpenuhi. Tidak hanya untuk sekarang dan dirinya sendiri, kebutuhan manusia sering kali dipenuhi untuk mempersiapkan kehidupan mereka di masa mendatang. Rasa haus akan kebutuhan tidak akan pernah habis. Manusia akan selalu membutuhkan sesuatu agar dia dapat menjalankan aktivitasnya. Berdasarkan intensitasnya, kebutuhan manusia terbagi menjadi tiga, yaitu kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tersier.

Kebutuhan primer merupakan kebutuhan pokok dan mutlak. Hal tersebut berarti kebutuhan primer adalah kebutuhan yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Ketika kebutuhan primer terpenuhi, manusia dapat berorientasi untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Terdapat tiga pilar kebutuhan primer, yaitu sandang, pangan, papan. Sandang adalah pakaian, pangan adalah makanan, dan papan adalah tempat tinggal.

Pangan merupakan bagian terpenting dalam suatu peradaban. Peradaban akan hancur tanpa pangan. Pangan atau makanan ada berbagai macam jenis. Terdapat makanan yang dijadikan makanan utama di sebuah negara, dan juga terdapat makanan yang hanya dijadikan sebagai makanan ringan atau camilan.

Salah satu makanan camilan yang terkenal di semua kalangan adalah Roti Aoka. Roti Aoka merupakan produk roti yang diproduksi oleh PT Indonesia Bakery Family atau PT IBF. PT IBF dapat dikatakan cukup sukses dengan produknya, yaitu Aoka. Semua toko, baik sekelas UMKM maupun yang lebih tinggi lagi kelasnya, menjual roti ini dengan berbagai rasa dan berbagai variasi. Harga Aoka yang murah dan rasa yang enak adalah pemikat pembeli bagaikan memiliki “penglaris”.

Baru-baru ini, Aoka semakin terkenal dan dibicarakan oleh masyarakat, tetapi bukan karena nikmatnya, melainkan bahaya di dalamnya. Dilansir dari Kumparan, hasil uji laboratorium oleh PT SGS Indonesia mengatakan bahwa Roti Aoka mengandung senyawa yang dilarang untuk digunakan dalam makanan. Senyawa itu adalah natrium dehidroasetat atau sodium dehydroacetate. Natrium dehidroasetat merupakan bahan kimia yang digunakan mengawetkan kosmetik. Senyawa tersebut digadang-gadang menjadi penyebab lamanya masa. kadaluarsa Roti Aoka. Kemudian, hasil uji lab ini pun viral dan menimbulkan keresahan di masyarakat.

PT IBF, diwakilkan oleh Head Legal Kemas Ahmad Yani, S.H, M.H., langsung membantah hasil uji lab tersebut. Dikutip dari Kumparan, Kemas mengatakan bahwa Roti Aoka telah dilakukan pengujian oleh badan terkait, yaitu BPOM RI. Selain itu, Roti Aoka juga telah mendapatkan izin edar sebagaimana tercantum dalam kemasan di setiap varian roti Aoka. Kemas juga merasa iba terhadap PT IBF yang terdampak secara ekonomi akibat viralnya isu ini. Dilansir dari Kumparan, Kemas menduga bahwa isu ini sengaja disebarkan ke masyarakat oleh pihak tertentu untuk menjatuhkan reputasi Roti Aoka.

Kasus ini membuat BPOM turun tangan. BPOM merilis hasil uji lab Roti Aoka yang dilakukan pada 1 Juli 2024. Dikutip dari Kumparan, melalui hasil uji lab tersebut, BPOM tidak menemukan kandungan berbahaya dalam roti Aoka. Plt Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Ema Setyawati dalam keterangan pers pada Kamis, 25 Juli 2024 mengatakan bahwa BPOM memberikan “lampu hijau” kepada roti Aoka karena tidak ditemukannya senyawa berbahaya. Dikutip dari detikHealth, Ema mengatakan bahwa bahan pengawet yang digunakan oleh Roti Aoka sama seperti pada saat awal didaftarkan, yaitu Bahan Tambahan Pangan (BTP) asam sorbat dan natrium diasetat. Pihak BPOM juga menjawab keresahan masyarakat mengenai lamanya masa kadaluarsa roti Aoka yang tidak seperti roti-roti lainnya. Dilansir dari detikHealth, Plt Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Ema Setyawati mengatakan bahwa hal ini bisa karena proses teknologi pengawetan yang digunakan, selain dari BTP itu sendiri. Selain itu, Ema mengatakan bahwa PT Indonesia Bakery Family sebagai produsen dari roti Aoka tidak mengubah komposisi bahan mereka. Komposisi dalam roti Aoka masih sama seperti yang daftarkan ke BPOM di awal.

