Buzzer: Pasukan Propaganda Zaman Digital

Dema Justicia
Opinio Juris
Published in
3 min readJun 7, 2024

--

Oleh: Grace Helda Lauren Lumban Tobing — Mahasiswa Fakultas Hukum UGM

Pada awal tahun ini Indonesia tengah sibuk dalam perlehatan demokrasi, yakni pemilihan umum (Pemilu). Dalam momentum Pemilu, tidak dapat dipungkiri bahwa dinamika media sosial menjadi suatu pegangan besar bagi masyarakat, terlebih Generasi Z (Gen Z) yang diberi harapan besar untuk menjadi agen pengawal Pemilu yang bersih bagi negara. Gen Z adalah mereka yang memiliki tahun kelahiran dalam kurun waktu 1995–2010. Mereka yang bertumbuh secara berdampingan dengan teknologi, di mana pastinya hal tersebut memengaruhi sebagian besar pandangan mereka terhadap politik. Dengan adanya eksposur yang sangat tinggi, media sosial pastinya menjadi sarana paling mudah untuk mengakses informasi terkait para calon yang dapat dipilih. Memasuki tahun 2024, situasi menyambut Pesta Demokrasi di kalangan masyarakat terlihat semakin panas, situasi tersebut mengundang terjadinya praktik Pemilu kotor, terutama hadirnya buzzer yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial, dan banyak dianggap sebagai pemegang kasta terendah dalam dunia politik.

Seperti yang di ekspektasikan, maraknya buzzer politik akhirnya mengundang atensi para pemilih muda. Layaknya lebah yang berkeliaran, buzzer akan mulai mendengung untuk menggiring opini masyarakat sebagai upaya memenangkan pilihan mereka. Salah satu aksi yang terpampang jelas adalah penyebaran isu hoax yang tidak disertai fakta dan bukti yang jelas dengan tujuan menjatuhkan pihak lawan, atau yang kerap dijuluki black campaign (kampanye hitam). Dengan tingkat algoritme yang fluktuatif, media sosial menjadi tempat bagi pelaku politik untuk berkampanye melalui konten yang disajikan dalam bentuk video, podcast, dan lain sebagainya, yang merupakan wadah opini bagi publik.

Berdasarkan data yang diperoleh dari seluruh calon, pemilih dari kalangan Gen Z yang berpartisipasi dalam Pemilu tahun 2024 berjumlah 63.953.031 orang dengan presentase 31,23%. Kebanyakan dari mereka pada awalnya belum banyak menaruh atensi terhadap dunia politik sehingga terjadi keterbatasan dalam pemahaman terkait para calon. Selain itu, beredar istilah FoMO (Fear of Missing Out) yang diartikan sebagai ketertakutan untuk tertinggal suatu trend atau informasi, tanpa mencari tahu secara jangka panjang seberapa relevan informasi tersebut. Hal ini sempat menjadi perbincangan awam di kalangan Gen Z, yang dianggap tantangan dalam menyikapi informasi yang mereka dapatkan dari media sosial. Pengaruh fenomena FoMO sendiri mulai terlihat ketika banyak calon pemilih Gen Z yang terjun menuangkan opini politik mereka di publik. Hal ini dibuktikan dengan beredar banyak konten kurang bermutu berisi tanggapan dan reaksi mengenai para calon yang hanya didasarkan oleh FoMO, menunjukkan bahwa sangat banyak dari mereka belum memahami urgensi dan fokus utama dari Pemilu.

Di sisi lain, buzzer menjadikan situasi FoMO sebagai jembatan mereka untuk beraksi, melihat Gen Z sebagai objek politik lemah yang dapat dengan mudah tersetir. Mereka akan secara rutin menuliskan narasi persuasif yang dapat dengan mudah memanipulasi banyak kepala. Hal Ini didukung dengan kondisi bangsa Indonesia yang sudah lama dikenal sebagai negara dengan tingkat literasi yang rendah, dan mereka yang tidak mau mencari tahu dan menyaring informasi, menjadi target utama bagi para buzzer.

Seorang politikus asal India Bernama Yogi Adityanath pernah berkata “Demokrasi atau politik yang dilakukan tanpa nilai dan cita-cita akan berbahaya bagi negara”. Keberadaan buzzer menjadi bukti nyata ancaman yang nantinya akan menjadi belati bagi bangsa. Pada akhirnya, Gen Z akan selalu berdampingan dengan media sosial, tempat di mana informasi akan selalu teralir dengan cepat, tanpa terverifikasi kebenarannya. Dengan kemampuan mereka melalui internet, Gen Z dapat dengan mudah mengakses informasi politik, sehingga tantangan yang dihadapi berbeda dengan generasi lainnya. Bahkan jika dibandingkan dengan masyarakat di pelosok yang mayoritas lebih tua dan memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi, Gen Z dapat dibilang lebih melek dalam urusan politik, berkat dukungan fasilitas yang mereka miliki. Nasib bangsa Indonesia akan sangat bergantung pada para cendikiawan muda, dan untuk mewujudkan cita-cita bangsa, diperlukan mobilitas dari pihak berpengalaman untuk memberi arahan baik bagi generasi muda. Kebanyakan calon pemilih merupakan mereka yang baru pertama kali berpartisipasi dalam Pemilu yang pastinya memiliki antusiasme berbeda-beda. Membasmi seluruh praktik politik kotor disertai edukasi bersifat transparan merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk menyukseskan Pesta Demokrasi pada masa yang akan datang.

--

--