Namun, dibalik amannya roti Aoka, di waktu yang sama, roti Okko diamankan oleh BPOM. BPOM menilai PT Abadi Rasa Food sebagai produsen roti Okko menggunakan BTP yang dilarang oleh BPOM, yaitu natrium dehidroasetat. Dilansir dari detikHealth, Ema mengemukakan bahwa pada 2 Juli 2024, BPOM menemukan penerapan CPPOB (Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik) oleh PT Abadi Rasa Food dilakukan secara tidak benar dan tidak konsisten. Ema juga menambahkan bahwa kandungan natrium dehidroasetat dalam roti Okko tidak sesuai komposisi pada pendaftaran produk yang sebelumnya sudah disetujui oleh BPOM pada Oktober 2023.

BPOM pun langsung menindaklanjuti temuannya. BPOM mengatakan segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat bagi masyarakat yang sudah terlanjur mengonsumsi roti Okko dan menemukan atau merasakan keluhan. Dilansir dari detikHealth, pengawet natrium dehidroasetat yang ada di roti Okko bisa memunculkan reaksi alergi dan rasa tidak nyaman di saluran cerna, khususnya mereka dengan riwayat hipersensitivitas. BPOM RI melayangkan sanksi tegas dengan melakukan penarikan dan pemusnahan roti Okko. Masyarakat juga disarankan untuk tidak lagi mengonsumsi roti Okko sebelum ada perbaikan dari pihak produsen, yautu PT Abadi Rasa Food.

Dari kasus di atas, di luar konteks pembahasan mengenai kandungan senyawa, terdapat beberapa anomali. Anomali pertama adalah soal hasil pengujian roti Aoka dan roti Okko yang diberitakan secara bersamaan. Anomali kedua adalah pengujian roti Okko yang ternyata mengandung senyawa berbahaya baru dilakukan sekarang padahal pendaftaran produk dan penyerahan izin edar sudah sejak Oktober 2023. Kedua anomali tersebut menunjukkan bahwa terdapat beberapa kejanggalan yang menurut penulis patut untuk diulik dan dibahas.

Dua hasil uji laboratorium masing-masing untuk roti Aoka dan roti Okko dibeberkan dalam satu waktu yang sama. Selain itu, kandungan natrium dehidroasetat yang semula diisukan “menghuni” roti Aoka, dibuktikan oleh BPOM berimigrasi ke roti Okko. Dari kejanggalan di atas, terdapat kemungkinan bahwa kabar Roti Okko berbahaya seakan-akan bertujuan agar skeptis masyarakat mengenai roti Aoka berpindah ke roti Okko. Seperti yang sudah penulis jelaskan di awal, roti Aoka memiliki reputasi yang besar. Namanya sudah terkenal di masyarakat Indonesia. Tua ataupun muda, menengah ke atas maupun menengah ke bawah, sudah pernah merasakan dan menyukai roti Aoka. Mengapa hal ini dapat terjadi? Apakah karena reputasi, PT IBF rela untuk membuat BPOM “tutup mulut” terkait kasus ini? Sementara roti Okko tak sanggup untuk melakukannya? Kalau memang benar, apakah selama ini BPOM bermain suap-menyuap dengan produsen? Dilansir dari Okezone.com, PT IBF sebagai sebuah perusahaan yang beroperasi di Bandung sejak tahun 2017 dan memiliki Penanam Modal Asing (PMA) dari Tiongkok. Sementara untuk PT Abadi Rasa Food, dilansir dari popmama.com, sebuah perusahaan swasta nasional yang ternyata mayoritas sahamnya dimiliki oleh seseorang berinisial WQ, yang lahir di Fujian, Tiongkok.

Pengawasan terhadap makanan harus dilakukan sebelum dan setelah makanan diedarkan supaya makanan dapat terkontrol dengan baik. Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk menjaga kepentingan warga negara, terutama di bidang kesehatan. Pengawasan terhadap makanan sebelum dan setelah diedarkan tertera dalam Pasal 4 Peraturan BPOM Nomor 21 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPOM. Dalam Pasal 4 huruf d, BPOM berfungsi sebagai pelaksana pengawasan sebelum beredar dan selama beredar. Dilanjutkan dengan Pasal 5 huruf a Peraturan BPOM Nomor 21 Tahun 2020, BPOM berwenang untuk memberikan izin edar kepada produk yang sudah sesuai dengan ketentuan. Namun dalam kasus ini, BPOM tidak menjalankan tupoksinya dengan benar. Mengapa kandungan senyawa berbahaya dalam roti Okko baru diketahui sekarang? Sementara itu, pendaftaran produk dan penyerahan izin sudah sejak Oktober 2023 atau hampir 10 bulan lamanya. Apakah pengawasan dan pengecekan makanan tidak dilakukan secara berkala setelah diedarkan? Apakah pengawasan berupa pengujian makanan hanya sebatas formalitas agar meredam kegaduhan dalam masyarakat? Secara hierarki, BPOM berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Namun, secara aksi, BPOM seperti acuh tak acuh dengan persoalan kesehatan. Apakah kesimpulannya adalah BPOM tidak mementingkan kepentingan masyarakat mengenai kelayakan pangan dan kesehatan?

Pangan merupakan hal yang diserahkan tanggung jawabnya kepada negara. Negara memiliki wewenang mengatur hingga mengawasi pangan di Indonesia, baik secara nasional maupun secara daerah. Kewenangan pemerintah terhadap pangan Indonesia harus berorientasi kepada masyarakat. Orientasi kepada masyarakat tidak lain dan tidak bukan karena pangan yang layak merupakan bagian dari HAM. Hak atas kelayakan pangan diatur secara tersirat dalam Pasal 28H UUD NRI 1945. Hak yang sama juga disebutkan dalam UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012. Salah satu badan yang berurusan dengan pangan Indonesia adalah BPOM. Walaupun merupakan badan pemerintahan non-kementerian, BPOM tetap memiliki wewenang soal pengujian, perizinan, hingga pengawasan terhadap produk pangan di Indonesia. Dilihat dari visi misinya, BPOM juga cukup berorientasi penuh kepada kesejahteraan pangan Indonesia.

Namun, dua hal yang sudah dibahas di atas menunjukkan sebaliknya, bahwa kinerja BPOM yang tidak baik. Kemungkinan adanya suap-menyuap membuat kredibilitas BPOM tercoreng. Padahal, salah satu misi BPOM adalah pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan tepercaya untuk memberikan pelayanan publik di bidang obat dan makanan yang prima. Jika ini terjadi, apakah visi misi yang digaungkan oleh BPOM itu palsu? Selain tidak menjalankan visi misi, terdapat pula dugaan bahwa BPOM tidak menjalankan tupoksi. Asas legalitas harus diterapkan oleh setiap lembaga atau badan pemerintah dalam setiap tindakan dan keputusan. Tupoksi BPOM sudah tertera dalam Peraturan BPOM Nomor 21 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPOM. Dengan tidak menerapkan tupoksi yang ada, hal tersebut menunjukkan bahwa BPOM tidak melaksanakan asas legislatif dengan baik.

Kurangnya kinerja BPOM merupakan PR tersendiri untuk BPOM agar dapat berubah. BPOM adalah badan pemerintahan non-kementerian yang harus berorientasi kepada masyarakat luas. Dengan dugaan suap dan tupoksi yang tidak dijalankan dengan semestinya, kepercayaan masyarakat kepada BPOM akan turun. Hal tersebut harus menjadi “mimpi buruk” untuk BPOM karena tanpa kepercayaan dari masyarakat, untuk apa BPOM didirikan? Perbaikan kinerja BPOM harus dilakukan segera. Perbaikan tersebut tidak hanya bermanfaat bagi BPOM ke depannya, tetapi juga untuk kebaikan masyarakat dan kesejahteraan pangan Indonesia. Namun, jika perbaikan ini tidak disegerakan, kepada siapa lagi masyarakat dapat percaya?

--

--